Komik Tak Pernah Mati
Oleh Donny Anggoro*
Komik Indonesia boleh saja mengalami masa surut sejak 1980-an. Komik Indonesia boleh saja kalah pamor dengan serbuan komik asing, terutama komik manga dan produk-produk anime dari
Jepang. Komik Indonesia juga boleh saja sulit diproduksi sehingga
banyak penerbit lebih suka menerbitkan komik impor. Di tengah-tengah
gempuran demikian, komik Indonesia diam-diam terus menggeliat, terutama
gerakan komik underground.
Sekitar tahun 1994 komik Indonesia bangkit walau nampaknya masih terengah-engah dengan munculnya komik Rama-ShiTa:Legenda Masa Depan dan komik Imperium Majapahit oleh Gen Mintaraga. November 1995 ada Caroq oleh Thoriq dari Studio Qomik Nasional dan Awatar Comics oleh Doddy Wisnuwardhana. Even komik nasional seperti Pekan Komik Nasional
juga kerap kali digelar, walau tak bisa setiap tahun secara rutin
dilangsungkan. Tahun 2003 komik M&C! divisi Gramedia menerbitkan 3
judul sekaligus produk komik lokal yaitu Alakazam (Donny), Dua Warna (Alfi “Sekte Komik“ Zachkyelle) dan Tomat (Rachmat Riyadi).
Dua tiga tahun terakhir ini, seiring dengan geliat penerbitan buku-buku dan media alternatif (bulletin, newsletter, community magazine, dan e-zine) di Yogyakarta dan Bandung, dua kota dimana perkembangan cultural studiesnya sedang memuncak bermunculan terbitan-terbitan komik underground mewarnai jejak perjalanan sejarah komik Indonesia.
Beng Rahadian, satu dari komikus muda generasi komikus underground Indonesia macam Ahmad “Sukribo” Ismail, Agung “komikaze” Arif Budiman, Wahyu, dan lain-lain tak gentar membuat komik bertajuk Selamat Pagi Urbaz terbitan Terrant Books yang baru saja sukses mendulang keuntungan dari penerbitan novel Eiffel, I’m in Love.
Di Yogya muncul antologi komik bertajuk Subversi Komik yang terbit sejak Mei 2004. Antologi komik ini berusaha menghimpun karya komikus muda pejuang komik underground seperti Ahmad “Sukribo” Ismail, Agung “komikaze” Arif Budiman, Wahyu, Windu dan lain-lain. Uniknya, Subversi Komik ini benar-benar sebuah produk yang tak hanya digagas sebagai wadah kreativitas dan lahan publikasi komik underground
saja melainkan sekaligus digagas sebagai representasi kritik terhadap
pemerintah yang telah nyata gagal menangani problem sosial bernama
kemiskinan.
Di Bandung terbit komik Bangor karya Raditya Eka Permana. Komik bergaya kartun setengah manga ini begitu sarat dengan idiom-idiom slang khas Bandung. Selain itu terbit pula komik Wanter
yang bergaya surealis mirip karya komikus Peter Kuper karya Dodi Rosadi
(sayangnya tak jelas komik ini diterbitkan di Bandung atau Yogya). Ada
juga komik SC (Super Condom) yang begitu nyeleneh Penerbit
Indira yang semula hanya dikenal menerbitkan komik impor dengan serial
Tintin sebagai produk andalannya pada tahun ini juga ikut menerbitkan Dave Salamander komik lokal karya Tunjung Rukmo dan Denny Djoenad.
Produk-produk independen semacam ini bergeliat di toko-toko buku
komunitas (disebut “distro”) selain ada juga yang menempuh jalur
distribusi toko buku umum seperti Subversi Komik, Selamat Pagi Urbaz, Caroq, dan lain-lain. karena secara fisik komik ini dibuat dalam format kecil, mirip bungkus permen.
Perjalanan komik pun tak hanya kepada format komik saja. Majalah komik IndiComic Handbook yang merupakan hasil kerja bareng berbagai komunitas komik underground
seperti MKI (Masyarakat Komik Indonesia), Indietown, Titikberat, dan
lain-lain juga terbit. Majalah yang formatnya tak sekedar etalase komik
karya komikus underground ini juga berisikan artikel, resensi, dan ulasan komik. Tak lama kemudian, terbit pula majalah komik Wizard Indonesia yang merupakan franchise majalah komik Amerika, Wizard. Walau majalah franchise ini notabene mengandung artikel impor, Wizard Indonesia juga menyediakan rubrik khusus berupa ulasan komik lokal sebagai upaya mendukung tumbuhnya perkembangan komik underground Indonesia.
***
Mengamati perkembangan komik lokal yang diteruskan oleh para “pejuang underground”
memang menggembirakan walau sekaligus menyimpan kecemasan.
Menggembirakan karena menghasilkan produk dari pelbagai komunitas komik
seperti Sekte Komik, Daging Tumbuh, Apotik Komik, Studio’9, dan lainnya,
tapi mencemaskan karena karya yang ada rata-rata masih gagal secara
apresiatif.
Para
komikus yang rata-rata “bersembunyi” dalam profesi lain misalnya
animator film-film iklan, desainer grafis, dan illustrator buku/majalah
notabene masih kurang mengeksplorasi kemampuan terbaiknya dalam
menghasilkan komik. Alhasil, komik yang ada cenderung senada (kebanyakan
bergaya manga dan anime Jepang). Atau ketika
mengeksplorasi gaya lain, misalnya kartun atau komik Eropa-Amerika,
tetap saja terjerembab pada kemiskinan bercerita sehingga walau unggul
secara visual tapi gagal secara naratif.
Semangat
kreator yang sejatinya terbuka pada pemikiran dan aspek-aspek lain,
misalnya sastra (yang begitu dekat dengan hakikat bercerita) jarang
muncul sehingga karya yang dihasilkan kurang mampu diapresiasi dari
perspektif lain. Ini memang bukan hal yang mudah. Namun, sejarah komik
Indonesia pernah menghasilkan komikus-komikus dengan semangat kreator.
Sebutlah R.A Kosasih yang dengan komik wayangnya adalah bukti
keberhasilan dia meretas bidang lain, yaitu sejarah dan filsafat wayang
setelah pencapaian visual.
Ada juga Put On di harian Sin Po (terbit tahun 1931) karya Sopoiku alias Kho Wang Ghie yang merupakan bibit awal komik strip pertama di Indonesia. Put OnPut On
yang selalu sial tapi baik hati. Suasana karikatural yang ditangkap Kho
Wang Ghie dalam karyanya mengandung kekuatan aspek sosiologis. Sama
halnya dengan Kosasih, inilah kekuatan komikus lokal kita dalam
merepresentasikan aspek lain setelah teknik visual. adalah keberhasilan Kho Wang Ghie mengangkat suasana karikatural penduduk kota yang diwujudkan dalam tokoh
Kosasih
dan Kho Wang Ghie adalah sebagian kecil kekuatan semangat kreator dari
sejarah komik nasional kita. Masih banyak nama lain seperti Teguh
Santosa, Ganes Th., Hans Jaladara (sejarah), Hasmi dan Wid N.S (fiksi
ilmiah), Dwi Koendoro (sejarah/sosiologi/wayang simbolis), GM Sudarta,
Rachmat Riyadi (sosiologi/imajiner/karikatural) dan lain-lain.
***
Bukan
hal mudah jika para komikus hanya menghasilkan karya yang notabene
kurang berpotensi menjadi karya besar. Para komikus umumnya bekerja
sendiri karena komiknya dikerjakan di luar rutinitasnya sebagai pekerja.
Kehidupan dalam komunitas komik sendiri juga belum berani membuka diri
terhadap disiplin ilmu lain. Iklim sosiologis yang kurang bersahabat
dengan produk komik juga menjadi kendala sehingga tak ada lagi yang
berani menggantungkan hidupnya hanya dengan membuat komik. Serbuan komik
impor sendiri juga melulu dianggap sebagai musuh, bukan sebagai kajian
apalagi acuan mengapa produk impor dapat unggul secara kuantitas dan
kualitas.
Tumbuhnya gerakan komik underground
di Indonesia memang belum sebanding dengan yang pernah terjadi di
Amerika, walau bukan berarti tak ada harapan suatu saat karya komik
lokal kita unggul setelah pencapaian visual.
Sejarah komik underground Amerika menghasilkan komik-komik yang apresiatif karena juga terinspirasi pada gerakan flower generation yang anti perang (Vietnam) sebagai reperestasi ketidakpuasan masyarakat terhadap kemiskinan. Produk gerakan underground lain yang paling terkenal dan masih terbit sampai sekarang adalah majalah komik MAD besutan
Harvey Kurtzman. Majalah ini mengutamakan semangat parodi yang diilhami
dari kejadian aktual sehari-hari dari pelbagai sudut pandang mulai dari
sosial, politik, dan budaya.
Gerakan komik underground
ini makin berkembang dengan menghasilkan karya yang tak hanya menjadi
media alternatif saja, melainkan muncul pula komik-komik yang sangat
mengutamakan kebebasan berpikir. Komik-komik ini mampu diapresiasi lebih
luas, terutama untuk pembaca dewasa seperti seri Heavy Metal atau produk komik keluaran Fantagraphics yang sangat menonjolkan erotisme, komik seri Fables yang
meretas kisah antara dongeng, parodi, dan sastra sampai komik
jurnalistik karya Joe Sacco (sudah diterjemahkan di Indonesia) yang
mampu pula meraih penghargaan prestisius di luar komik.
***
Pada masa kini walau gerakan komik underground
Indonesia masih belum menghasilkan karya-karya yang layak secara
apresiatif sejatinya masih menyisakan harapan bahwa perjuangan dengan
cita-cita menegakkan kembali jayanya komik nasional tak pernah surut.
Kendala-kendala yang ada hendaknya membuka harapan perkembangan komik
lokal kita menuju masa depan lebih cerah.
Tumbuhnya pelbagai komunitas komik underground
Indonesia sebagai representasi perlawanan terbitnya komik impor adalah
indikasi kegairahan itu sehingga bukan tak mungkin suatu saat dapat
menjadi seperti perlawanan yang dilakukan komunitas komik underground di Amerika, yaitu berhasil menjadi gerakan yang sekaligus unggul secara kualitas.
Semangat
kreator yang terbuka pada berbagai pemikiran hendaklah digali lebih
luas sehingga komik nasional suatu saat benar-benar mampu berdiri tegak
secara kualitas, tak hanya menjadi letupan kecil semata. Semoga. *
*) Editor sebuah penerbit dan pencinta komik, tinggal di Jakarta.
-------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------
pernah dimuat di Sinar Harapan, 17 Oktober 2004
Wednesday, October 13, 2004
3 MANFAAT MEMILIH TOKOH HERO FAVORIT
Salah satunya, anak dapat mengembangkan daya imajinasi dan kreativitasnya
Beberapa saat setelah film Spiderman II diluncurkan di bioskop-bioskop, banyak orang tua mengeluh kalau anaknya merengek-rengek minta dibelikan baju merah-biru bergambar jaring laba-laba ala tokoh superhero tersebut. Tak hanya sampai di situ, dengan baju tersebut, mereka seakan-akan dapat berubah menjadi "sakti" sehingga sering berciiiat-ciaat dan melompat-lompat tanpa kenal tempat. "Saat di mal, anakku yang sedang mengenakan baju Spiderman, tiba-tiba berteriak pada kakaknya untuk mengajak lari karena Doc Oc (manusia gurita musuh Spiderman) datang. 'Awas Doc Oc dateng...' sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke arahku. Duh malunya. Apalagi akibat teriakan kedua anakku itu, semua mata memandang ke arah kami!" keluh seorang ibu.
Memang, orang tua bisa jengkel, sebal, heran, kala si kecil mengikuti polah si tokoh idola seharian. Bahkan tak jarang yang sampai bertanya, "Nih, anak perlu dibawa ke psikolog enggak sih? Ciaaat... ciaat melulu tiap hari." Jawabannya: enggak perlu kok! Menurut Rosdiana S.Tarigan, M.Psi., MHPEd., suatu hal yang wajar kalau si batita punya tokoh hero atau tokoh yang ia sukai, kagumi, dan idolakan. Hal ini berkaitan dengan perkembangan otaknya yang sudah lebih mengerti pada apa yang ia lihat dan dengar dari suatu kejadian yang ada di sekitar dirinya. Selain itu, mereka juga mulai mempunyai kecenderungan akan sesuatu yang dia sukai dan tidak. "Aku lebih suka Power Rangers daripada Ultraman. Soalnya helm Ultraman berjambul sih," misal.
Yang juga masih dalam batas kewajaran, si batita biasanya senang berulang kali menonton film heronya atau berulang-ulang memakai baju bergambar si tokoh hero tanpa mau diganti. "Pada usia ini, kesenangan anak pada sesuatu masih terbatas. Jadi apa pun yang disuka akan dimintanya berulang-ulang setiap hari. Memang terkesan agak berlebihan kalau dilihat dari sudut pandang orang dewasa, tapi selama tak membahayakan dirinya masih tetap wajar, kok," ujar psikolog dari Empaty Development Center, Jakarta ini.
TAK HANYA YANG BERTOPENG
Yang perlu diketahui, tokoh hero yang dikagumi batita tak sebatas tokoh yang jago berkelahi dan bertopeng saja. Mereka bisa saja mengidolakan tokoh hewan yang digambarkan sebagai jagoan seperti Simba, Nemo, atau Willy si paus. Dapat juga tokoh yang digambarkan sebagai orang yang penyayang, baik hati, atau cerdik. Sebutlah Tintin, tokoh hasil rekaan Herge. Karakter tokoh berjambul ini malah diceritakan sebagai pria yang antikekerasan, cerdik, baik hati, serta jujur.
Menurut Diana, pengidolaan bisa muncul kapan saja pada setiap anak, saat ia memiliki kesan mendalam pada figur tertentu. "Orang-orang terdekat bisa juga menjadi tokoh hero bagi anak. Selain orang tua, bisa juga guru di kelompok bermainnya, kakek, atau lainnya. Anak mengagumi guru mungkin karena ia kerap diperlakukan dengan baik. Sedangkan ia terkesan pada sang kakek, mungkin karena sering mendengar cerita tentang kepahlawanannya sehingga memberi kebanggaan secara turun-temurun dalam keluarga tersebut."
Uniknya, kata Diana, pemilihan anak pada seorang tokoh idola tak kenal jender. Dalam artian, si upik bisa saja gandrung pada Superman sementara si buyung kagum pada kelincahan para Power Puff Girls. Hal ini sah-sah saja. Justru Diana mengimbau orang tua agar jangan bias jender karena baik anak perempuan dan laki-laki harus memiliki kesetaraan.
Pemujaan pada seorang tokoh hero pun tak bisa dikatakan dapat menggambarkan kepribadian anak. Jadi bukan berarti anak yang energik dan aktif pasti suka tokoh yang macho, misalnya. Bisa saja, ia menyukai figur yang lembut sifatnya. "Pemilihan anak pada suatu tokoh hero lebih pada penggambaran norma atau nilai yang dianut dalam lingkungan keluarganya. Jadi bukan pada masalah kepribadiannya," ujar Diana.
HAL YANG MESTI DIWASPADAI
Hanya saja, psikolog lulusan Universitas Indonesia ini mewanti-wanti agar orang tua memantau siapa tokoh hero yang dikagumi si kecil. Jangan sampai anak salah pilih; yang dikagumi justru tokoh antagonis yang punya karakter buruk. Ini bisa saja terjadi, umpamanya, karena anak sering terekspos film tentang penjahat sehingga dia berkeinginan jadi tokoh penjahat tersebut. Meski demikian hindari mencela dan memarahinya. Lebih baik jelaskan saja, "Dek, monster Org itu memang jago tapi dia jahat. Lihat deh, dia jadi enggak punya teman kan? Sering dikejar-kejar Power Rangers lagi!" Lalu berikan tokoh lain yang mempunyai sifat positif. "Kalau Mama senang Putri Shiela karena sering menolong Power Rangers jika sedang dalam kesulitan. Semua orang jadi sayang sama dia," misalnya.
Hal lain yang patut dicermati juga mengenai implikasi pengidolaan, karena bisa saja si kecil jadi meniru-niru perilaku tokoh pujaannya. Jika Spiderman piawai memanjat gedung, si kecil pun akan coba-coba memanjat dinding rumah. Si Upik yang memuja Barbie, mungkin akan meniru gaya berpakaian bahkan rambut si boneka cantik ini. Nah, untuk soal ini, menurut Diana, selama apa yang dilakukan anak tidak membahayakan, biarkan ia meniru-niru sang idolanya itu. Kecuali tentu jika ia sudah berbuat hal yang berisiko, semisal "terbang" dari jendela rumah karena ingin seperti Superman. Memang tak mudah bagi orang tua untuk mengatakan kepada si batita bahwa Superman hanya sekadar tokoh di film yang sebenarnya tidak bisa terbang. Penjelasan seperti itu masih terlalu kompleks diterima jalan pikirannya. Jadi cukup jelaskan, "Adek kan bukan Superman. Kalau Adek loncat dari jendela bisa jatuh dan kakinya bisa patah."
Namun, untuk menutup rasa penasaran anak akan sensasi terbang ala Superman, bisa juga, orang tua menciptakan suatu dramatic play. Misal, mengajak anak tengkurap di atas bantal yang agak tinggi untuk kemudian menggerakkan tangan dan kakinya seolah sedang terbang di suatu ketinggian. Kalaupun si batita ingin meniru perilaku melompat atau memanjat, mintalah ia melakukannya dari tempat yang tak terlalu tinggi dan terjangkau. Namun, tetap dalam pengawasan orang tua atau orang dewasa yang ada bersamanya.
MANFAAT TOKOH HERO
Jadi, saran Diana, hindari meremehkan tokoh hero si kecil, apalagi dengan kata-kata celaan, seperti, "Apa sih bagusnya Spiderman?" karena hal ini akan dapat mematikan kreativitas dan inisiatifnya. Si kecil pun akan merasa kurang kompeten dalam memilih sesuatu yang disukainya atau tokoh yang diidolakannya. Kelak, rasa penghargaan terhadap dirinya tidak terbentuk optimal.
Lagi pula jika si kecil memiliki tokoh hero, orang tua dapat memetik beberapa manfaat, yakni:
* Sebagai Media Penanaman Nilai. Adanya pengidolaan anak pada tokoh hero dapat mempermudah orang tua dalam memasukkan berbagai nilai-nilai kehidupan. "Spiderman itu sayang sama anak baik yang mau meminjamkan temannya mainan," begitu misalnya.
* Panutan. Umpamanya, saat anak sulit makan, kita dapat mengatakan, "Popeye jadi kuat kan kalau makan bayam. Adek kalau makan bayam juga bisa jadi jagoan."
* Menumbuhkan imajinasi. Bila orang tua dapat mengolah rasa suka anak pada tokoh tertentu menjadi suatu permainan yang imajinatif dan menyenangkan, maka imajinasi anak pun bisa berkembang dengan baik. Umpamanya, "Kita buat topeng kertas biar kayak Batman yuk!" Lalu apakah kesukaan anak akan suatu tokoh hero akan berlanjut terus? Tidak juga kok. Menurut Diana, dengan bertambahnya usia si kecil, tokoh hero ini bisa berganti. Namun bisa juga tidak. Tergantung seberapa sering tokoh hero tersebut terekspos dan bagaimana pola pikir anak nanti. Jika pengidolaannya pada tokoh hero tersebut difasilitasi misalnya orang tua selalu membelikan pernak-pernik yang berkaitan dengan tokoh itu termasuk buku dan filmnya maka kesukaan anak pada idolanya bisa bertahan lama. Sebaliknya, bila ekspos tokoh tersebut dan dukungan orang tua kurang, ditambah pola pikir anak sudah lebih meningkat, kesukaannya akan tokoh hero itu hanya sesaat. Toh, berlanjut atau tidak kesenangan si kecil pada tokoh tertentu, hal ini normal saja.
Kalaupun orang tua menceritakan kehebatan si tokoh, si kecil akan sulit membayangkan sosok atau karakternya, karena dianggap terlalu abstrak. Tak heran, jarang batita yang mengidolakan tokoh hero lokal. Kecuali jika memang si tokoh punya kaitan langsung dalam keluarga, kakek, umpamanya. Mau tak mau anak akan selalu mendengar cerita kepahlawanannya dan bisa secara langsung melihat wajah si kakek dari foto.
Sebaliknya, lanjut Diana, tokoh hero impor banyak terekspos melalui berbagai media, dari film hingga buku. Jika anak bisa melihatnya dengan lebih detail; bagaimana wajah, karakter, dan gerak-geriknya, maka tokoh hero tersebut akan lebih merasuk dalam dirinya.
Dedeh Kurniasih. Foto: Iman/nakita
Beberapa saat setelah film Spiderman II diluncurkan di bioskop-bioskop, banyak orang tua mengeluh kalau anaknya merengek-rengek minta dibelikan baju merah-biru bergambar jaring laba-laba ala tokoh superhero tersebut. Tak hanya sampai di situ, dengan baju tersebut, mereka seakan-akan dapat berubah menjadi "sakti" sehingga sering berciiiat-ciaat dan melompat-lompat tanpa kenal tempat. "Saat di mal, anakku yang sedang mengenakan baju Spiderman, tiba-tiba berteriak pada kakaknya untuk mengajak lari karena Doc Oc (manusia gurita musuh Spiderman) datang. 'Awas Doc Oc dateng...' sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke arahku. Duh malunya. Apalagi akibat teriakan kedua anakku itu, semua mata memandang ke arah kami!" keluh seorang ibu.
Memang, orang tua bisa jengkel, sebal, heran, kala si kecil mengikuti polah si tokoh idola seharian. Bahkan tak jarang yang sampai bertanya, "Nih, anak perlu dibawa ke psikolog enggak sih? Ciaaat... ciaat melulu tiap hari." Jawabannya: enggak perlu kok! Menurut Rosdiana S.Tarigan, M.Psi., MHPEd., suatu hal yang wajar kalau si batita punya tokoh hero atau tokoh yang ia sukai, kagumi, dan idolakan. Hal ini berkaitan dengan perkembangan otaknya yang sudah lebih mengerti pada apa yang ia lihat dan dengar dari suatu kejadian yang ada di sekitar dirinya. Selain itu, mereka juga mulai mempunyai kecenderungan akan sesuatu yang dia sukai dan tidak. "Aku lebih suka Power Rangers daripada Ultraman. Soalnya helm Ultraman berjambul sih," misal.
Yang juga masih dalam batas kewajaran, si batita biasanya senang berulang kali menonton film heronya atau berulang-ulang memakai baju bergambar si tokoh hero tanpa mau diganti. "Pada usia ini, kesenangan anak pada sesuatu masih terbatas. Jadi apa pun yang disuka akan dimintanya berulang-ulang setiap hari. Memang terkesan agak berlebihan kalau dilihat dari sudut pandang orang dewasa, tapi selama tak membahayakan dirinya masih tetap wajar, kok," ujar psikolog dari Empaty Development Center, Jakarta ini.
TAK HANYA YANG BERTOPENG
Yang perlu diketahui, tokoh hero yang dikagumi batita tak sebatas tokoh yang jago berkelahi dan bertopeng saja. Mereka bisa saja mengidolakan tokoh hewan yang digambarkan sebagai jagoan seperti Simba, Nemo, atau Willy si paus. Dapat juga tokoh yang digambarkan sebagai orang yang penyayang, baik hati, atau cerdik. Sebutlah Tintin, tokoh hasil rekaan Herge. Karakter tokoh berjambul ini malah diceritakan sebagai pria yang antikekerasan, cerdik, baik hati, serta jujur.
Menurut Diana, pengidolaan bisa muncul kapan saja pada setiap anak, saat ia memiliki kesan mendalam pada figur tertentu. "Orang-orang terdekat bisa juga menjadi tokoh hero bagi anak. Selain orang tua, bisa juga guru di kelompok bermainnya, kakek, atau lainnya. Anak mengagumi guru mungkin karena ia kerap diperlakukan dengan baik. Sedangkan ia terkesan pada sang kakek, mungkin karena sering mendengar cerita tentang kepahlawanannya sehingga memberi kebanggaan secara turun-temurun dalam keluarga tersebut."
Uniknya, kata Diana, pemilihan anak pada seorang tokoh idola tak kenal jender. Dalam artian, si upik bisa saja gandrung pada Superman sementara si buyung kagum pada kelincahan para Power Puff Girls. Hal ini sah-sah saja. Justru Diana mengimbau orang tua agar jangan bias jender karena baik anak perempuan dan laki-laki harus memiliki kesetaraan.
Pemujaan pada seorang tokoh hero pun tak bisa dikatakan dapat menggambarkan kepribadian anak. Jadi bukan berarti anak yang energik dan aktif pasti suka tokoh yang macho, misalnya. Bisa saja, ia menyukai figur yang lembut sifatnya. "Pemilihan anak pada suatu tokoh hero lebih pada penggambaran norma atau nilai yang dianut dalam lingkungan keluarganya. Jadi bukan pada masalah kepribadiannya," ujar Diana.
HAL YANG MESTI DIWASPADAI
Hanya saja, psikolog lulusan Universitas Indonesia ini mewanti-wanti agar orang tua memantau siapa tokoh hero yang dikagumi si kecil. Jangan sampai anak salah pilih; yang dikagumi justru tokoh antagonis yang punya karakter buruk. Ini bisa saja terjadi, umpamanya, karena anak sering terekspos film tentang penjahat sehingga dia berkeinginan jadi tokoh penjahat tersebut. Meski demikian hindari mencela dan memarahinya. Lebih baik jelaskan saja, "Dek, monster Org itu memang jago tapi dia jahat. Lihat deh, dia jadi enggak punya teman kan? Sering dikejar-kejar Power Rangers lagi!" Lalu berikan tokoh lain yang mempunyai sifat positif. "Kalau Mama senang Putri Shiela karena sering menolong Power Rangers jika sedang dalam kesulitan. Semua orang jadi sayang sama dia," misalnya.
Hal lain yang patut dicermati juga mengenai implikasi pengidolaan, karena bisa saja si kecil jadi meniru-niru perilaku tokoh pujaannya. Jika Spiderman piawai memanjat gedung, si kecil pun akan coba-coba memanjat dinding rumah. Si Upik yang memuja Barbie, mungkin akan meniru gaya berpakaian bahkan rambut si boneka cantik ini. Nah, untuk soal ini, menurut Diana, selama apa yang dilakukan anak tidak membahayakan, biarkan ia meniru-niru sang idolanya itu. Kecuali tentu jika ia sudah berbuat hal yang berisiko, semisal "terbang" dari jendela rumah karena ingin seperti Superman. Memang tak mudah bagi orang tua untuk mengatakan kepada si batita bahwa Superman hanya sekadar tokoh di film yang sebenarnya tidak bisa terbang. Penjelasan seperti itu masih terlalu kompleks diterima jalan pikirannya. Jadi cukup jelaskan, "Adek kan bukan Superman. Kalau Adek loncat dari jendela bisa jatuh dan kakinya bisa patah."
Namun, untuk menutup rasa penasaran anak akan sensasi terbang ala Superman, bisa juga, orang tua menciptakan suatu dramatic play. Misal, mengajak anak tengkurap di atas bantal yang agak tinggi untuk kemudian menggerakkan tangan dan kakinya seolah sedang terbang di suatu ketinggian. Kalaupun si batita ingin meniru perilaku melompat atau memanjat, mintalah ia melakukannya dari tempat yang tak terlalu tinggi dan terjangkau. Namun, tetap dalam pengawasan orang tua atau orang dewasa yang ada bersamanya.
MANFAAT TOKOH HERO
Jadi, saran Diana, hindari meremehkan tokoh hero si kecil, apalagi dengan kata-kata celaan, seperti, "Apa sih bagusnya Spiderman?" karena hal ini akan dapat mematikan kreativitas dan inisiatifnya. Si kecil pun akan merasa kurang kompeten dalam memilih sesuatu yang disukainya atau tokoh yang diidolakannya. Kelak, rasa penghargaan terhadap dirinya tidak terbentuk optimal.
Lagi pula jika si kecil memiliki tokoh hero, orang tua dapat memetik beberapa manfaat, yakni:
* Sebagai Media Penanaman Nilai. Adanya pengidolaan anak pada tokoh hero dapat mempermudah orang tua dalam memasukkan berbagai nilai-nilai kehidupan. "Spiderman itu sayang sama anak baik yang mau meminjamkan temannya mainan," begitu misalnya.
* Panutan. Umpamanya, saat anak sulit makan, kita dapat mengatakan, "Popeye jadi kuat kan kalau makan bayam. Adek kalau makan bayam juga bisa jadi jagoan."
* Menumbuhkan imajinasi. Bila orang tua dapat mengolah rasa suka anak pada tokoh tertentu menjadi suatu permainan yang imajinatif dan menyenangkan, maka imajinasi anak pun bisa berkembang dengan baik. Umpamanya, "Kita buat topeng kertas biar kayak Batman yuk!" Lalu apakah kesukaan anak akan suatu tokoh hero akan berlanjut terus? Tidak juga kok. Menurut Diana, dengan bertambahnya usia si kecil, tokoh hero ini bisa berganti. Namun bisa juga tidak. Tergantung seberapa sering tokoh hero tersebut terekspos dan bagaimana pola pikir anak nanti. Jika pengidolaannya pada tokoh hero tersebut difasilitasi misalnya orang tua selalu membelikan pernak-pernik yang berkaitan dengan tokoh itu termasuk buku dan filmnya maka kesukaan anak pada idolanya bisa bertahan lama. Sebaliknya, bila ekspos tokoh tersebut dan dukungan orang tua kurang, ditambah pola pikir anak sudah lebih meningkat, kesukaannya akan tokoh hero itu hanya sesaat. Toh, berlanjut atau tidak kesenangan si kecil pada tokoh tertentu, hal ini normal saja.
TOKOH HERO "IMPOR" LEBIH LAKU
Anak
zaman sekarang cenderung lebih memilih tokoh hero "impor", seperti
Spiderman, Superman, Batman atau lainnya ketimbang tokoh hero made in
Indonesia sebutlah Gatot Kaca, Si Kancil, Diponegoro, Jendral Sudirman
dan lainnya. Mengapa? Karena umumnya tokoh hero lokal jarang sekali
terekspos media, baik media elektronik maupun cetak. Meskipun ada,
jumlah dan frekuensinya jauh lebih sedikit. Buku-buku cerita
kepahlawanan tokoh lokal pun dikemas kurang menarik. Kalaupun orang tua menceritakan kehebatan si tokoh, si kecil akan sulit membayangkan sosok atau karakternya, karena dianggap terlalu abstrak. Tak heran, jarang batita yang mengidolakan tokoh hero lokal. Kecuali jika memang si tokoh punya kaitan langsung dalam keluarga, kakek, umpamanya. Mau tak mau anak akan selalu mendengar cerita kepahlawanannya dan bisa secara langsung melihat wajah si kakek dari foto.
Sebaliknya, lanjut Diana, tokoh hero impor banyak terekspos melalui berbagai media, dari film hingga buku. Jika anak bisa melihatnya dengan lebih detail; bagaimana wajah, karakter, dan gerak-geriknya, maka tokoh hero tersebut akan lebih merasuk dalam dirinya.
Dedeh Kurniasih. Foto: Iman/nakita
Tuesday, July 13, 2004
Batman Mati
Jagoan tak selamanya hebat, adalah kenyataan yang sangat
manusiawi. Tapi sutradara mana yang mau menampilkan sosok jagoan yang
lemah, bahkan bisa mati oleh musuhnya? Hanya sutradara nye-leneh
tentunya. Dan sutradara macam itu hanya ada di dunia film indie.
Sandy Colora, sang sutradara nyeleneh itu, memfilmkan si Manusia Kelelawar, Batman, dengan aroma yang sangat ngomik. Ia mencampur-adukkan beberapa karak-ter yang muncul dalam film berbeda ke dalam satu screen.
“Batman Dead End”, film hasil garapannya itu, tampil dengan memikat dan memuaskan banyak pecinta komik, terutama para fansnya Batman. Film independent, memang bisa tampil dengan sangat kreatif, penuh dengan semangat independensi.
Jadi, kalian pasti penasaran, kan, menyaksikan akhir kehidupan jagoan berjubah yang senang kelayapan malam itu? Tonton aja segera film yang berdurasi kurang-lebih 8 menit tersebut. Tapi jangan harap bisa mendapatkannya di tempat penyewaan VCD. Kalian harus pergi ke warnet - kalau tak punya koneksi inter-net di rumah - dan mendownloadnya dari http://www.theforce.net/theater/shortfilms/batman_deadendRepot? Ya, begitulah kalau mau dapet barang bagus. [fitra]
Sandy Colora, sang sutradara nyeleneh itu, memfilmkan si Manusia Kelelawar, Batman, dengan aroma yang sangat ngomik. Ia mencampur-adukkan beberapa karak-ter yang muncul dalam film berbeda ke dalam satu screen.
“Batman Dead End”, film hasil garapannya itu, tampil dengan memikat dan memuaskan banyak pecinta komik, terutama para fansnya Batman. Film independent, memang bisa tampil dengan sangat kreatif, penuh dengan semangat independensi.
Jadi, kalian pasti penasaran, kan, menyaksikan akhir kehidupan jagoan berjubah yang senang kelayapan malam itu? Tonton aja segera film yang berdurasi kurang-lebih 8 menit tersebut. Tapi jangan harap bisa mendapatkannya di tempat penyewaan VCD. Kalian harus pergi ke warnet - kalau tak punya koneksi inter-net di rumah - dan mendownloadnya dari http://www.theforce.net/theater/shortfilms/batman_deadendRepot? Ya, begitulah kalau mau dapet barang bagus. [fitra]
Comics to Films
Tau nggak, seh, kalau seorang komikus sebetulnya merangkap
beberapa pe-kerjaan yang menyangkut produksi film sekaligus ketika
membuat sebuah komik?
Pertama, ketika membuat cerita untuk ko-miknya, ia melakukan pekerjaan sebagi seorang script writer yang dituntut untuk mampu mebuat cerita yang menarik. Sebelum dijadikan rang-kaian gambar, cerita tersebut disusun menjadi skenario atau story line, yang berarti si komikus telah melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan seorang penulis skenario. Dan ketika skenario tersebut akan diubah menjadi rangkaian gambar, si komikus harus pandai mencari angle atau sudut pandang yang menarik agar gambar-gambar yang dibuatnya dalam rangkaian frame bisa tampil ‘hidup’ dan dramatis, dan itu adalah pekerjaan yang biasa dilakukan oleh seorang sutradara.
Sedangkan pembuatan sketsa gambar dan pewarnaan, adalah nilai plus yang dimiliki oleh seorang komikus dimana keterampilan ini sering digunakan dalam pembuatan story board untuk iklan atau kebutuhan pembuatan ilustrasi lain-nya. Dalam komik, sering pula muncul tokoh-tokoh dengan desain kostum yang unik dan tak jarang dijadikan rancangan oleh para perancang mode, dan itu adalah pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh para perancang kostum.
Walau kebanyakan dalam pembuatan sebuah komik telah ada penanggung-jawabnya sendiri-sendiri - seperti bagian pensil, bagian pewar-naan, bagian teks, dikerjakan oleh orang yang berbeda - namun tak jarang pula komikus yang melakukan semua pekerjaan tersebut seorang diri alias kerja borongan.
Begitu banyak cerita fantastis yang tercipta dari dunia gambar berturutan ini. Sebut saja Superman misalnya. Siapa yang tak kenal ja-goan yang bisa terbang ini? Dari mulai anak kecil sampai orang tua bangkotan, semua kenal atau bahkan menyukainya. Aksi-aksinya dalam memberantas kejahatan dengan segala kedig-jayaan yang dimilikinya, begitu asyik untuk dinik-mati. Tak heran bila kisah yang memikat itu lantas menarik para produser film untuk mem-filmkannya.
Maka jagoan yang lahir pada tahun 1938 dari tangan Jerry Siegel dan Joe Shuster pun lantas beralih dunia dari gambar mati di atas kertas menjadi gambar hidup di atas film. Dari mulai serial TV sampai film layar lebar. Bahkan sampai mengalami beberapa kali pembuatan ulang, dengan Cristopher Reeve sebagai pemeran utama yang paling kita kenal. Kiprah Superman di layar lebar lantas di ikuti rekan-rekan jagoan lainnya, seperti Batman, Flash, Captain America, serta banyak lagi yang lainnya.
Dan dalam waktu dekat akan tayang di bioskop beberapa film yang diadaptasi dari komik, yaitu Hell Boy, si setan baik hati pemberantas kejahat-an, The Punisher, manusia laba-laba alias Spiderman yang sudah memasuki episode ke 2, Cat Woman, Fantastic Four, sampai si kucing lucu Garfield.
Tak ketinggalan dengan Amerika, Jepang se-bagai negara di Asia terkenal sebagai negara produsen komik atau yang dikenal dengan istilah Manga. Segala masalah kehidupan hampir semuanya terwakili dalam rangkaian gambar ter-sebut. Bahkan hampir semua komik Jepang dibarengi dengan animasinya, dan biasanya ani-masi tersebut disutradarai langsung oleh ko-mikusnya. Itulah salah satu alasan mengapa penerbit di Indonesia lebih senang menerbitkan komik terjemahan dari negeri Matahari Terbit tersebut; karena biayanya lebih murah, karena bisa mendapatkan satu paket dengan animasinya.
Itu di Amerika dan di Jepang. Bagaimana dengan di Indonesia? Pada tahun 80-an Indonesia pernah mengalami masa keemasan komik lokal. Ada Panji Tengkorak karya Hans Jaladara, ada Si Buta dari Goa Hantu karya Jan Mintaraga, serta jagoan-jagoan lokal lainnya yang sempat malang melintang di tanah air. Setelah sukses dengan komik-komiknya, para jagoan tersebut lantas beralih pula ke layar lebar. Lalu ketika dunia sinetron mulai booming, maka kisahnya pun dijadikan sinetron.
Komik, bagi sebagian orang memang masih di-anggap sebagai media yang hanya membuang waktu saja, hanya pantas dibaca oleh anak kecil. Tapi justru dari pikiran anak kecil seperti itulah bisa muncul berbagai kisah yang spektakuler.
Rizal Mantovani yang kini dikenal sebagai sutra-dara video klip papan atas, mengawali karirnya dengan banyak membuat komik pesanan orang. Komikus bisa saja memilih tetap menjadi komikus. Soal menjadi sutradara, penulis cerita atau perancang kostum, itu adalah soal pilihan. Tapi setidaknya, bagi kalian yang ingin berkecimpung di dunia periklanan atau sinema-tografi, mengawalinya dari dunia komik mung-kin bisa dijadikan sebuah pilihan [fitra]
Pertama, ketika membuat cerita untuk ko-miknya, ia melakukan pekerjaan sebagi seorang script writer yang dituntut untuk mampu mebuat cerita yang menarik. Sebelum dijadikan rang-kaian gambar, cerita tersebut disusun menjadi skenario atau story line, yang berarti si komikus telah melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan seorang penulis skenario. Dan ketika skenario tersebut akan diubah menjadi rangkaian gambar, si komikus harus pandai mencari angle atau sudut pandang yang menarik agar gambar-gambar yang dibuatnya dalam rangkaian frame bisa tampil ‘hidup’ dan dramatis, dan itu adalah pekerjaan yang biasa dilakukan oleh seorang sutradara.
Sedangkan pembuatan sketsa gambar dan pewarnaan, adalah nilai plus yang dimiliki oleh seorang komikus dimana keterampilan ini sering digunakan dalam pembuatan story board untuk iklan atau kebutuhan pembuatan ilustrasi lain-nya. Dalam komik, sering pula muncul tokoh-tokoh dengan desain kostum yang unik dan tak jarang dijadikan rancangan oleh para perancang mode, dan itu adalah pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh para perancang kostum.
Walau kebanyakan dalam pembuatan sebuah komik telah ada penanggung-jawabnya sendiri-sendiri - seperti bagian pensil, bagian pewar-naan, bagian teks, dikerjakan oleh orang yang berbeda - namun tak jarang pula komikus yang melakukan semua pekerjaan tersebut seorang diri alias kerja borongan.
Begitu banyak cerita fantastis yang tercipta dari dunia gambar berturutan ini. Sebut saja Superman misalnya. Siapa yang tak kenal ja-goan yang bisa terbang ini? Dari mulai anak kecil sampai orang tua bangkotan, semua kenal atau bahkan menyukainya. Aksi-aksinya dalam memberantas kejahatan dengan segala kedig-jayaan yang dimilikinya, begitu asyik untuk dinik-mati. Tak heran bila kisah yang memikat itu lantas menarik para produser film untuk mem-filmkannya.
Maka jagoan yang lahir pada tahun 1938 dari tangan Jerry Siegel dan Joe Shuster pun lantas beralih dunia dari gambar mati di atas kertas menjadi gambar hidup di atas film. Dari mulai serial TV sampai film layar lebar. Bahkan sampai mengalami beberapa kali pembuatan ulang, dengan Cristopher Reeve sebagai pemeran utama yang paling kita kenal. Kiprah Superman di layar lebar lantas di ikuti rekan-rekan jagoan lainnya, seperti Batman, Flash, Captain America, serta banyak lagi yang lainnya.
Dan dalam waktu dekat akan tayang di bioskop beberapa film yang diadaptasi dari komik, yaitu Hell Boy, si setan baik hati pemberantas kejahat-an, The Punisher, manusia laba-laba alias Spiderman yang sudah memasuki episode ke 2, Cat Woman, Fantastic Four, sampai si kucing lucu Garfield.
Tak ketinggalan dengan Amerika, Jepang se-bagai negara di Asia terkenal sebagai negara produsen komik atau yang dikenal dengan istilah Manga. Segala masalah kehidupan hampir semuanya terwakili dalam rangkaian gambar ter-sebut. Bahkan hampir semua komik Jepang dibarengi dengan animasinya, dan biasanya ani-masi tersebut disutradarai langsung oleh ko-mikusnya. Itulah salah satu alasan mengapa penerbit di Indonesia lebih senang menerbitkan komik terjemahan dari negeri Matahari Terbit tersebut; karena biayanya lebih murah, karena bisa mendapatkan satu paket dengan animasinya.
Itu di Amerika dan di Jepang. Bagaimana dengan di Indonesia? Pada tahun 80-an Indonesia pernah mengalami masa keemasan komik lokal. Ada Panji Tengkorak karya Hans Jaladara, ada Si Buta dari Goa Hantu karya Jan Mintaraga, serta jagoan-jagoan lokal lainnya yang sempat malang melintang di tanah air. Setelah sukses dengan komik-komiknya, para jagoan tersebut lantas beralih pula ke layar lebar. Lalu ketika dunia sinetron mulai booming, maka kisahnya pun dijadikan sinetron.
Komik, bagi sebagian orang memang masih di-anggap sebagai media yang hanya membuang waktu saja, hanya pantas dibaca oleh anak kecil. Tapi justru dari pikiran anak kecil seperti itulah bisa muncul berbagai kisah yang spektakuler.
Rizal Mantovani yang kini dikenal sebagai sutra-dara video klip papan atas, mengawali karirnya dengan banyak membuat komik pesanan orang. Komikus bisa saja memilih tetap menjadi komikus. Soal menjadi sutradara, penulis cerita atau perancang kostum, itu adalah soal pilihan. Tapi setidaknya, bagi kalian yang ingin berkecimpung di dunia periklanan atau sinema-tografi, mengawalinya dari dunia komik mung-kin bisa dijadikan sebuah pilihan [fitra]
Wednesday, July 07, 2004
SEBUAH KEGENITAN TEKNOLOGI
judul Taxi Blues
ilustrator Erwin Primaarya
cerita Seno Gumira Ajidarma
isi 32 hal.
penerbit Smart Reading Production, 2001
Satu lagi karya cerpen Seno Gumira Ajidarma dikomikkan pasca Jakarta 2039. Taxi Blues yang diambil berdasarkan antologi cerpen Seno Iblis Tak Pernah Mati (penerbit Galang Press, 1999) kali ini dikomikkan oleh ilustrator yang juga animator film iklan, Erwin Primaarya. Komik ini mengisahkan perjalanan seorang sopir taksi menjumpai berbagai macam karakter penumpangnya. Seperti cerpen aslinya komik ini mencoba mengalihkan ke bahasa gambar keterasingan sopir taksi di tengah malam. Dengan mengambil setting malam hari dengan lihai Erwin mendramatisir cerpen Seno ini ke dalam suasana gerimis hujan (dalam cerpen aslinya tidak digambarkan suasana hujan.)
Bukan sekedar komik biasa gambar-gambar dalam Taxi Blues versi Erwin ini mengambil pendekatan layaknya aspek sinematografis sebuah film. Gambar per gambarnya dibuat Erwin layaknya story board film. Bahkan menurut ilustratornya sendiri sehabis membaca cerpen Taxi Blues ia membuat gambar seakan sedang mengerjakan story boardnya. Komik ini juga disertai cd-rom interaktif yang berisi sebagian proses di balik pembuatan komik Taxi Blues mulai dari sket sampai beberapa gambar yang dipertajam lewat shoot per adegan dengan teknik animasi. Warna-warna biru yang dominan dalam komik ini berhasil menggambarkan kesuraman malam cerpen Seno. Pewarnaan biru dan warna-warni lampu di background gambar menurut ilustratorrnya terinsiprasi dari film Taxi Driver karya sineas Martin Scorsese.
Sayang, kendati telah berhasil mempergunakan aspek sinematografis serta komputerisasi yang begitu total terutama dalam pewarnaan, komik ini jadinya terlalu genit sehingga nyaris melupakan garis-garis alamiah di setiap karakter layaknya penggambaran komik. Bahkan dengan teknik komputer komik ini jadinya terasa kurang manusiawi. Pembaca dihadapkan pada gambar yang terlalu “wah” sehingga meninggalkan kesan hambar setelah cerita ini selesai. Suasana keterasingan sopir taksi juga kurang berhasil digambarkan sehingga di tangan Erwin ia hanya jadi semacam tokoh utama biasa saja tanpa kesan.
Jika memang aspek komputerisasi yang ditonjolkan Erwin ada baiknya ia mengambil cerita lain yang lebih panjang. Dengan cerita yang lebih panjang (mungkin cerita macam komik Tapak Sakti, superhero berbagai versi ala Batman atau wayang) cerita jadinya malah lebih hidup sehingga pembaca lebih terserap imajinya dalam menikmati gambar bak membaca komik-komik Amerika produk Detective Comics atau misalkan produk-produk R.A Kosasih yang dipertajam lewat grafis komputer.
Jika yang terambil adalah cerita sependek ini komikus seharusnya lebih mempertajam garis-garis penanya entah itu dalam penggambaran karakter maupun pewarnaan. Tanpa bermaksud membandingkan, kekuatan sebuah komik mau tak mau akhirnya kembali lagi pada teknis bukan pada teknologi semata seperti yang dilakukan Asnar Zacky di komik Jakarta 2039. Namun sebagai pencapaian ide baru komik ini patut kita hargai dalam upayanya mengisi dunia perkomikan Indonesia yang sampai saat ini tak dipungkiri lagi masih tersingkir dengan produk luar negeri.[*]
DNA
ilustrator Erwin Primaarya
cerita Seno Gumira Ajidarma
isi 32 hal.
penerbit Smart Reading Production, 2001
Satu lagi karya cerpen Seno Gumira Ajidarma dikomikkan pasca Jakarta 2039. Taxi Blues yang diambil berdasarkan antologi cerpen Seno Iblis Tak Pernah Mati (penerbit Galang Press, 1999) kali ini dikomikkan oleh ilustrator yang juga animator film iklan, Erwin Primaarya. Komik ini mengisahkan perjalanan seorang sopir taksi menjumpai berbagai macam karakter penumpangnya. Seperti cerpen aslinya komik ini mencoba mengalihkan ke bahasa gambar keterasingan sopir taksi di tengah malam. Dengan mengambil setting malam hari dengan lihai Erwin mendramatisir cerpen Seno ini ke dalam suasana gerimis hujan (dalam cerpen aslinya tidak digambarkan suasana hujan.)
Bukan sekedar komik biasa gambar-gambar dalam Taxi Blues versi Erwin ini mengambil pendekatan layaknya aspek sinematografis sebuah film. Gambar per gambarnya dibuat Erwin layaknya story board film. Bahkan menurut ilustratornya sendiri sehabis membaca cerpen Taxi Blues ia membuat gambar seakan sedang mengerjakan story boardnya. Komik ini juga disertai cd-rom interaktif yang berisi sebagian proses di balik pembuatan komik Taxi Blues mulai dari sket sampai beberapa gambar yang dipertajam lewat shoot per adegan dengan teknik animasi. Warna-warna biru yang dominan dalam komik ini berhasil menggambarkan kesuraman malam cerpen Seno. Pewarnaan biru dan warna-warni lampu di background gambar menurut ilustratorrnya terinsiprasi dari film Taxi Driver karya sineas Martin Scorsese.
Sayang, kendati telah berhasil mempergunakan aspek sinematografis serta komputerisasi yang begitu total terutama dalam pewarnaan, komik ini jadinya terlalu genit sehingga nyaris melupakan garis-garis alamiah di setiap karakter layaknya penggambaran komik. Bahkan dengan teknik komputer komik ini jadinya terasa kurang manusiawi. Pembaca dihadapkan pada gambar yang terlalu “wah” sehingga meninggalkan kesan hambar setelah cerita ini selesai. Suasana keterasingan sopir taksi juga kurang berhasil digambarkan sehingga di tangan Erwin ia hanya jadi semacam tokoh utama biasa saja tanpa kesan.
Jika memang aspek komputerisasi yang ditonjolkan Erwin ada baiknya ia mengambil cerita lain yang lebih panjang. Dengan cerita yang lebih panjang (mungkin cerita macam komik Tapak Sakti, superhero berbagai versi ala Batman atau wayang) cerita jadinya malah lebih hidup sehingga pembaca lebih terserap imajinya dalam menikmati gambar bak membaca komik-komik Amerika produk Detective Comics atau misalkan produk-produk R.A Kosasih yang dipertajam lewat grafis komputer.
Jika yang terambil adalah cerita sependek ini komikus seharusnya lebih mempertajam garis-garis penanya entah itu dalam penggambaran karakter maupun pewarnaan. Tanpa bermaksud membandingkan, kekuatan sebuah komik mau tak mau akhirnya kembali lagi pada teknis bukan pada teknologi semata seperti yang dilakukan Asnar Zacky di komik Jakarta 2039. Namun sebagai pencapaian ide baru komik ini patut kita hargai dalam upayanya mengisi dunia perkomikan Indonesia yang sampai saat ini tak dipungkiri lagi masih tersingkir dengan produk luar negeri.[*]
DNA
Palestina, Cara Lain Membaca Konflik
Judul: Palestina, Duka Orang-Orang Terusir I & II (terjemahan)
Pengarang: Joe Sacco
Pengantar: Edward W. Said, Goenawan Mohamad
Penerjemah: Ary Nilandari
Editor: Salman Faridi
Penerbit: Fantagraphics Books, 2003/DAR Mizan, 2004
Isi: 150 hlm.
Di Indonesia nama Joe Sacco barangkali masih asing. Padahal, komikus lulusan Universitas Oregon ini di Amerika tengah melenggang sendirian sebagai satu-satunya penganut komik jurnalistik lewat karyanya yang banyak dimuat di majalah Details, Time, dan Harper’s. Beruntunglah karya peraih penghargaan Will Eisner Award untuk Best Original Graphic Novel 2001 kini dapat dinikmati pembaca Indonesia lewat Palestina, Duka Orang-Orang Terusir yang diterbitkan DAR Mizan.
Dua serial komik Palestina menceritakan kisah perjalanan Joe Sacco saat bertandang ke Palestina. Sejak kunjungan itu, Sacco yang dalam perjalanannya ditemani fotografer asal Jepang, Saburo ia menggambar daerah tersebut bak seorang fotografer merekam kehidupan masyarakat Palestina dengan gejolak sosial politiknya.
Komik ini dibuka dengan perjalanan Sacco memasuki Kairo yang sumpek dan bising. Kairo, adalah persinggahannya pertama sebelum Palestina. Setibanya di hotel, ia bertemu dengan Shreef, seorang Muslim dan Taha yang terang-terangan membenci Israel. Tiga minggu kemudian saat Sacco berada di Nablus ingatannya melayang saat ia pergi ke Berlin dimana hatinya tergugah ketika Kinghoffer, seorang Yahudi Amerika ditembak mati oleh Front Pembebasan Palestina.
Pikiran Sacco terusik antara media Amerika yang demikian giatnya mengulik kisah sensasional Klinghoffer yang terbunuh sedangkan Amerika seperti tak peduli dengan masalah rakyat Palestina ketika warganya terbunuh dalam serangan teroris. Hal demikian membulatkan hati Sacco untuk pergi ke Palestina untuk melihat sendiri apa yang tengah terjadi di sana.
Cerita lalu bergulir dalam petualangan Sacco di Palestina. Di sana ia menyaksikan bangsa Israel yang mencerminkan sosok penguasa sewenang-wenang sampai para aktivis perdamaian Palestina sendiri yang mendukung hak-hak rakyat Palestina tampak begitu ragu, sehingga mereka jadi sasaran kekecewaan. Sacco menyebutnya dengan nada sedikit sinis, yaitu menyebutnya sebagai “pembicara manis” dan “menjerit seakan hidup bergantung pada kerasnya jeritan”. (h. 20).
Lewat penggambarannya yang jenial Sacco memang menghadirkan nafas baru dalam dua kubu yang berbeda, yaitu pengawinan antara komik sebagai pijakan visual dan laporan jurnalistik sebagai landasan cerita. Walau disajikan dalam bentuk komik memang perlu sedikit enerji lebih untuk menikmatinya. Karya Sacco memang sebuah karya yang tidak umum.
Selain menyimak “plesirannya” kita juga dihadapkan pada studi akademis dan historis. Misalnya di halaman 12, Sacco bercerita tentang asal mula sejarah penyebaran Yahudi-Inggris dimana Lord Balfour menandatangani deklarasi dan para zionis memperoleh komitmen Inggris, yaitu Palestina untuk kaum Yahudi. Atau di halaman 42 ia bercerita perihal keberadaan warga Palestina yang sudah terusir sejak Theodor Herzl merumuskan Zionisme modern akhir tahun 1800-an, “Kita harus memindahkan diam-diam populasi miskin itu ke luar perbatasan dengan menciptakan pekerjaan untuknya di negara transit, sementara melarangnya bekerja di negara kita sendiri.” Tapi mereka ada, benar-benar ada, dan inilah mereka, anak-anak dan cucu mereka…tetap saja mereka pengungsi…sudah basi, barangkali, setiap malam muncul dalam berita, namun bagaimanapun, pengungsi…yang kukira berarti mereka menunggu untuk pulang. Tapi, pulang ke mana? Nyaris 400 desa Palestina dihancurkan Israel selama dan setelah perang tahun 48…warga Palestina yang melarikan diri dinyatakan “tidak ada”…rumah dan tanah mereka dinyatakan “ditinggalkan” atau “tidak diolah” dan diambil alih untuk pemukiman Yahudi.
***
Bentuk pengisahan yang tak biasa dengan tiadanya tokoh super hero laiknya komik membuat buku ini berbeda. Tak ada usaha mengkarikaturkan hal-hal umum dengan maksud sedikit atau sekedar mengaburkan logika seperti komik Asterix yang kaya dengan wawasan kultural tentang Yunani, Tintin yang di beberapa serinya terlihat representasi Herge dalam memandang situasi sosial politik di Cina, Mesir dan negara lain pun Dwi Koendoro dengan Panji Koming yang mengulik topik aktual Indonesia bergaya satir dalam balutan simbol budaya Jawa.
Ya, Sacco memang berada di sana semata hanya sebagai penonton. Ia pun bukan seorang pengamat politik yang sedang menguji ilmu atawa seniman yang tengah mencari ide lantas merepresentasikan pengalaman dengan interpretasinya. Subyektivitas jelas ada, namun saat berada di wilayah konflik terlihat tak ada usaha Sacco untuk melebihkan warga Palestina sebagai pihak yang lemah atau menciptakan pahlawan sebagai penyelamat. Tokoh utama dalam komik ini tak lain adalah Sacco sendiri yang memang berada di sana sebagai reporter.
Kendati demikian, di luar segala aspek yang membuat komik ini begitu sangat padat berisi hingga menjadi studi akademis (ahli dan pengamat komik Amerika menyebutnya ‘novel grafis’) ia tak lupa menyelipkan humor hingga pembaca tak lalu berkerut kening atau sekedar terpukau lewat gambar-gambarnya yang menurut pengantar Goenawan Mohamad mengandung “api” yang terpendam.
Di halaman 96 ia membagi pengalamannya tentang lelucon Palestina. Lelucon ini menceritakan tiga agen rahasia, satu CIA, satu KGB dan satu lagi Shin Bet, agen Israel. Masing-masing berlomba siapa tercepat menangkap seekor kelinci yang dilepas ke hutan. Agen CIA pergi duluan dan kembali dengan kelinci dalam 10 menit. Agen KGB kembali dengan kelinci hanya dalam 5 menit. Begitu giliran agen Shin Bet, agen CIA dan KGB menunggu hingga 40 menit. Mereka kemudian masuk hutan dan mencari agen Israel itu. Begitu sampai di tengah hutan yang mereka lihat adalah agen Shin Bet itu memaksa seekor keledai untuk mengaku sebagai kelinci!
Kejadian lucu juga terselip, misalnya ketika Sacco sedang memotret korban penembakan dan bom di Nablus. Di bangsal-bangsal rumah sakit Sacco memotret penderitaan mereka dengan hati iba. Di tengah keibaan Sacco ada seorang anak kecil sengaja berpose menunjukkan kakinya yang terbungkus gips dari tungkai ke paha sambil merengek padanya untuk memotret lagi! (h.33)
Meski gambarnya tak berwarna, garis-garis dan arsirannya demikian ekspresif. Di sinilah kekuatan lain dari Sacco sebagai komikus dengan pijakan-pijakan visualnya yang eksotik (bahkan muram) menghanyutkan kita seperti menonton adegan film. Lihatlah di buku kedua halaman 56, saat Sacco menggambarkan kesaksian Firas, remaja belasan tahun yang bekerja untuk Front Popular Pembebasan Palestina ketika ditangkap tentara Israel. Firas yang terbaring di rumah sakit bersama 12 pasien kasus Intifada lainnya disiksa tentara Israel. Adegan penyiksaan itu digambarkan bertahap dari berbagai sudut pandang, seperti sudut pandang kamera.
Sacco mampu meretas antara seni komik dan laporan jurnalistik sehingga di tangannya komik menjadi medium tak kalah agungnya dengan foto pun reportase yang ditulis dengan pendekataan sastra ala Tom Wolfe, penulis buku The New Journalism (1973). Kala itu suratkabar Amerika memakai elemen ini saat kecepatan televisi memicu mereka agar tampil dengan laporan lebih dalam tak sekedar reportase.
Dalam sejarah komik, Tintin memang sudah mengawali pijakan “komik jurnalistik” tersebut walau dikemas secara komikal dan karikatural. Sedangkan Sacco lewat media komik bertutur laiknya intuisi fotografer ulung yang menghasilkan gambar sama agungnya dengan foto pemenang World Press Photo sekalipun (konon, ia mengerjakan Palestina selama 4 tahun). Ia telah menaikan kelas komik sebagai karya seni realis yang mampu menjadi kajian ilmu pengetahuan laksana cita-cita Scott Mc Cloud dalam bukunya Understanding Comic (1993). Keunggulan ini membuatnya dianugerahi penghargaan non komik seperti American Book Award 1996 atau pujian Dasser H. Azuri, Profesor Ilmu Politik, Universitas Massachuttes sebagai karya yang menunjukkan keahlian, wawasan dan empati serta dari Journal of Palestinian Studies sebagai karya dokumenter terbaik.
Palestina sungguh berhasil sebagai cara lain kita dalam membaca wilayah konflik dari dua sudut pandang sekaligus, komik dan jurnalistik dengan jujur, apa adanya. Langkah penerbitan Palestina ini dari DAR Mizan patut dihargai sebagai upaya memperkenalkan perspektif baru dalam membaca komik.[*]
Donny Anggoro, editor sebuah penerbit di Jakarta.
Pengarang: Joe Sacco
Pengantar: Edward W. Said, Goenawan Mohamad
Penerjemah: Ary Nilandari
Editor: Salman Faridi
Penerbit: Fantagraphics Books, 2003/DAR Mizan, 2004
Isi: 150 hlm.
Di Indonesia nama Joe Sacco barangkali masih asing. Padahal, komikus lulusan Universitas Oregon ini di Amerika tengah melenggang sendirian sebagai satu-satunya penganut komik jurnalistik lewat karyanya yang banyak dimuat di majalah Details, Time, dan Harper’s. Beruntunglah karya peraih penghargaan Will Eisner Award untuk Best Original Graphic Novel 2001 kini dapat dinikmati pembaca Indonesia lewat Palestina, Duka Orang-Orang Terusir yang diterbitkan DAR Mizan.
Dua serial komik Palestina menceritakan kisah perjalanan Joe Sacco saat bertandang ke Palestina. Sejak kunjungan itu, Sacco yang dalam perjalanannya ditemani fotografer asal Jepang, Saburo ia menggambar daerah tersebut bak seorang fotografer merekam kehidupan masyarakat Palestina dengan gejolak sosial politiknya.
Komik ini dibuka dengan perjalanan Sacco memasuki Kairo yang sumpek dan bising. Kairo, adalah persinggahannya pertama sebelum Palestina. Setibanya di hotel, ia bertemu dengan Shreef, seorang Muslim dan Taha yang terang-terangan membenci Israel. Tiga minggu kemudian saat Sacco berada di Nablus ingatannya melayang saat ia pergi ke Berlin dimana hatinya tergugah ketika Kinghoffer, seorang Yahudi Amerika ditembak mati oleh Front Pembebasan Palestina.
Pikiran Sacco terusik antara media Amerika yang demikian giatnya mengulik kisah sensasional Klinghoffer yang terbunuh sedangkan Amerika seperti tak peduli dengan masalah rakyat Palestina ketika warganya terbunuh dalam serangan teroris. Hal demikian membulatkan hati Sacco untuk pergi ke Palestina untuk melihat sendiri apa yang tengah terjadi di sana.
Cerita lalu bergulir dalam petualangan Sacco di Palestina. Di sana ia menyaksikan bangsa Israel yang mencerminkan sosok penguasa sewenang-wenang sampai para aktivis perdamaian Palestina sendiri yang mendukung hak-hak rakyat Palestina tampak begitu ragu, sehingga mereka jadi sasaran kekecewaan. Sacco menyebutnya dengan nada sedikit sinis, yaitu menyebutnya sebagai “pembicara manis” dan “menjerit seakan hidup bergantung pada kerasnya jeritan”. (h. 20).
Lewat penggambarannya yang jenial Sacco memang menghadirkan nafas baru dalam dua kubu yang berbeda, yaitu pengawinan antara komik sebagai pijakan visual dan laporan jurnalistik sebagai landasan cerita. Walau disajikan dalam bentuk komik memang perlu sedikit enerji lebih untuk menikmatinya. Karya Sacco memang sebuah karya yang tidak umum.
Selain menyimak “plesirannya” kita juga dihadapkan pada studi akademis dan historis. Misalnya di halaman 12, Sacco bercerita tentang asal mula sejarah penyebaran Yahudi-Inggris dimana Lord Balfour menandatangani deklarasi dan para zionis memperoleh komitmen Inggris, yaitu Palestina untuk kaum Yahudi. Atau di halaman 42 ia bercerita perihal keberadaan warga Palestina yang sudah terusir sejak Theodor Herzl merumuskan Zionisme modern akhir tahun 1800-an, “Kita harus memindahkan diam-diam populasi miskin itu ke luar perbatasan dengan menciptakan pekerjaan untuknya di negara transit, sementara melarangnya bekerja di negara kita sendiri.” Tapi mereka ada, benar-benar ada, dan inilah mereka, anak-anak dan cucu mereka…tetap saja mereka pengungsi…sudah basi, barangkali, setiap malam muncul dalam berita, namun bagaimanapun, pengungsi…yang kukira berarti mereka menunggu untuk pulang. Tapi, pulang ke mana? Nyaris 400 desa Palestina dihancurkan Israel selama dan setelah perang tahun 48…warga Palestina yang melarikan diri dinyatakan “tidak ada”…rumah dan tanah mereka dinyatakan “ditinggalkan” atau “tidak diolah” dan diambil alih untuk pemukiman Yahudi.
***
Bentuk pengisahan yang tak biasa dengan tiadanya tokoh super hero laiknya komik membuat buku ini berbeda. Tak ada usaha mengkarikaturkan hal-hal umum dengan maksud sedikit atau sekedar mengaburkan logika seperti komik Asterix yang kaya dengan wawasan kultural tentang Yunani, Tintin yang di beberapa serinya terlihat representasi Herge dalam memandang situasi sosial politik di Cina, Mesir dan negara lain pun Dwi Koendoro dengan Panji Koming yang mengulik topik aktual Indonesia bergaya satir dalam balutan simbol budaya Jawa.
Ya, Sacco memang berada di sana semata hanya sebagai penonton. Ia pun bukan seorang pengamat politik yang sedang menguji ilmu atawa seniman yang tengah mencari ide lantas merepresentasikan pengalaman dengan interpretasinya. Subyektivitas jelas ada, namun saat berada di wilayah konflik terlihat tak ada usaha Sacco untuk melebihkan warga Palestina sebagai pihak yang lemah atau menciptakan pahlawan sebagai penyelamat. Tokoh utama dalam komik ini tak lain adalah Sacco sendiri yang memang berada di sana sebagai reporter.
Kendati demikian, di luar segala aspek yang membuat komik ini begitu sangat padat berisi hingga menjadi studi akademis (ahli dan pengamat komik Amerika menyebutnya ‘novel grafis’) ia tak lupa menyelipkan humor hingga pembaca tak lalu berkerut kening atau sekedar terpukau lewat gambar-gambarnya yang menurut pengantar Goenawan Mohamad mengandung “api” yang terpendam.
Di halaman 96 ia membagi pengalamannya tentang lelucon Palestina. Lelucon ini menceritakan tiga agen rahasia, satu CIA, satu KGB dan satu lagi Shin Bet, agen Israel. Masing-masing berlomba siapa tercepat menangkap seekor kelinci yang dilepas ke hutan. Agen CIA pergi duluan dan kembali dengan kelinci dalam 10 menit. Agen KGB kembali dengan kelinci hanya dalam 5 menit. Begitu giliran agen Shin Bet, agen CIA dan KGB menunggu hingga 40 menit. Mereka kemudian masuk hutan dan mencari agen Israel itu. Begitu sampai di tengah hutan yang mereka lihat adalah agen Shin Bet itu memaksa seekor keledai untuk mengaku sebagai kelinci!
Kejadian lucu juga terselip, misalnya ketika Sacco sedang memotret korban penembakan dan bom di Nablus. Di bangsal-bangsal rumah sakit Sacco memotret penderitaan mereka dengan hati iba. Di tengah keibaan Sacco ada seorang anak kecil sengaja berpose menunjukkan kakinya yang terbungkus gips dari tungkai ke paha sambil merengek padanya untuk memotret lagi! (h.33)
Meski gambarnya tak berwarna, garis-garis dan arsirannya demikian ekspresif. Di sinilah kekuatan lain dari Sacco sebagai komikus dengan pijakan-pijakan visualnya yang eksotik (bahkan muram) menghanyutkan kita seperti menonton adegan film. Lihatlah di buku kedua halaman 56, saat Sacco menggambarkan kesaksian Firas, remaja belasan tahun yang bekerja untuk Front Popular Pembebasan Palestina ketika ditangkap tentara Israel. Firas yang terbaring di rumah sakit bersama 12 pasien kasus Intifada lainnya disiksa tentara Israel. Adegan penyiksaan itu digambarkan bertahap dari berbagai sudut pandang, seperti sudut pandang kamera.
Sacco mampu meretas antara seni komik dan laporan jurnalistik sehingga di tangannya komik menjadi medium tak kalah agungnya dengan foto pun reportase yang ditulis dengan pendekataan sastra ala Tom Wolfe, penulis buku The New Journalism (1973). Kala itu suratkabar Amerika memakai elemen ini saat kecepatan televisi memicu mereka agar tampil dengan laporan lebih dalam tak sekedar reportase.
Dalam sejarah komik, Tintin memang sudah mengawali pijakan “komik jurnalistik” tersebut walau dikemas secara komikal dan karikatural. Sedangkan Sacco lewat media komik bertutur laiknya intuisi fotografer ulung yang menghasilkan gambar sama agungnya dengan foto pemenang World Press Photo sekalipun (konon, ia mengerjakan Palestina selama 4 tahun). Ia telah menaikan kelas komik sebagai karya seni realis yang mampu menjadi kajian ilmu pengetahuan laksana cita-cita Scott Mc Cloud dalam bukunya Understanding Comic (1993). Keunggulan ini membuatnya dianugerahi penghargaan non komik seperti American Book Award 1996 atau pujian Dasser H. Azuri, Profesor Ilmu Politik, Universitas Massachuttes sebagai karya yang menunjukkan keahlian, wawasan dan empati serta dari Journal of Palestinian Studies sebagai karya dokumenter terbaik.
Palestina sungguh berhasil sebagai cara lain kita dalam membaca wilayah konflik dari dua sudut pandang sekaligus, komik dan jurnalistik dengan jujur, apa adanya. Langkah penerbitan Palestina ini dari DAR Mizan patut dihargai sebagai upaya memperkenalkan perspektif baru dalam membaca komik.[*]
Donny Anggoro, editor sebuah penerbit di Jakarta.
Resensi Komik "Sebuah Tebusan Dosa"
Judul: Sebuah Tebusan Dosa
Cerita: dan gambar Teguh Santosa
Pengantar: Seno Gumira Ajidarma
Isi: 62 hlm.
Penerbit: Galang Press, Yogyakarta, 2002
Bagi para pencinta komik nama Teguh Santosa tentu tak asing lagi. Komikus kelahiran Malang, Jawa Timur 1 Februari 1942 (meninggal 25 Oktober 2000) ini pernah melaju sebagai komikus papan atas Indonesia sezaman dengan R.A. Kosasih, Jan Mintaraga, Hans Jaladara dan Ganes Th. Lewat ciri khas gambar-gambarnya yang eksotik dan kedetailan garis-garis ilustratif, Teguh Santosa pernah dipinang oleh Marvel Comics salah satu penerbit komik terbesar dunia yang berbasis di New York sebagai ink-man. Serial Conan, Alibaba dan Piranha adalah tiga serial komik yang pernah digarap oleh komikus yang kesohor lewat tokoh Mat Pelor ciptaannya ini sebagai ink-man.
Sampai kini hanya Teguh satu-satunya komikus Indonesia yang pernah mendapat kesempatan menjajal kemampuannya bersama penerbit komik kelas internasional. Di penghujung tahun 2002 Galang Press, sebuah penerbit yang berbasis di Yogyakarta menerbitkan kembali salah satu karya Teguh, Sebuah Tebusan Dosa. Menurut sastrawan dan juga kolektor komik, Seno Gumira Ajidarma dalam kata pengantarnya mengatakan komik Sebuah Tebusan Dosa ini adalah embrio dari masterpiecenya, yaitu trilogi Sandhora (1969), Mat Romeo (1971) dan Mencari Mayat Mat Pelor (1970).
Sebuah Tebusan Dosa (pertama kali diterbitkan tahun 1967) mengisahkan Galelo, seorang bajak laut yang mengkhianati bosnya, Si Mata Satu dengan memberitahukan lokasi persembunyian bajak laut itu kepada Kumpeni. Galelo berkhianat karena ia mencintai Terina, putri Si Mata Satu yang hendak dikawinkan kepada Daeng Palaka. Galelo pada akhirnya memang tak mendapatkan cinta Terina. Ia lalu mengembara dengan rasa bersalah. Cerita kemudian beralih pada karakter Alfred, seorang perwira Belanda yang mencintai Luana, anak Terina yang hidup dalam kekuasaan Jansen. Bagi para pembaca yang belum mengenal Teguh berkesempatan menyimak karya salah satu maestro komik Indonesia dalam kemasan masa kini. Dialog dalam balon-balon kata yang semula ejaan lama pun ditulis kembali dengan ejaan yang sudah disempurnakan hingga memudahkan pembaca sekarang untuk menikmatinya.
Visualisasi kapal-kapal bajak laut, pulau-pulau terpencil, benteng-benteng Kumpeni, pertarungan bajak laut, percikan ombak, pohon nyiur, rembulan, kedatangan bangsa Belanda dan juga bangsa-bangsa lain dengan latar belakang Nusantara abad ke-17 adalah kekuatan visual komik ini yang jika dibaca sekarang tetap tak lekang dimakan usia, bahkan terasa eksotis. Cerita pun mengalir lancar kendati untuk karyanya ini Teguh seperti tak tergoda bereksperimen terutama dalam pendekatan visual seperti karya-karya sesudahnya macam Sandhora atau Mat Romeo.
Perwatakan yang dibangun peraih penghargaan seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1998 ini pun tak kalah menarik dari gambarnya. Karakter bajak laut oleh Teguh digambarkan sebagai tokoh protagonis. Sedangkan orang-orang Belanda dalam sudut pandang bajak laut adalah penjajah. Uniknya karakterisasi yang dibangun Teguh Santosa bukan penggambaran hitam putih atawa pertempuran “si baik” melawan “si jahat” semata. Karakter Alfred memang penjajah, namun sesungguhnya ia tak lebih hanya seorang perwira Belanda yang semata-mata sedang menjalankan tugas. Karakter Galelo pun hanya menjadi seorang pecundang belaka karena tak berhasil mendapatkan cinta Terina.
Disinilah kekuatan lain yang berkualitas dari seorang Teguh Santosa sebagai pendongeng selain pijakan-pijakan visualnya yang eksotik, mengajak pembaca bernostalgia pada masa keemasan komik Indonesia di era 1970-an. Sedangkan bagi pembaca masa kini yang barangkali telah dibuai serbuan produk-produk komik impor Jepang setidaknya bisa mendapatkan pilihan lain dalam kenikmatan membaca komik.
Sayang, kendati sudah diolah kembali sedemikan rupa dalam kemasan baru beberapa mutu gambar dalam komik ini cenderung merosot. Namun kondisi ini dapat dimaklumi dikarenakan upaya pendokumentasian di Indonesia yang amat terkenal buruk. Penurunan mutu gambar ini disebabkan master aslinya berupa plat cetak sudah tak terlacak lagi, sehingga yang dipergunakan adalah kopi dari salah satu karya Teguh yang berhasil ditemukan. Akan tetapi, usaha yang sudah dilakukan penerbit Galang Press- yang semula dikenal hanya menerbitkan karya sastra dan buku non fiksi- patut dihargai sebagai ikhtiar mulia untuk melestarikan sekaligus mendokumentasikan komik-komik karya asli Indonesia.
Langkah penerbitan ulang komik ini setidaknya dapat memberikan wawasan kultural yang menarik perihal seni komik bagi para sejarawan, pencinta komik, dokumentator sejarah maupun pembaca komik di masa kini. Semoga langkah penerbitan kembali ini tak hanya berhenti pada karya Teguh Santosa saja, melainkan juga karya-karya maestro komikus Indonesia lainnya.* Donny Anggoro, redaktur cybersastra.net.
Koran Tempo, Maret 2003
Cerita: dan gambar Teguh Santosa
Pengantar: Seno Gumira Ajidarma
Isi: 62 hlm.
Penerbit: Galang Press, Yogyakarta, 2002
Bagi para pencinta komik nama Teguh Santosa tentu tak asing lagi. Komikus kelahiran Malang, Jawa Timur 1 Februari 1942 (meninggal 25 Oktober 2000) ini pernah melaju sebagai komikus papan atas Indonesia sezaman dengan R.A. Kosasih, Jan Mintaraga, Hans Jaladara dan Ganes Th. Lewat ciri khas gambar-gambarnya yang eksotik dan kedetailan garis-garis ilustratif, Teguh Santosa pernah dipinang oleh Marvel Comics salah satu penerbit komik terbesar dunia yang berbasis di New York sebagai ink-man. Serial Conan, Alibaba dan Piranha adalah tiga serial komik yang pernah digarap oleh komikus yang kesohor lewat tokoh Mat Pelor ciptaannya ini sebagai ink-man.
Sampai kini hanya Teguh satu-satunya komikus Indonesia yang pernah mendapat kesempatan menjajal kemampuannya bersama penerbit komik kelas internasional. Di penghujung tahun 2002 Galang Press, sebuah penerbit yang berbasis di Yogyakarta menerbitkan kembali salah satu karya Teguh, Sebuah Tebusan Dosa. Menurut sastrawan dan juga kolektor komik, Seno Gumira Ajidarma dalam kata pengantarnya mengatakan komik Sebuah Tebusan Dosa ini adalah embrio dari masterpiecenya, yaitu trilogi Sandhora (1969), Mat Romeo (1971) dan Mencari Mayat Mat Pelor (1970).
Sebuah Tebusan Dosa (pertama kali diterbitkan tahun 1967) mengisahkan Galelo, seorang bajak laut yang mengkhianati bosnya, Si Mata Satu dengan memberitahukan lokasi persembunyian bajak laut itu kepada Kumpeni. Galelo berkhianat karena ia mencintai Terina, putri Si Mata Satu yang hendak dikawinkan kepada Daeng Palaka. Galelo pada akhirnya memang tak mendapatkan cinta Terina. Ia lalu mengembara dengan rasa bersalah. Cerita kemudian beralih pada karakter Alfred, seorang perwira Belanda yang mencintai Luana, anak Terina yang hidup dalam kekuasaan Jansen. Bagi para pembaca yang belum mengenal Teguh berkesempatan menyimak karya salah satu maestro komik Indonesia dalam kemasan masa kini. Dialog dalam balon-balon kata yang semula ejaan lama pun ditulis kembali dengan ejaan yang sudah disempurnakan hingga memudahkan pembaca sekarang untuk menikmatinya.
Visualisasi kapal-kapal bajak laut, pulau-pulau terpencil, benteng-benteng Kumpeni, pertarungan bajak laut, percikan ombak, pohon nyiur, rembulan, kedatangan bangsa Belanda dan juga bangsa-bangsa lain dengan latar belakang Nusantara abad ke-17 adalah kekuatan visual komik ini yang jika dibaca sekarang tetap tak lekang dimakan usia, bahkan terasa eksotis. Cerita pun mengalir lancar kendati untuk karyanya ini Teguh seperti tak tergoda bereksperimen terutama dalam pendekatan visual seperti karya-karya sesudahnya macam Sandhora atau Mat Romeo.
Perwatakan yang dibangun peraih penghargaan seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1998 ini pun tak kalah menarik dari gambarnya. Karakter bajak laut oleh Teguh digambarkan sebagai tokoh protagonis. Sedangkan orang-orang Belanda dalam sudut pandang bajak laut adalah penjajah. Uniknya karakterisasi yang dibangun Teguh Santosa bukan penggambaran hitam putih atawa pertempuran “si baik” melawan “si jahat” semata. Karakter Alfred memang penjajah, namun sesungguhnya ia tak lebih hanya seorang perwira Belanda yang semata-mata sedang menjalankan tugas. Karakter Galelo pun hanya menjadi seorang pecundang belaka karena tak berhasil mendapatkan cinta Terina.
Disinilah kekuatan lain yang berkualitas dari seorang Teguh Santosa sebagai pendongeng selain pijakan-pijakan visualnya yang eksotik, mengajak pembaca bernostalgia pada masa keemasan komik Indonesia di era 1970-an. Sedangkan bagi pembaca masa kini yang barangkali telah dibuai serbuan produk-produk komik impor Jepang setidaknya bisa mendapatkan pilihan lain dalam kenikmatan membaca komik.
Sayang, kendati sudah diolah kembali sedemikan rupa dalam kemasan baru beberapa mutu gambar dalam komik ini cenderung merosot. Namun kondisi ini dapat dimaklumi dikarenakan upaya pendokumentasian di Indonesia yang amat terkenal buruk. Penurunan mutu gambar ini disebabkan master aslinya berupa plat cetak sudah tak terlacak lagi, sehingga yang dipergunakan adalah kopi dari salah satu karya Teguh yang berhasil ditemukan. Akan tetapi, usaha yang sudah dilakukan penerbit Galang Press- yang semula dikenal hanya menerbitkan karya sastra dan buku non fiksi- patut dihargai sebagai ikhtiar mulia untuk melestarikan sekaligus mendokumentasikan komik-komik karya asli Indonesia.
Langkah penerbitan ulang komik ini setidaknya dapat memberikan wawasan kultural yang menarik perihal seni komik bagi para sejarawan, pencinta komik, dokumentator sejarah maupun pembaca komik di masa kini. Semoga langkah penerbitan kembali ini tak hanya berhenti pada karya Teguh Santosa saja, melainkan juga karya-karya maestro komikus Indonesia lainnya.* Donny Anggoro, redaktur cybersastra.net.
Koran Tempo, Maret 2003
INDEPENDENTS COMICS' PUBLISHING, DISCOVERY GALLERY & IDEA GENERATES
sebuah pemikiran, gagasan dan usulan untuk kemajuan komik Indonesia
oleh: FIRMANSYAH RACHIM
apa yang saya paparkan disini mengacu kepada kondisi, fakta dan realita dalam perkembangan komik Indonesia saat ini dan sama sekali bukan suatu konsep yang bersifat teori maupun kajian ilmiah, maka ini adalah sebuah gagasan yang disesuaikan dengan kapasitas dan visibilitas komik Indonesia yang berupaya untuk 'sesegera' mungkin menjadi eksis dan establis…
indie comics as a lifestyle
Setelah musik, film, majalah, kini komik Indonesia pun indie. Ada kecenderungan dan persamaan dalam genre dan aktifitas yang menuju kepada perubahan lifestyle. Barang pabrik, mass product dan 'ngepop mulai ditinggalkan dan beralih kepada segala sesuatunya yang serba terbatas, eksklusif dan custom. Ini ada-lah suatu sinyalemen terhadap perubahan nilai-nilai umum dimasyarakat kota. Kini cara pandang mulai berani mengacu kepada nilai-nilai unik, krea-tif dan sarat dengan kebaruan ketimbang dengan segala sesuatunya yang konvensional.
Yang menarik adalah adanya usaha untuk me-nawarkan nilai baru yang bukan selera pasar namun demikian secara tak langsung (entah sadar atau tidak) menjadi upaya untuk membentuk pasar. Ini adalah sebuah potensi baru dengan produk baru dan pasar baru (baca komunitas) yang belum jenuh.
Keberpihakan atau pemilihan komikus Indonesia terhadap indie mengacu kepada dua hal besar:
1. Indie as an easy way
Disini pelaku komik melihat dan menyikapi indie se-bagai suatu cara yang mudah dilakukan, cepat dan murah meriah. Kebanyakan punya harapan untuk bisa kejenjang berikutnya…major label. Jadi pe-laku komik di alur ini merupakan komikus yang menjadikan indie sebagai batu loncatan untuk menjadi major.
2. Indie as a concept
Disini pelaku komik menyikapi indie sebagai 'keya-kinannya' (gaya), bukan sekedar cara yang mudah, cepat dan murah meriah melainkan lebih kepada sikap untuk tidak mau menjadi major.
Dari kedua hal besar diatas perbedaan-perbedaan yang tampak dalam komiknya adalah, yang pertama indie sebagai sebagai batu loncatan pada umumnya ide cerita dan penokohannya masih sekitar konsep utopia dan idol. Lalu gaya gambar 'ke-anime-anime-an'. Masih selera pasar major (populer).
Akan halnya indie sebagai suatu konsep lebih me-nitik beratkan kepada cerita keseharian, kisah nya-ta, masalah-masalah sosial, dll. Gaya gambarnya memiliki karakteristik yang kuat (tidak 'ke-anime-anime-an' ataupun ke 'marvel-marvel-an').
Namun demikian keduanya menganut paham foto-kopi sebagai teknik cetak/penggandaan komiknya dan umumnya tidak anti pembajakan, dan yang pa-tut disimaki dalam perkembangannya adalah kepa-da produktivitasnya… Komikus-komikus indie ter-sebut sangat produktif dalam berkary, paling sedikit seorang komikus mampu menciptakan 1 sampai dengan 2 buku baru / 3 bulan.
Komikus indie, berkumpul, berkarya dan berakti-fitas. Komunitas komik indie tersebar disebagian besar pulau Jawa, satu dua ada di Sumatera, Sula-wesi dan Bali. Komunitas ini sebagian besar terga-bung dalam Masyarakat Komik Indonesia (MKI). Da-lam jaringan eksklusif tersebut mereka saling bertukar informasi, saling memasarkan dengan cara titip jual melalui event-event komik reguler. Dari sana tercipta jaringan yang makin luas dan besar. Hal ini terjadi di setiap komunitas komikus indie di-manapun di dunia. Kegiatan kumpul-kumpul ter-sebut tidak hanya di dalam negri, sekali waktu komikus Indonesia diundang pula keluar negri atau sebaliknya. Dan menurut pengakuan John Weeks (American Indie Artist) komunitas komikus indie In-donesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara. Ba-hkan dalam penyelenggaraan event-event komik, Indonesia termasuk mewah (diskusi building networking, PKAN IV, Jogyakarta 6 12 Sept 2003 ).
Ada kekuatan dan kebersamaan dalam tubuh MKI untuk menggempur pasar komik di Indonesia, walaupun oplah terbatas (50-500 eks./komik) dan harga yang bervariasi (Rp.500-Rp.20.000,-/komik) tapi pembelinya ada dan sold out. Penjualan ter-besar adalah dari event untuk kemudian pembeli akan datang sendiri ke studio masing-masing ko-mikus atau dari MKI melalui milis mki@yahoogroups.com, tak jarang pula pembeli tersebut datang langsung ke MKI. Beberapa komi ada juga yang di titip jual ke distro-distro.
Komik dan merchandising.
Cukup banyak pula komik-komik indie yang diba-rengi dengan merchandisingnya, seperti T-shirt, topi, tas, memo book, stiker,dll. Beberapa produk tersebut kebanyakan hasil upaya sendiri (modal pribadi atau patungan), namun ada pula yang ber-sifat kerjasama dengan berbagai pihak produsen, misalnya T-shirt sebagai hasil kerjasama dengan perusahaan garmen.
Perkembangan komik indie ini telah merambah jauh dari sekedar hobi dan eksplorasi komik. Keba-nyakan dari pelaku didalamnya telah menyikapi se-cara sungguh-sungguh komik indie sebagai aktifitas dan banner yang melekat dalam eksistensinya se-bagai lifestyle. Pada sisi ini komunitas komik indie ini telah diakui sebagai komunitas besar dalam dunia indie secara umum, sehingga seringkali ko-mikus indie tersebut berkolaborasi dan berbaur diberbagai banner indie lainnya seperti musik, film, animasi dan lainnya.
Komikus sebagai profesi
Komik, hobi, aktifitas dan profesi. Pada proses awalnya pemilihan komik sebagai jalur mata pen-carian dimulai dari sekedar hobi iseng yang meng-hasilkan. Namun demikian dalam kurun waktu re-latif singkat (10 tahun.)
komik sebagai media apresiasi karya bagi seniman mulai diminati sebagai media yang memiliki peran ganda (media komunikasi populer). Sehingga ke-pentingan komik tidak lagi sekedar berbasis pada nilai-nilai estetika semata, lebih dari itu dijadikan sebagai alat propaganda untuk menyampaikan pe-san. Berbagai kelompok dalam masyarakat dari berbagai kalangan mulai melirik komik sebagai bagian dari konsep komunikasi. Adanya respon aktif dari masyarakat tersebut menjadikan harapan baru bagi komikus untuk dijadikan lahan profesi. Kini proses berkarya bukan lagi sekedar iseng-iseng ataupun hobi, lebih obyektif lagi telah disikapi sebagai suatu jasa pesanan.
Portofolio studio maupun perorangan kini tidak sekedar tampil dalam konsep estetika semata, na-mun telah berani menampilkan komik sebagai kon-sep produk. Ada upaya untuk melangkah lebih jauh keluar dari lingkungan eksklusif menjadi lebih po-puler. Kondisi ini sangat membantu menempatkan komik sebagai produk yang memiliki kredibilitas tersendiri dimasyarakat dan menumbuhkan self confidence dalam diri komikus untuk berani ber-tahan sebagai komikus dalam ruang lingkup seni dan desain.
Metodologi produksi
Target dan tujuan membuat komik menjadi dasar yang metodologis dalam produktifitas komik Indo-nesia saat ini. Berbagai macam metode diterapkan dalam berbagai kelompok, perorangan maupun institusi yang menghasilkan beragam kinerja pro-duksi komik. Awalnya hanya berbekal semangat dan motivasi untuk membuat komik yang didasari hobi. Sejalan dengan perkembangan MKI sendiri dan seringnya komunitas tersebut beraktifitas bareng-bareng, menjadikan kebiasaan tersebut agenda rutin. Dari adanya rutinitas ini muncul ke-sepakatan-kesepakatan untuk terus memunculkan karya baru. Animo masyarakatpun bertambah ter-hadap komik sebagai aktifitas positif. MKI kemu-dian membuat program workshop komik singkat (sejak 1997). Dari hasil workshop ini banyak me-munculkan karya-karya komik baru sekaligus komikus baru.
Wabah komik ini menulari banyak kalangan dalam masyarakat, dari mulai anak-anak, remaja, se-kolah sampai dengan institusi perguruan tinggi (senirupa). Konsepsi workshop pun berkembang dari sekedar tips dan teknis pembuatan komik menjadi konsep kurikulum pelatihan. Kini hampir diseluruh institusi senirupa menjadikan komik sebagai bagian dari mata kuliah ilustrasi. Hasilnya pun berbeda, kinerja yang dihasilkan lebih 'meng-gigit' (estetika) karena didasari oleh kewjiban membuat komik atau dapat nilai rendah, bahkan tidak lulus.
Beberapa kelompok lainnya, baik perusahaan maupun lembaga-lembaga kemasyara-katan lainnya menjadikan komik sebagai konsep produk.
Bermunculanlah kegiatan-kegiatan lomba komik dengan kinerja yang lebih maksimal dan kontekstual (sesuai dengan tema lomba) karena ada iming-iming hadiah ataupun sekedar partisipan. Pada sisi lain, komik sebagai pesanan ataupun kerjasama penerbitan pun menambah khasanah produksi komik Indonesia.
Potensi dan peluang
roduktifitas komik Indonesia terbanyak saat ini diisi oleh komik-komik indie. Dengan kemasan yang khas (fotokopian), jumlah eksemplar terbatas. Namun beragam judul cerita, beragam format menjadikannya khasanah komik Indonesia yang sangat variatif. Ini adalah potensi kreatif yang jauh berkembang dengan era komik Indonesia tahun 70-an yang ketika itu muncul kecenderungan stereotip pada produksi komik 70-an, satu komikus bikin komik roman remaja yang lain pun bikin roman remaja ketika terjadi booming komik silat yang lain pun bikin komik silat. Komik indie menampilkan beraneka ragam alternatif cerita, dari yang paling naïf, super hero, kisah nyata, sosial, roman, humor, parodi, 'nyeni sampai yang sadis dan pornografi, dll. Ragam format pun cukup beraneka, dari mulai ukuran saku, A4, setengah A4, komik strip, kompilasi, dll. Ada yang berwarna, half tone, atau hitam putih, walaupun lebih banyak hitam putih (fotokopi). Indie sebagai pijakan memang banyak berperan pada tingkat produktifitas komik Indonesia. Hal ini disebabkan adanya prinsip indie yang tidak terlalu membebani dalam aturan-aturan main…bahkan tidak anti pembajak (sebaliknya malah dijadikan respon kreatif).
Komunitas dan aktifitas sangat berperan penting dalam perkembangan produksi komik indie ini. Adanya komunitas dan aktifitas yang terus berkembang menjadikan konsep pasar eksklusif bagi komikus indie…yang sekaligus menjadi jaminan komiknya akan dibeli…apaun hasilnya. Peranan indie sebagai lifestyle sangat dominan dalam kinerja dan hasil komik yang diciptakan…komikus indie merespon lifestyle indie sebagai trend. Ada fenomena yang muncul berbarengan dalam era indie ini, yaitu demand komik tidak hanya direspon oleh pembeli namun demikian pada pelaku komik juga. Sehingga begitu mereka memulai sebagai pelaku komik, pembelinya sudah siap membeli.
Catatan penting dalam potensi komikus indie ini adalah orientasinya yang fleksibel…kalaupun belum untung setidaknya eksis (tetap bikin komik). Ada dua hal penting dalam etos dan semangat komikus indie ini, produktif dan komersil. Potensi ini selayaknya dapat diasah dan dipertajam untuk menjadikan komik indie lebih matang lagi dan memiliki kwalitas komik sebagai sebuah produk sehingga dapat diterima sebagai alternatif industri komik Indonesia.
Potensi komik indie sebagai peluang bisnis adalah bisnis yang berorientasi pada investasi kecil. Cetak hitam putih (satu warna), eksemplar terbatas dan dijual customize. Dengan sedikit memoles potensi komik indie (fotokopian) menjadi 'barang dagangan' yang dikemas dengan kwalitas mesin cetak telah cukup banyak mengankat citra komik indie tersebut. Umumnya konsepsi warna hanya pada cover saja, namun demikian ada juga komik indie yang berwarna secara keseluruhan. Sementara harga jual dapat mematok dengan harga eksklusif (lebih tinggi dari major label), karena jumlah/oplah cetak yang terbatas, eksklusif (sesuai sasaran/tidak untuk orientasai mass product) dan bersifat customize bahkan potensial sebagai collector item.
Kelemahan dan kendala
Kelamahan yang paling utama adalah pada cerita. Ini adalah persoalan umum pada komik-komik Indonesia, khususnya pasca 70'an. Kemampuan gambar yang baik tidak dibarengi oleh kemampuan dalam mengolah cerita yang baik pula. Sehingga seringkali kwalitas gambar yang baik tersebut tidak 'berbunyi' karena lemahnya cerita. Secara umum kelemahan komik-komik Indonesia cukup banyak yang terkesan 'prematur' atau asal jadi. Namun demikian ini adalah kelemahan komik sebagai produk, jadi sama sekali bukan kelemahan komikusnya. Sebaliknya perlu suatu upaya untuk membantu potensi komikus-komikus tersebut untuk dapat menghasilkan kwalitas komik yang baik secara keseluruhan, cerita yang asik, gambar yang apik!. Jika dilihat dari sudut pandang diatas ini adalah kelemahan dalam manajemen produksi. Kebanyakan komik-komik Indonesia dieksekusi oleh (hanya) komikus saja yang kemampuan dan potensinya adalah menggambar, bukan pencerita/penulis cerita.
Kendala umum adalah manajemen, disamping biaya atau permodalan. Cukup banyak studio komik maupun kelompok-kelompok komikus di Indonesia, namun sedikit sekali dari kelompok-kelompok tersebut diatas yang memiliki talent pencerita yang baik. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor kendala, al: kurangnya wacana komik sebagai product knowledge (esensi komik adalah cerita, gambar adalah eksekusinya), lemahnya pengolahan cerita umum menjadi cerita untuk komik (dibutuhkan kemampuan untuk membuat script cerita komik), upaya untuk menyatukan pencerita dan penggambar untuk mengeksekusi komk belum maksimal.
Kendala paling umum dari keberadaan komik dan komikus Indonesia adalah menembus jaringan pasar (masyarakat) yang telah terbentuk oleh komik-komik asing, disamping distribusi yang juga telah 'dikuasai' oleh komik-komik saduran tsb. Hal ini menyebabkan lemahnya gaung komik-komik produksi lokal tsb. Disamping itu sikap un self confidence komikus dan penerbitan komik Indonesia yang cenderung lebih suka 'bermain' atau 'terjebak' dalam lingkungan komunitasnya saja menambah lemahnya gaung komik Indonesia di masyarakat luas.
Secara umum ini adalah kelemahan dalam manajemen. Sampai saat ini setelah 10 tahun lebih belum ada yang mampu (pernah dicoba) untuk membuat format maupun sistem manajemen produksi komik yang kontinyu. Satu dan lain hal adalah masalah effort dan kecenderungan bisnis yang ingin langsung untung (komikus dan investornya). Perlu satu komitmen, visi, misi dan orientasi yang sama untuk membangun dan menciptakan pasar komik Indonesia. Artinya perlu satu kesadaran bahwa dalam konteks membangun keuntungan finansial bukanlah target didepan/utamanya, namun demikian ada satu harapan dan peluang bahwa keuntungan akan dapat diraih berlipat ganda jika upaya tersebut mau ditempuh dengan benar dan dengan effort yang stabil.
An Idea Generates
Berangkat dari ulasan diatas kita telah bisa memetakan kondisi komik dan komikus Indonesia serta pasar komik pada umumnya. Seperti halnya indie sebagai lifestyle adalah sebuah genre yang kini paling mendominasi potensi pasar dan kreatifitas (termasuk komik), segala bentuk upaya dan usaha mencirikan bentukan-bentukan yang sangat spesifik. Indie merupakan pijakan sekaligus komitmen terhadap aturan main yang diminati (mudah direspon). Komunitas indie adalah sebuah pemikiran sindikasi sebagai upaya menggalang kekuatan sekaligus proses pembentukan pasar terhadap pola kerja produksi yang bersifat customize. Sudah saatnya komunitas ini memperluas (bukan memperbanyak) jaringan kerjanya. Saat ini komunitas komik indie lebih banyak direspon oleh pelaku komik (komikus) dan cenderung makin banyak (tiap tahun bertambah sekurang-kurangnya 10 pelaku komik indie).
Penerbitan, distribusi dan manajemen produksi merupakan aspek jaringan yang paling dibutuhkan saat ini. Disamping tentunya konsepsi dagang yang sekiranya dapat diselaraskan dengan konsepsi indie untuk menciptakan dan memperluas jaringan pasar keluar dari lingkungan komunitas komikus indie dengan cara membentuk sindikasi baru yang lebih besar, komikus & penerbitan komik. Dengan adanya sindikasi tsb. diharapkan dapat saling memenuhi kebutuhannya masing-masing, komikus butuh untuk terbit, penerbit butuh khasanah komik. Persoalannya sekarang adalah masing-masing pihak harus mau membangun komitmen (effort, waktu, tenaga dan biaya) untuk menempatkan sindikasi ini sebagai konsep research & devolopment. Jadi persoalan-persoalan mengenai keuntungan (profitable) harus diatur sebagai benefit jangka panjang.Yang terpenting saat ini adalah bagaimana masyarakat umum dapat mendapatkan komik-komik Indonesia ditengah-tengah maraknya komik-komik asing. Awalnya adalah dengan menciptakan awarness, jadi bukan target untung dulu.
Hal lain yang harus ditempuh adalah menemukan format dagang yang jitu. Marketing komik bukan marketing buku. Sehingga marketing komik harus mampu berstrategi untuk menciptakan awarness toko komik, bukan toko buku. Dalam konsepsi indie, distro dikenal sebagai butiknya indie. Dagangan didalamnya adalah dagangan yang tidak ada di toko-toko ataupun mal-mal pada umumnya. Distro adalah konsep toko eksklusif yang item dan jumlah setiap itemnya serba terbatas. Setiap item produk/desain diciptakan dan diproduksi secara customize (sesuai kebutuhan dan pemesanan). Reputasi distro sudah sangat aware dikalangan komunitas indie pada umumnya, karena seluruh kebutuhan dan citra/brand produk mereka hanya ada di distro termasuk beberapa komik-komik fotokopian.
Pemikiran toko komik/comic's distro adalah prinsip counter product, jadi toko komik bukanlah semata-mata akses penjualannya. Distribusi 'lampu merah' atau lapak tetap harus dilakukan sebagaimana mestinya produk-produk media pada umumnya. Disamping itu event sebagai program kegiatan yang dapat dijadikan sebagai media promosi tetap harus dilaksanakan secara berkala, minumum per 3 bulan sekali. Pelaksanaan event nantinya bisa menerapkan sistem launching komik-komik baru yang akan terbit. Pelaksanaan launching ini bisa dilaksanakan secara sederhana dengan cara mengandalkan jaringan kerja media sehingga publikasinya dapat ditangani dengan baik. Yang terpenting adalah bagaimana caranya agar kehadiran komik-komik Indie tersebut tetap bisa muncul secara rutin, lebih dari itu bisa eksis dimasyarakat luas.[*]
oleh: FIRMANSYAH RACHIM
apa yang saya paparkan disini mengacu kepada kondisi, fakta dan realita dalam perkembangan komik Indonesia saat ini dan sama sekali bukan suatu konsep yang bersifat teori maupun kajian ilmiah, maka ini adalah sebuah gagasan yang disesuaikan dengan kapasitas dan visibilitas komik Indonesia yang berupaya untuk 'sesegera' mungkin menjadi eksis dan establis…
indie comics as a lifestyle
Setelah musik, film, majalah, kini komik Indonesia pun indie. Ada kecenderungan dan persamaan dalam genre dan aktifitas yang menuju kepada perubahan lifestyle. Barang pabrik, mass product dan 'ngepop mulai ditinggalkan dan beralih kepada segala sesuatunya yang serba terbatas, eksklusif dan custom. Ini ada-lah suatu sinyalemen terhadap perubahan nilai-nilai umum dimasyarakat kota. Kini cara pandang mulai berani mengacu kepada nilai-nilai unik, krea-tif dan sarat dengan kebaruan ketimbang dengan segala sesuatunya yang konvensional.
Yang menarik adalah adanya usaha untuk me-nawarkan nilai baru yang bukan selera pasar namun demikian secara tak langsung (entah sadar atau tidak) menjadi upaya untuk membentuk pasar. Ini adalah sebuah potensi baru dengan produk baru dan pasar baru (baca komunitas) yang belum jenuh.
Keberpihakan atau pemilihan komikus Indonesia terhadap indie mengacu kepada dua hal besar:
1. Indie as an easy way
Disini pelaku komik melihat dan menyikapi indie se-bagai suatu cara yang mudah dilakukan, cepat dan murah meriah. Kebanyakan punya harapan untuk bisa kejenjang berikutnya…major label. Jadi pe-laku komik di alur ini merupakan komikus yang menjadikan indie sebagai batu loncatan untuk menjadi major.
2. Indie as a concept
Disini pelaku komik menyikapi indie sebagai 'keya-kinannya' (gaya), bukan sekedar cara yang mudah, cepat dan murah meriah melainkan lebih kepada sikap untuk tidak mau menjadi major.
Dari kedua hal besar diatas perbedaan-perbedaan yang tampak dalam komiknya adalah, yang pertama indie sebagai sebagai batu loncatan pada umumnya ide cerita dan penokohannya masih sekitar konsep utopia dan idol. Lalu gaya gambar 'ke-anime-anime-an'. Masih selera pasar major (populer).
Akan halnya indie sebagai suatu konsep lebih me-nitik beratkan kepada cerita keseharian, kisah nya-ta, masalah-masalah sosial, dll. Gaya gambarnya memiliki karakteristik yang kuat (tidak 'ke-anime-anime-an' ataupun ke 'marvel-marvel-an').
Namun demikian keduanya menganut paham foto-kopi sebagai teknik cetak/penggandaan komiknya dan umumnya tidak anti pembajakan, dan yang pa-tut disimaki dalam perkembangannya adalah kepa-da produktivitasnya… Komikus-komikus indie ter-sebut sangat produktif dalam berkary, paling sedikit seorang komikus mampu menciptakan 1 sampai dengan 2 buku baru / 3 bulan.
Komikus indie, berkumpul, berkarya dan berakti-fitas. Komunitas komik indie tersebar disebagian besar pulau Jawa, satu dua ada di Sumatera, Sula-wesi dan Bali. Komunitas ini sebagian besar terga-bung dalam Masyarakat Komik Indonesia (MKI). Da-lam jaringan eksklusif tersebut mereka saling bertukar informasi, saling memasarkan dengan cara titip jual melalui event-event komik reguler. Dari sana tercipta jaringan yang makin luas dan besar. Hal ini terjadi di setiap komunitas komikus indie di-manapun di dunia. Kegiatan kumpul-kumpul ter-sebut tidak hanya di dalam negri, sekali waktu komikus Indonesia diundang pula keluar negri atau sebaliknya. Dan menurut pengakuan John Weeks (American Indie Artist) komunitas komikus indie In-donesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara. Ba-hkan dalam penyelenggaraan event-event komik, Indonesia termasuk mewah (diskusi building networking, PKAN IV, Jogyakarta 6 12 Sept 2003 ).
Ada kekuatan dan kebersamaan dalam tubuh MKI untuk menggempur pasar komik di Indonesia, walaupun oplah terbatas (50-500 eks./komik) dan harga yang bervariasi (Rp.500-Rp.20.000,-/komik) tapi pembelinya ada dan sold out. Penjualan ter-besar adalah dari event untuk kemudian pembeli akan datang sendiri ke studio masing-masing ko-mikus atau dari MKI melalui milis mki@yahoogroups.com, tak jarang pula pembeli tersebut datang langsung ke MKI. Beberapa komi ada juga yang di titip jual ke distro-distro.
Komik dan merchandising.
Cukup banyak pula komik-komik indie yang diba-rengi dengan merchandisingnya, seperti T-shirt, topi, tas, memo book, stiker,dll. Beberapa produk tersebut kebanyakan hasil upaya sendiri (modal pribadi atau patungan), namun ada pula yang ber-sifat kerjasama dengan berbagai pihak produsen, misalnya T-shirt sebagai hasil kerjasama dengan perusahaan garmen.
Perkembangan komik indie ini telah merambah jauh dari sekedar hobi dan eksplorasi komik. Keba-nyakan dari pelaku didalamnya telah menyikapi se-cara sungguh-sungguh komik indie sebagai aktifitas dan banner yang melekat dalam eksistensinya se-bagai lifestyle. Pada sisi ini komunitas komik indie ini telah diakui sebagai komunitas besar dalam dunia indie secara umum, sehingga seringkali ko-mikus indie tersebut berkolaborasi dan berbaur diberbagai banner indie lainnya seperti musik, film, animasi dan lainnya.
Komikus sebagai profesi
Komik, hobi, aktifitas dan profesi. Pada proses awalnya pemilihan komik sebagai jalur mata pen-carian dimulai dari sekedar hobi iseng yang meng-hasilkan. Namun demikian dalam kurun waktu re-latif singkat (10 tahun.)
komik sebagai media apresiasi karya bagi seniman mulai diminati sebagai media yang memiliki peran ganda (media komunikasi populer). Sehingga ke-pentingan komik tidak lagi sekedar berbasis pada nilai-nilai estetika semata, lebih dari itu dijadikan sebagai alat propaganda untuk menyampaikan pe-san. Berbagai kelompok dalam masyarakat dari berbagai kalangan mulai melirik komik sebagai bagian dari konsep komunikasi. Adanya respon aktif dari masyarakat tersebut menjadikan harapan baru bagi komikus untuk dijadikan lahan profesi. Kini proses berkarya bukan lagi sekedar iseng-iseng ataupun hobi, lebih obyektif lagi telah disikapi sebagai suatu jasa pesanan.
Portofolio studio maupun perorangan kini tidak sekedar tampil dalam konsep estetika semata, na-mun telah berani menampilkan komik sebagai kon-sep produk. Ada upaya untuk melangkah lebih jauh keluar dari lingkungan eksklusif menjadi lebih po-puler. Kondisi ini sangat membantu menempatkan komik sebagai produk yang memiliki kredibilitas tersendiri dimasyarakat dan menumbuhkan self confidence dalam diri komikus untuk berani ber-tahan sebagai komikus dalam ruang lingkup seni dan desain.
Metodologi produksi
Target dan tujuan membuat komik menjadi dasar yang metodologis dalam produktifitas komik Indo-nesia saat ini. Berbagai macam metode diterapkan dalam berbagai kelompok, perorangan maupun institusi yang menghasilkan beragam kinerja pro-duksi komik. Awalnya hanya berbekal semangat dan motivasi untuk membuat komik yang didasari hobi. Sejalan dengan perkembangan MKI sendiri dan seringnya komunitas tersebut beraktifitas bareng-bareng, menjadikan kebiasaan tersebut agenda rutin. Dari adanya rutinitas ini muncul ke-sepakatan-kesepakatan untuk terus memunculkan karya baru. Animo masyarakatpun bertambah ter-hadap komik sebagai aktifitas positif. MKI kemu-dian membuat program workshop komik singkat (sejak 1997). Dari hasil workshop ini banyak me-munculkan karya-karya komik baru sekaligus komikus baru.
Wabah komik ini menulari banyak kalangan dalam masyarakat, dari mulai anak-anak, remaja, se-kolah sampai dengan institusi perguruan tinggi (senirupa). Konsepsi workshop pun berkembang dari sekedar tips dan teknis pembuatan komik menjadi konsep kurikulum pelatihan. Kini hampir diseluruh institusi senirupa menjadikan komik sebagai bagian dari mata kuliah ilustrasi. Hasilnya pun berbeda, kinerja yang dihasilkan lebih 'meng-gigit' (estetika) karena didasari oleh kewjiban membuat komik atau dapat nilai rendah, bahkan tidak lulus.
Beberapa kelompok lainnya, baik perusahaan maupun lembaga-lembaga kemasyara-katan lainnya menjadikan komik sebagai konsep produk.
Bermunculanlah kegiatan-kegiatan lomba komik dengan kinerja yang lebih maksimal dan kontekstual (sesuai dengan tema lomba) karena ada iming-iming hadiah ataupun sekedar partisipan. Pada sisi lain, komik sebagai pesanan ataupun kerjasama penerbitan pun menambah khasanah produksi komik Indonesia.
Potensi dan peluang
roduktifitas komik Indonesia terbanyak saat ini diisi oleh komik-komik indie. Dengan kemasan yang khas (fotokopian), jumlah eksemplar terbatas. Namun beragam judul cerita, beragam format menjadikannya khasanah komik Indonesia yang sangat variatif. Ini adalah potensi kreatif yang jauh berkembang dengan era komik Indonesia tahun 70-an yang ketika itu muncul kecenderungan stereotip pada produksi komik 70-an, satu komikus bikin komik roman remaja yang lain pun bikin roman remaja ketika terjadi booming komik silat yang lain pun bikin komik silat. Komik indie menampilkan beraneka ragam alternatif cerita, dari yang paling naïf, super hero, kisah nyata, sosial, roman, humor, parodi, 'nyeni sampai yang sadis dan pornografi, dll. Ragam format pun cukup beraneka, dari mulai ukuran saku, A4, setengah A4, komik strip, kompilasi, dll. Ada yang berwarna, half tone, atau hitam putih, walaupun lebih banyak hitam putih (fotokopi). Indie sebagai pijakan memang banyak berperan pada tingkat produktifitas komik Indonesia. Hal ini disebabkan adanya prinsip indie yang tidak terlalu membebani dalam aturan-aturan main…bahkan tidak anti pembajak (sebaliknya malah dijadikan respon kreatif).
Komunitas dan aktifitas sangat berperan penting dalam perkembangan produksi komik indie ini. Adanya komunitas dan aktifitas yang terus berkembang menjadikan konsep pasar eksklusif bagi komikus indie…yang sekaligus menjadi jaminan komiknya akan dibeli…apaun hasilnya. Peranan indie sebagai lifestyle sangat dominan dalam kinerja dan hasil komik yang diciptakan…komikus indie merespon lifestyle indie sebagai trend. Ada fenomena yang muncul berbarengan dalam era indie ini, yaitu demand komik tidak hanya direspon oleh pembeli namun demikian pada pelaku komik juga. Sehingga begitu mereka memulai sebagai pelaku komik, pembelinya sudah siap membeli.
Catatan penting dalam potensi komikus indie ini adalah orientasinya yang fleksibel…kalaupun belum untung setidaknya eksis (tetap bikin komik). Ada dua hal penting dalam etos dan semangat komikus indie ini, produktif dan komersil. Potensi ini selayaknya dapat diasah dan dipertajam untuk menjadikan komik indie lebih matang lagi dan memiliki kwalitas komik sebagai sebuah produk sehingga dapat diterima sebagai alternatif industri komik Indonesia.
Potensi komik indie sebagai peluang bisnis adalah bisnis yang berorientasi pada investasi kecil. Cetak hitam putih (satu warna), eksemplar terbatas dan dijual customize. Dengan sedikit memoles potensi komik indie (fotokopian) menjadi 'barang dagangan' yang dikemas dengan kwalitas mesin cetak telah cukup banyak mengankat citra komik indie tersebut. Umumnya konsepsi warna hanya pada cover saja, namun demikian ada juga komik indie yang berwarna secara keseluruhan. Sementara harga jual dapat mematok dengan harga eksklusif (lebih tinggi dari major label), karena jumlah/oplah cetak yang terbatas, eksklusif (sesuai sasaran/tidak untuk orientasai mass product) dan bersifat customize bahkan potensial sebagai collector item.
Kelemahan dan kendala
Kelamahan yang paling utama adalah pada cerita. Ini adalah persoalan umum pada komik-komik Indonesia, khususnya pasca 70'an. Kemampuan gambar yang baik tidak dibarengi oleh kemampuan dalam mengolah cerita yang baik pula. Sehingga seringkali kwalitas gambar yang baik tersebut tidak 'berbunyi' karena lemahnya cerita. Secara umum kelemahan komik-komik Indonesia cukup banyak yang terkesan 'prematur' atau asal jadi. Namun demikian ini adalah kelemahan komik sebagai produk, jadi sama sekali bukan kelemahan komikusnya. Sebaliknya perlu suatu upaya untuk membantu potensi komikus-komikus tersebut untuk dapat menghasilkan kwalitas komik yang baik secara keseluruhan, cerita yang asik, gambar yang apik!. Jika dilihat dari sudut pandang diatas ini adalah kelemahan dalam manajemen produksi. Kebanyakan komik-komik Indonesia dieksekusi oleh (hanya) komikus saja yang kemampuan dan potensinya adalah menggambar, bukan pencerita/penulis cerita.
Kendala umum adalah manajemen, disamping biaya atau permodalan. Cukup banyak studio komik maupun kelompok-kelompok komikus di Indonesia, namun sedikit sekali dari kelompok-kelompok tersebut diatas yang memiliki talent pencerita yang baik. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor kendala, al: kurangnya wacana komik sebagai product knowledge (esensi komik adalah cerita, gambar adalah eksekusinya), lemahnya pengolahan cerita umum menjadi cerita untuk komik (dibutuhkan kemampuan untuk membuat script cerita komik), upaya untuk menyatukan pencerita dan penggambar untuk mengeksekusi komk belum maksimal.
Kendala paling umum dari keberadaan komik dan komikus Indonesia adalah menembus jaringan pasar (masyarakat) yang telah terbentuk oleh komik-komik asing, disamping distribusi yang juga telah 'dikuasai' oleh komik-komik saduran tsb. Hal ini menyebabkan lemahnya gaung komik-komik produksi lokal tsb. Disamping itu sikap un self confidence komikus dan penerbitan komik Indonesia yang cenderung lebih suka 'bermain' atau 'terjebak' dalam lingkungan komunitasnya saja menambah lemahnya gaung komik Indonesia di masyarakat luas.
Secara umum ini adalah kelemahan dalam manajemen. Sampai saat ini setelah 10 tahun lebih belum ada yang mampu (pernah dicoba) untuk membuat format maupun sistem manajemen produksi komik yang kontinyu. Satu dan lain hal adalah masalah effort dan kecenderungan bisnis yang ingin langsung untung (komikus dan investornya). Perlu satu komitmen, visi, misi dan orientasi yang sama untuk membangun dan menciptakan pasar komik Indonesia. Artinya perlu satu kesadaran bahwa dalam konteks membangun keuntungan finansial bukanlah target didepan/utamanya, namun demikian ada satu harapan dan peluang bahwa keuntungan akan dapat diraih berlipat ganda jika upaya tersebut mau ditempuh dengan benar dan dengan effort yang stabil.
An Idea Generates
Berangkat dari ulasan diatas kita telah bisa memetakan kondisi komik dan komikus Indonesia serta pasar komik pada umumnya. Seperti halnya indie sebagai lifestyle adalah sebuah genre yang kini paling mendominasi potensi pasar dan kreatifitas (termasuk komik), segala bentuk upaya dan usaha mencirikan bentukan-bentukan yang sangat spesifik. Indie merupakan pijakan sekaligus komitmen terhadap aturan main yang diminati (mudah direspon). Komunitas indie adalah sebuah pemikiran sindikasi sebagai upaya menggalang kekuatan sekaligus proses pembentukan pasar terhadap pola kerja produksi yang bersifat customize. Sudah saatnya komunitas ini memperluas (bukan memperbanyak) jaringan kerjanya. Saat ini komunitas komik indie lebih banyak direspon oleh pelaku komik (komikus) dan cenderung makin banyak (tiap tahun bertambah sekurang-kurangnya 10 pelaku komik indie).
Penerbitan, distribusi dan manajemen produksi merupakan aspek jaringan yang paling dibutuhkan saat ini. Disamping tentunya konsepsi dagang yang sekiranya dapat diselaraskan dengan konsepsi indie untuk menciptakan dan memperluas jaringan pasar keluar dari lingkungan komunitas komikus indie dengan cara membentuk sindikasi baru yang lebih besar, komikus & penerbitan komik. Dengan adanya sindikasi tsb. diharapkan dapat saling memenuhi kebutuhannya masing-masing, komikus butuh untuk terbit, penerbit butuh khasanah komik. Persoalannya sekarang adalah masing-masing pihak harus mau membangun komitmen (effort, waktu, tenaga dan biaya) untuk menempatkan sindikasi ini sebagai konsep research & devolopment. Jadi persoalan-persoalan mengenai keuntungan (profitable) harus diatur sebagai benefit jangka panjang.Yang terpenting saat ini adalah bagaimana masyarakat umum dapat mendapatkan komik-komik Indonesia ditengah-tengah maraknya komik-komik asing. Awalnya adalah dengan menciptakan awarness, jadi bukan target untung dulu.
Hal lain yang harus ditempuh adalah menemukan format dagang yang jitu. Marketing komik bukan marketing buku. Sehingga marketing komik harus mampu berstrategi untuk menciptakan awarness toko komik, bukan toko buku. Dalam konsepsi indie, distro dikenal sebagai butiknya indie. Dagangan didalamnya adalah dagangan yang tidak ada di toko-toko ataupun mal-mal pada umumnya. Distro adalah konsep toko eksklusif yang item dan jumlah setiap itemnya serba terbatas. Setiap item produk/desain diciptakan dan diproduksi secara customize (sesuai kebutuhan dan pemesanan). Reputasi distro sudah sangat aware dikalangan komunitas indie pada umumnya, karena seluruh kebutuhan dan citra/brand produk mereka hanya ada di distro termasuk beberapa komik-komik fotokopian.
Pemikiran toko komik/comic's distro adalah prinsip counter product, jadi toko komik bukanlah semata-mata akses penjualannya. Distribusi 'lampu merah' atau lapak tetap harus dilakukan sebagaimana mestinya produk-produk media pada umumnya. Disamping itu event sebagai program kegiatan yang dapat dijadikan sebagai media promosi tetap harus dilaksanakan secara berkala, minumum per 3 bulan sekali. Pelaksanaan event nantinya bisa menerapkan sistem launching komik-komik baru yang akan terbit. Pelaksanaan launching ini bisa dilaksanakan secara sederhana dengan cara mengandalkan jaringan kerja media sehingga publikasinya dapat ditangani dengan baik. Yang terpenting adalah bagaimana caranya agar kehadiran komik-komik Indie tersebut tetap bisa muncul secara rutin, lebih dari itu bisa eksis dimasyarakat luas.[*]
MARI MEMBACA KOMIK
Oleh: Karna MustaqimJejak Asal Komik.
"Akankah ada bentuk seni lainnya, 'Goethe menduga-duga', muncul di dunia kosmopolit ini dan menjadi perekat budaya yang efektif!?" Suatu ketika tatkala Goethe memperhatikan novel-novel bergambarnya Rodolphe Toppfer, seorang edukator dan teoritisi seni dari Swiss, ia pun lalu mensinyalir salah satu dari sekian banyak hal yang mungkin dapat melakukan penyatuan kultur modern adalah komik strip. Mungkin untuk kondisi zaman sekarang ini selain komik, terdapat pula animasi, televisi, dan juga internet, yang bisa dipandang sebagai tempat berkumpulnya berbagai kultur modern masa kini. Perkembangan budaya tentu tak lepas begitu saja dari perjalanan masa lalunya, dan kejayaan masa lalu itu barangkali hanya akan abadi di dalam data-data kesejarahan. Manusia menyeleksi mana yang dibutuhkan dan mana yang tidak, dan untuk sementara waktu ini komik masih merupakan bagian dari sebuah kebutuhan manusia yang belum punah sejak kemunculannya hingga kini. Sebagai sinyalir "perekat budaya", komik melangsungkan evolusinya bersama-sama dengan berjalannya peradaban manusia. Kata 'komik' tersebut tidaklah berdiri sendiri, kata komik muncul pertama kali dengan ekornya 'strip' ( the comic strip) dan ia bukan pula merupakan suatu bentuk seni yang sama sekali baru seperti yang suka diangkat sebagian orang, komik ibaratnyalah sebuah perayaan atas kematian yang brilian dari konsepsi artistik yang sudah usang(out of date) .
Secara naif biasanya komik strip di anggap mirip dengan narasi grafis (graphic narration). Kebiasaan ini adalah upaya menyetarakan komik dengan model awal narasi visual seperti gambaran/relief di Trajan Column atau Queen Mathilde’s, berikut pula contoh lainnya seperti lembaran-lembaran papirus Mesir, Bayeux Tapestry, novel cukilan kayu. Gambaran terdekatnya pada kita dapat di temui pada relief candi Borobudur dan Prambanan yang terkenal, secara spesifik Indonesia mempunyai Wayang Beber di Jawa, yang menggunakan teknik bercerita dengan gambar adegan per adegan. Dalanglah yang menarasikan satu persatu gulungan wayang beber dan menjalin kisah di dalamnya. Ada juga Prasi, ilustrasi dan lukisan dari daun lontar di Bali. Dan yang juga mendekati adalah ilustrasi naratif manuskrip Jawa yang banyak ditemukan berasal dari pertengahan abad ke 19, seperti Serat Rama Kawi, Serat Bratayuda, Serat Panji Jayakusuma, Serat Damarwulan . Tarik mundurlah lebih jauh lagi hingga ke lukisan dinding zaman pra-sejarah dan kita mempelajarinya sebagai sebuah arkeologi komik. Membedakan antara ‘komik’ dan model awal 'narasi visual' yang disebut-sebut itu, sedikit mirip seperti menganalogikan perbedaan 'sinema/bioskop/ layar tancap' dengan ‘wayang’(shadow teater/puppet); meski film atau animasi dapat di wayang-kan seperti dilakukan Lotte Reiniger(animator) , namun secara eksplisit kita bisa cukup jelas dalam membedakan keduanya.
Abad ke 19 di Eropa tercatat banyak eksplorasi dari narasi-narasi bergambar (illustrated narratives), yang beriringan dengan perkembangan teknologi cetak seperti zincography dan photoengraving. Tapi narasi itu, yang disebut "Images d’Epinal" di Perancis dan "Bilderbogen" di Jerman, masih menempatkan "j a r a k" antara teks dan gambar. Secara artistikal puncaknya kreasi cerita gambar (picture stories) ini dibuat oleh si Rodolphe Toppfer dan Wilhelm Busch. Di abad-abad sebelumnya telah berlangsung eksprimen-eksperimen yang untuk sementara waktu terlihat antara teks dan ilustrasi berjalan di jalur yang berbeda, sampai akhirnya hadirlah ilustrasi cerita karya William Hogarth di tahun 1730-an yang menyatukan keterpisahan antara teks dan gambar, ke dalam satu jalinan cerita. Hogarth membuat sealami mungkin rangkaian adegan(sekuensial) dari sebuah visual naratif, dengan melukisan adegannya seolah-olah berada pada sebuah aksi panggung. Alhasil timbullah kesan dramatikal yang memikat. Apa yang Hogarth lakukan masa itu merupakan sesuatu hal yang sungguh berbeda dari cara mengillustrasi yang lazim di zamannya, sehingga dari sanalah sebuah diberikan sebutan yaitu "kartun(cartoon)". Konsepsi berupa setting antara teks dan gambar yang ia buat itu kelak akan menggiring adanya temuan sistematis penggunaan balon kata. Diduga konsepsi semacam ini berlanjut menelurkan asal-usul bentuk komik seutuhnya yaitu 'komik strip'.
Menjelang pergantian akhir abad ke 19, lahirnya bentuk budaya baru yang disebut komik ini, maka mulailah tampil ke depan pintu zaman sebuah model ekspresi baru yang populer. Menyandingkan pepatah Konfusius yang berbunyi, "A Picture means A Thousand Words", komik mendapatkan induksi pemaknaan yang lebih berarti sebagai sebuah media penyampai pesan yang memadukan teks narasi dan ilustrasi gambar. Sebagaimana yang diupayakan Will Eisner, seorang komikus Amerika yang sukses mengembangkan komik dalam bentuk yang ia sebut-sebut novel grafis (graphic novel), dimana dalam pandangannya buku komik merupakan montase kata dan gambar dimana seorang pembaca harus melatih kemampuannya menginterpretasikan hal-hal secara verbal dan visual bersamaan. Rezim seni(seperti: perspektif, komposisi, sapuan kuas) dan rezim literatur(seperti: tata bahasa, plot, sintaksis) keduanya menjadi saling terataskan. Membaca komik adalah sebentuk upaya melakukan persepsi estetik (keindahan) dan pengejaran intelektual. Ia memperbandingkan komik sebagai seni merangkai adegan (sequential art) .
Komik dalam pandangan menurut Scott McCloud, "Juxtaposed pictorial and other images in deliberate sequence, intended to convey information and/or to produce an aesthetic response in the viewer." Terjemahan yang dikutip dari bukunya Memahami Komik terbitan KPG adalah, "Gambar-gambar serta lambang-lambang lain yang terjuktaposisi dalam turutan tertentu, untuk menyampaikan informasi dan/atau mencapai tanggapan estetis dari pembacanya."
Pada tahun 1973, Malte Dahrendorf menyebut komik sebagai benda/barang gambar secara massal adalah kisah bertekanan pada gerak dan tindakan yang ceritanya dalam urutan gambar dengan daftar dan jenisnya yang khas . Jika kita percaya pada tesis Marshall McLuhan yang menyebutkan tentang "Berakhirnya kurun waktu buku(bacaan/tulisan)" dan meramalkan "Kurun waktu berlambang gambar", maka berlimpahnya penggunaan bahasa visual seperti yang terdapat dalam komik masih akan meluas lagi.
Jepang menyimpan penamaan tersendiri untuk komik yaitu 'Manga', dengan huruf kanji yang sama di Cina disebut Man Hua. Sebelumnya sempat di kenal sebutan Ponchi-e (istilah untuk gambar-gambar dari majalah Punch yang terbit pertama kali tahun 1814 di Inggris) dan juga komikkusu (mengadaptasi dari kata comics). Asal usul istilah Manga sendiri tidak ada keterkaitan spesifik dengan pengertian manga sebagaimana kita kenal sekarang ini sebagai sebutan untuk komik ala Jepang. Dahulu pada tahun 1814, jilid pertama “Hokusai Manga” diterbitkan, isinya adalah sketsa-sketsa Katshuhika Hokusai(1760-1849), seorang artis ukiyo-e (seni cukil kayu Jepang) yang terkenal, diterbitkan sebanyak 15 jilid. Tak ada gerak-gerik manusia yang luput dari ketajaman observasi matanya dan goresan kuasnya yang ekspresif. Hokusai menggambarkan obyektifitas pandangannya tentang kemanusiaan dari sisi yang humoris . Artis lain yang dinilai punya peran penting pada dunia komik Jepang adalah Yoshitoshi Tsukioka (1839-1892) artis ukiyo-e generasi akhir masa Meiji, adalah artis yang sangat baik melukiskan monster, makhluk aneh dan fantasi. Konotasi manga kala itu disamakan dengan cartoon, dengan caranya sendiri-sendiri William Hogarth dan Katshuhika Hokusai melahirkan bentuk ilustrasi yang berbeda dari umum di tempat dan zamannya masing-masing. Adalah Rakuten Kitazawa(1876-1955) yang kemudian menjeneralisirkan penggunaan istilah Manga sebagai pengertian untuk kartun dan komik strip di Jepang, melalui suplemen hari minggu di harian Jiji Shinpou. Karya-karyanya masih sangat kental di pengaruhi oleh Outcoult, Dirks dan Opper. Tahun 1918 ia mendirikan Manga Kourakukai, sebuah asosiasi kartunis Jepang. Kitazawa adalah seorang pionir komik strip modern Jepang. Sekarang kartun/karikatur dan manga, mempunyai dunianya masing-masing dalam Jepang kontemporer.
Tradisi literatur atau sastra Jepang yang memikat dan biasanya berupaya menggiring emosional pembaca sehingga larut terbawa dalam imajinasi dan suasana cerita, tampaknya merupakan dasar kuat bagi kelanjutan perkembangan teknik bercerita dalam manga. Osamu Tezuka, yang dijuluki ‘The God of Manga’ yang tertarik sekali dengan desain karakter kartun Disney dan Max Fleischer, kemudian mengembangkan karakter individunya kedalam karya manga dan anime(sebutan khas animasi produksi Jepang) yang karena kepopulerannya, melanda berikutnya ke generasi-generasi selanjutnya hingga kini. Tezuka juga mendapatkan inspirasi dari film-film Jerman dan Perancis yang ia tonton semasa remaja, membawanya pada eksperimen teknik sinematografis masuk ke dalam manga Jepang, diantaranya melalui penciptaan efek-efek kesan ruang dan kedalaman, teknik 'passing' adegan, gerak dinamis dan slow motion, ritme cerita yang mendebarkan, dan alur cerita yang mengasyikkan dan tak harus selalu berakhir gembira. Beberapa efek sinematografis yang ia masukkan ke dalam manga adalah seperti pengambilan adegan dalam framing yang transisi obyeknya berubah perlahan-lahan. Semacam kesan zooming, pengambilan shoot gambar yang detail dari sudut ke sudut suatu obyek. Jepang kontemporer mengandung banyak unsur campuran berbagai kebudayaan impor. Dimana di dalam pencampuran itu masih selalu terlekat erat esensi unsur yang menunjukkan tradisi ke-Jepangan-nya, misalnya saja kultur Jepang yang sangat menghemat ruang dan kompak, filosofis hidup ajaran Zen dan Konfusius, terlihat mempengaruhi lahirnya komposisi dan struktur lay-out manga yang efektif dan efisien dalam menggunakan bidang kertas terbatas namun tetap dijaga kejernihan pembacaannya.
Komik, sebuah industri dan budaya modern.
Komik itu sehat. Demikian pernyataan ini terbit di ufuk pikiran dengan niat memperlihatkan kenyataan positif dari kegiatan membaca komik. Seperti kita ketahui bersama membaca komik menimbulkan keasyikan tersendiri bagi pembacanya, baik itu anak-anak, para remaja, tiada ketinggalan pula para orang tua. Biasanya kegiatan ini di lakukan untuk mengisi waktu senggang atau sering pula ketika anak-anak jenuh dengan bahan pelajaran. Dengan kehadiran komik maka hampir dapat di pastikan sebagian besar orang menghabiskan masa mudanya dengan menikmati bacaan bergambar yang satu ini. Ibarat makanan, komik hadir seperti jajanan atau cemilan yang selalu menggoda hati. Di masa sekarang ini komik merupakan fenomena budaya di Indonesia terutama di kota-kotanya. Bahkan Arswendo Atmowiloto, seorang pemerhati budaya, menyebutkan bahwa komik dapat memberikan sumbangan pada proses pertumbuhan kebudayaan nasional . Dalam tulisan yang sama dikemukakan bahwa,"Komik sebagai media ekspresi pribadi sekaligus terlibat dalam apa yang disebut kebudayaan nasional. Mereka(komikus-komikus) adalah dinamikator-dinamikator yang kalau dilihat dari sejarah dan hasilnya, komik mampu menampung masalah sosial, politik, agama, sejarah, perjuangan, penerangan dan aspek-aspek lain dalam kebudayaan." Di pihak sastrawan, Mocthar Lubis, berpikiran lebih jauh dengan menyatakan, "Komik menurut anggapan saya, adalah salah satu alat komunikasi massa yang memberi pendidikan baik untuk kanak-kanak maupun untuk orang dewasa. "Sebagai bahasa gambar, komik menarik minat para ahli semiotik dan linguis, seperti ungkapan seorang ahli komunikasi massa berkebangsaan Italia, Umberto Eco, "Komik menjadi sebuah bidang kajian yang luas dan sulit dijelajahi, tetapi terbuka bagi 'semiotika pesan gambar'." Demikian pula yang ditegaskan Arthur Asa Berger, di akhir salah satu tulisannya, dalam buku Signs in Contemporary Culture, ia mengatakan komik memiliki banyak hal yang dapat kita baca, namun hanya jika kita peduli .
Cukup banyak pula orang yang telah menuangkan pemikirannya tentang komik ke dalam buku-buku, misalnya Scott McCloud dengan 'Understanding Comic : the Invisible Art', Maurice Horn dalam 'World Encyclopedia of Comics', Frederik L.Schodt dengan 'Manga!Manga!The World of Japanese Comic', Thomas M. Inge melalui 'Comic as Culture' dan masih dapat ditemukan lagi penulis-penulis lain yang tertarik dalam mengulas komik.
Dalam perjalanannya, komik-komik yang pernah hadir di Indonesia mempunyai komunitas penggemarnya tersendiri. Di Indonesia , sengaja atau tidak di sengaja, secara kasar seolah terbentuk kelompok-kelompok yang fanatik pada jenis komik tertentu. Dekade tahun 50-an hingga 60-an didominasi oleh komik nasional(lokal), kemudian memasuki dekade 70-an hingga 80-an mulai diramaikan oleh kehadiran komik-komik impor dan terjemahan Barat(Eropa dan Amerika), disusul dekade 90-an hingga saat ini serbuan dari komik terjemahan asal negeri matahari terbit yaitu Jepang. Periodesasi di atas bukanlah dimaksudkan sebagai gambaran mutlak, batasan-batasan tahun hanyalah untuk memperlihatkan adanya perubahan gradual pecinta komik di Indonesia seiring hadirnya komik-komik luar ke negeri tercinta ini. Untuk gambaran kasatnya, andaikanlah kita ini sebagai seorang anak sekolah menengah, perhatikanlah kegemaran komik bacaan kakek atau bapak-ibu kita, kemudian abang dan kakak kita, lalu kita sendiri, dan selanjutnya perhatikan adik-adik kita. Pada masa sebelum dekade 90-an, komik buatan lokal masih sanggup bercokol dan mempunyai peminat yang meluas meski kemudian secara perlahan surut dan hilang dari pasaran. Kini di abad ke-21 ini, komik Indonesia menjelmakan diri melalui gerilya beragam bentuk, tak hanya komik buku dan strip saja, tapi juga memanfaatkan berbagai peluang pasar media yang tersedia, entah sebagai suplemen atau promosi produk dari media lainnya.
Dalam perjalanan sejarahnya, komik Amerika pernah mendapat pengaruh komik-komik dari Eropa seperti Jerman dan Perancis, sedangkan Jepang di tahun 70-an juga sempat di pengaruhi oleh komik gaya Amerika, dan kini Jepang mempengaruhi kembali komik-komik Eropa dan Amerika. Di Indonesia sendiri uniknya hampir semua jenis komik tersebut tidak pernah ketinggalan hadir dan mempengaruhi citra komik nasional. Kemampuan beradaptasi seperti itu sebenarnya mirip yang dimiliki oleh leluhur bangsa Indonesia yang tercermin melalui akulturasi budaya daerah sejak jaman kerajaan-kerajaan nusantara dahulu kala. Cerminan itu tampak pula pada budaya-budaya suku bangsa Indonesia yang sarat perpaduan budaya, misalnya dari upacara tradisinya, adat-istiadat, pakaian dan tarian, bahasa dan sastra, cerita rakyat, dan banyak lagi bentuk kebudayaan itu. Proses berakulturasi ini dapat kita serap ke dalam proses pembuatan komik, dan meski komik bagi sebagian orang masih di anggap "produk pinggiran" dari kebudayaan, bukan berarti ia tidak bisa diberikan nilai lebih, misalnya saja dengan menyisipkan unsur-unsur positif budaya bangsa ke dalam kisah atau karakternya. Karena seperti yang diungkapan Marcel Boneff dalam disertasinya tentang komik Indonesia bahwa, "Walaupun hanya “produk pinggiran" dari kebudayaan, komik berpangkal pada kebudayaan, dan merupakan salah satu benih kebudayaan.”
Membanjirnya komik-komik asing itu tidaklah buruk, asalkan saja orang-orang menyadari tentang bagaimana sebaiknya mengkonsumsi komik-komik tersebut. Sejak lama pembaca komik di Indonesia merupakan konsumer komik yang jumlahnya tidak kecil. Sungguh disayangkannya perjalanan panjang yang sempat ditempuh, beragam karakter komik serta jumlah konsumer baca yang besar itu ternyata tidak cukup mampu memberi landasan berpijak yang kokoh dan kuat bagi kelnajutan kehidupan perkomikan nasional sementara waktu. Komik sendiri adalah sebuah industri. Seperti yang terlihat bahwa komik telah menjadi fenomena perkotaan. Di Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Lampung, Yogya dan kota-kota lainnya, tersebar banyak komunitas pecinta komik yang besar. Saat ini jenis komik Jepanglah (manga) yang tengah di gandrungi, hal ini tentunya di karenakan pula oleh mudahnya mendapatkan komik-komik itu. Produksi komik lokal bukannya tidak ada, namun gaungnya belum cukup menggembirakan. Komik-komik Indonesia atau yang pernah populer di era 60-an dengan istilah cergam (cerita bergambar) tampaknya belum mendapat porsi yang pantas di hati kalangan komunitas pecinta komik. Komik nasional seolah-olah tak putus di rundung malang.
Sejujurnya kita adalah bangsa yang tidak kalah dalam hal sumber daya seperti keahlian (skill), sumber cerita dan sumber karakter. Bangsa Indonesia mempunyai ribuan pulau keanekaragaman dan lautan budaya yang luas seluas-luasnya untuk dijelajahi. Lalu apa yang membuat kita demikian tidak berdaya menghadapi serbuan komik asing? Barangkali, sejujurnya harus diakui, bahwa kita masih saja gagal memikat hati para pembaca sendiri, kita kalah dalam berkompetisi merebut cinta dari peminat komik dunia di Indonesia. Upaya mengembangkan komik kiranya perlu dilakukan bersama-sama, karena dunia perkomikan adalah sebuah industri yang membutuhkan banyak tangan dan banyak dukungan, bahkan mungkin pengorbanan yang tidak sedikit dari mereka yang terlibat di dalamnya. Banyak aspek-aspek manajerial yang harus diperhatikan dalam memproduksi sebuah komik, dari studi pasar, pembuatannya, pencetakannya, penerbitannya, serta pejualannya dan pemasarannya, yang memungkinkan agar komik-komik tersebut menjadi produk konsumsi yang berkualitas dan laris manis di pasaran.
Aspek manajerial dan struktur pengerjaan ini menciptakan budaya komik tersendiri, dicontohkan dengan sederhana dimana komik produksi Amerika membagi-bagi pekerjaan komik ke dalam sketsa pensil, pembubuh teks, peninta, pewarna, desainer grafis dan produksi final artwork. Di jajaran manajerial sebuah produksi judul komik mempunyai penanggung jawab sejak dari editorial hingga produser layaknya produksi sebuah film. Detil tanggung jawab yang disesuaikan tuntutan etos kerja dan pasar di negeri itu sendiri, yang ternyata sedikit banyak berbeda dengan berbagai varian-variannya. Halmana berkaitan dengan kondisi pasar dan tuntutannya menciptakan pola produksi komik Jepang yang berbeda dengan komik Amerika sebagai bandingan ukuran raksasa produsen komik dunia yang besar dan saling pengaruh–mempengaruhi.
Di Jepang pengerjaan komik dilakukan oleh seorang komikus di bantu beberapa artis sebagai asisten. Dengan mengandalkan ongkos produksi yang murah, maka penerbit komik di Jepang bersaing ketat dalam kuantitas penerbitan judul-judul komik baru. Secara kontras kualitas produksi komik Jepang jauh di bawah komik produksi Amerika yang sifatnya kolektibel. Komik Jepang tidak bedanya dengan majalah yang sifatnya temporer hanya untuk sekali baca. Kekontrasan itu bisa dilihat dari fisik komik Amerika yang tipis dan berwarna, sementara komik Jepang tebal dan hitam putih atau rasterisasi.
Perbedaan kualitas produksi ini juga berdampak pada variasi tema-tema yang diangkat ke dalam bentuk komik. Beberapa penerbit komik di Amerika berorientasi pada kekhasan jenis penerbitan mereka, sementara penerbit komik Jepang berorientasi kepada pembaca yang dituju. Tiap-tiap penerbit komik Amerika mempunyai ciri jenis tema yang biasa menjadi khas masing-masing penerbit, sedangkan di Jepang penerbit komik bahkan mempedulikan usia pembaca komik dan gendernya. Maka muncullah khas penerbitan komik Jepang yang dikhususkan bagi kaum hawa. Dari sini pula muncul perbedaan mencolok jumlah komikus wanita di penerbitan komik Jepang, yang secara kontras jumlahnya minim pada penerbitan komik Amerika.
Masih banyak lagi hal yang bisa diperhatikan dari aspek manajerial dan struktur penerbitan komik dari dua negeri komik tersebut. Hal yang penting untuk dipelajari adalah bagaimana memetik pelajaran dari berbagai pola yang ada, kemudian disesuaikan dengan kondisi dalam negeri, disesuaikan dengan etos kerja dan budaya di Indonesia. Sebagai gambaran dalam negeri, kita belum mempunyai cukup sumber daya terlatih dan profesional bila ingin mengikuti pola produksi komik Amerika yang begitu terperinci, di sisi lain kita belum sampai pada tuntutan jumlah produksi komik seperti di Jepang.
Kualitas produksi komik lokal barangkali masih jauh bila harus mengejar kualitas komik Amerika, tapi bukan berarti alternatif terbaiknya adalah mengikuti pola produksi dalam mengejar kuantitas seperti komik Jepang. Idealnya adalah dengan melirik juga kondisi selera pasar di Indonesia masih sangat terbuka, tergantung pada komik mana yang membanjiri pasar maka besar kemungkinan itulah yang kemudian diminati oleh sebagian besar pembaca. Ada baiknya komik Indonesia bereksperimen dalam mencari dan menemukan teknik berproduksi tersendiri agar bisa merebut pasar dengan memenuhi harapan pembaca komik yang sudah ada, baik secara kualitas maupun kuantitas, dimana komik lokal dapat mencuri celah posisi yang ada diantara berbagai warna dan gaya komik-komik terjemahan.
Apabila dibuatlah sebuah anggapan bahwa komik sebagai sebuah konsepsi, maka dapatlah ia diterapkan melalui berbagai medium seni dan dapat pula menjadi medium seni tersendiri. Memandang komik sebagai rujukan pada sebuah peran bukan sekedar bentuk belaka, maka komik bisa menjelma menjadi pesan yang diperankan untuk merekatkan berbagai bentuk seni dan budaya.
Di Indonesia menurut Arswendo Atmowiloto adalah Zam Nuldyn, seorang cergamis kota Medan, yang memperkenalkan sebutan CERGAM di akhir tahun 1950-an. Dan sebutan ini masih dapat di temukan dalam beberapa penerbitan komik terjemahan di awal tahun 1990-an, seperti terbitan dari Misurind. Istilah cergam dikatakan akronim dari cerita bergambar (lebih tepatnya cerita gambar) atau cerita berbentuk gambar meniru istilah cerpen(cerita pendek). Tapi sebenarnya itu adalah gambaran sikap lunak untuk menghindarkan tuduhan bahwa komik adalah momok . Dan untuk sementara waktu, komikus-komikus di masa itu sempat menyukai istilah ini karena konotasinya dianggap lebih bagus, dan sempat pula kabarnya berdiri perhimpunan profesi bernama Ikatan Seniman Tjergamis Indonesia (IKASTI).
Sekedar menilik dari istilah cergam, bila dikatakan sebagai akronim dari cerita bergambar maka maksudnya tentu adalah cerita yang mempunyai/disertai oleh gambar-gambar, selain bisa berarti pula sebuah cerita berbentuk gambar. Adalah lebih tepatnya cerita berbentuk gambar ini disebutkan dengan cerita gambar (picture stories) mirip dengan sebutan bagi pra-konsepsi komik yang dirintis oleh Rodolphe Toppfer di Eropa dulu. Begitu pula bila kita mengikuti peristilahan cerpen (cerita pendek) maka seharusnya cergam di panjangkan sebagai cerita gambar dengan penghilangan imbuhan ber- pada kata gambar. Tanpa harus mengorbankan peristilahan bahasa itu sendiri, CERGAM telah menyimpan rujukan maknanya yang paling sederhana kepada bentuk komik yang kita kenal hingga saat ini. Istilah ini pun telah sempat hadir sekian lama dan memberi ciri khas penerbitan komik-komik di Indonesia. Malangnya setelah kematian cergam Indonesia, ditandai dengan redupnya penerbitan dan peredaran komik produksi lokal dan membanjirnya komik-komik terjemahan di era 1990-an, maka istilah ‘cergam’ ini pun pergi untuk selama-lamanya. Pekan Komik dan Animasi Nasional yang cukup rajin diadakan, Kajian Komik Indonesia sebagai lembaga pengkajian komik, dan Masyarakat Komik Indonesia sebagai wadah berkumpulnya berbagai insan pecinta komik, tampaknya sudah menutup rapat pintu bagi sebutan komik Indonesia dengan 'cergam', yang barangkali dianggap sudah tidak sesuai jaman, atau barangkali memang sudah tiada lagi upaya memaknai kembali akronim itu. Sekarang ini malah terjadi kelatahan yang melanda di kalangan muda, aksen-aksen dalam bahasa jepang mulai biasa diucapkan sebagaimana aksen-aksen dalam bahasa Inggris di pakai, dikarenakan bacaan terjemahan dari komik negeri matahari terbit atau manga tersebut. Sebutan komik mendapatkan sandingan barunya, Manga. Ada komik lokal, ada manga lokal. Sebagian mulai rancu hendak menyebut karyanya sebagai komik atau manga, dan sebagain juga mulai bingung apakah memilih menyebut dirinya komikus atau mangaka, meski pada dasarnya sama saja. Berbeda dengan sebutan ‘manga’ yang awalnya sederhana kemudian terus-menerus dimaknai lebih oleh bangsa jepang sendiri, nasib akronim istilah ‘cergam’ justru ditinggalkan dan tidak diberi makna lebih lagi, sehingga sebutan cergamis dirasakan kalah bagus dengan komikus apalagi mangaka. Tanpa bermaksud mendebatkan lebih jauh tentang peristilahan, dapat dilihat bahwa sebutan cergam sebagai padanan comic atau manga, kini telah dibekukan.
Kelahiran komik Indonesia, sebuah perjuangan.
Konon katanya, komik bila dilihat dari sejarah dan hasilnya, mampu menampung permasalahan sosial, politik, agama, filsafat, sejarah, perjuangan, penerangan dan aspek-aspek lain dalam kebudayaan, demikian yang pernah diungkapkan pada tahun 1982 oleh Arswendo Atmowiloto selaku pengamat komik dalam artikelnya yang berjudul ‘Komik dan Kebudayaan nasional’ di majalah Analisis Kebudayaan. Rangkaian pikiran yang terkandung dalam tulisan itu masih tampak relevan dengan kondisi perkomikkan dalam negeri hingga saat ini. Dari sana dapat kiranya ditarik kesimpulan walau mungkin terdengar sedikit tergesa-gesa, bahwasannya komik Indonesia pada kelahiran pertama sangatlah dekat dengan realitas permasalahan sosial yang ada, dan itu cukup mencerminkan kondisi perjuangan kebangsaan yang sedang bergolak.
Sementara komik strip Put On, dengan komikusnya Kho Wan Gie yang ditasbihkan sebagai generasi komik Indonesia pertama sejak tahun 1930-an, yang dari isinya bisa dipelajari kondisi perubahan sosial, politik dan budaya dari warga Cina peranakan dengan segala permasalahan hidup mereka tinggal di Jakarta , ternyata terdapat pula buku komik yang dilansir lahir pertama kali yaitu 'Kisah Pendoedoekan Jogja' karya komikus Abdulsalam, yang malah berkaitan langsung dengan peristiwa yang benar-benar sedang terjadi, yaitu tindakan agresi militer kedua Belanda (sebagai penjajah) yang melanggar perjanjian Renville dengan menyerang jantung Republik Indonesia yakni ibukota Yogyakarta. Komik ini terbit di tahun yang sama dengan tahun kejadian Agresi II – 1948, hal ini menunjukkan bagaimana keterlibatan dan peran langsung dari komikusnya seolah-olah melakukan aksi perjuangan dengan mencatat peristiwa tersebut ke dalam goresan komiknya yang dimuat bersambung di harian Kedaulatan Rakyat, sebelum akhirnya dijadikan buku .
Apa yang pernah dilakukan Abdulsalam mungkin mirip seperti yang diistilahkan oleh Seno Gumira Ajidarma dengan jurnalisme komik, yang dapat kita temukan pada Palestine, sebuah laporan jurnalistik tentang keadaan warga Palestina dalam bentuk komik. Komikusnya, Joe Sacco, keluar masuk rumah warga dan melakukan wawancara, mendengar, menulis, melihat dan menuturkannya kembali dalam bahasa visual . Kita mungkin tidak tahu apakah Abdulsalam melakukan hal yang sama dengan Joe Sacco, tapi terlepas dari itu, dapat diperhatikan bagaimana dekatnya keterlibatan komik dengan permasalahan lokal dan nasional pada masa itu. Beberapa tahun kemudian ketika zaman keemasan komik Indonesia yang ditandai dengan ‘Periode Medan’, selain kisah-kisah legenda dan mitos-mitos lokal yang sebelumnya telah banyak diangkat, juga mulai diangkat tema-tema yang berkaitan dengan masalah sosial masa itu seperti sabotase, kekacauan, ekstrimis, ketidakpuasan pada sistem pemerintahan yang berpusat di jawa, yang diolah ceritanya oleh seorang komikus bernama Zam Nuldeyn dengan tokoh komiknya,”Detektif Bahtar(1955)” .
Sejak dulu hingga saat ini pun komik dianggap bacaan yang menghibur. Isinya bermacam-macam. Ada humor-dagelan, petualangan, fantasi, drama, biografis, jurnalistik, erotis dan filosofis serta masih banyak berkembang lagi dengan tema-tema yang lebih spesifik. Medium hiburan yang satu ini tidak mengenal dan tak peduli strata sosial maupun pendidikan pembacanya. Siapa saja boleh memilih sendiri komik yang sesuai kemauannya saat kapan saja.
Demikianlah sedikit gambaran dunia komik dewasa ini, tapi benarkah komik hanya berhenti sebagai sebuah media penghibur belaka? Tangguhkan dulu, coba perhatikan kembali keterlibatan sosial komik seperti yang telah diuraikan di paragraf-paragraf sebelumnya. Selain itu komik juga disinyalir mempunyai kandungan ideologis bahkan gerakan politis tertentu yang disadari maupun tidak. Tambahan lagi melalui pengamatan Marcel Boneff, seorang peneliti komik Indonesia dari Perancis, berpendapat bahwa komik Indonesia adalah sumber utama untuk memahami mentalitas bangsa Indonesia. Hal ini menunjukkan komik pun tidak lagi sekedar hiburan yang biasa-biasa saja, telah ada keseriusan tertentu dalam menanggapi penggarapan komik-komik. Perlu ada kedewasaan dan wawasan dalam mengkritisi kehadiran komik dalam masyarakat kontemporer dewasa ini. Meskipun tak bisa kita pungkiri bahwa dominasi komik-komik untuk konsumsi anak-anak dan remaja masih yang terbanyak memenuhi rak-rak toko buku di Indonesia tercinta ini. Untuk kalangan dewasa dan orang tua biasanya mereka bisa mendapatkannya lewat pemesanan khusus, misalnya, via belanja internet ataupun menitip koleganya yang berada di luar negeri. Sebagian sangat kecil pasar ini sudah dibidik oleh komik-komik underground dengan tema-tema yang spesifik yang terkadang provokatif.
Jikalau kita berjalan-jalan di arena bazaar komik lokal maka akan kita temui keunikan dalam setiap pameran komik yang berlangsung di dalam negeri, selain mengusung kata ‘komik Indonesia’ adalah sebuah kenyataan terbalik dari keadaan umumnya, yaitu jumlah peserta pameran yang berasal dari komikus-komikus independen dan bawah tanah justru lebih banyak daripada peserta pameran dari penerbitan-penerbitan umum. Hal yang sangat kontras bila kita perhatikan pada rak-rak toko buku yang besar-besar tapi tak satu pun bisa kita temui komik-komik seperti yang ada saat pameran komik seperti itu Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat Pekan Komik dan Animasi Nasional (PKAN) yang digelar kembali untuk ke-empat kalinya tahun 2003 ini di kota Yogyakarta. Sebelum-sebelumnya semenjak tahun 1997, pameran komik lokal sudah menjadi agenda kegiatan di berbagai kota-kota di nusantara setiap tahunnya, bahkan setahun belakangan ini semakin meningkat intesitasnya. Kita belum tahu akan bagaimanakah ke depannya, apakah gerakan pameran komik lokal ini adalah sebuah simbol penambah semaraknya dunia hiburan dewasa ini, ataukah ia menjadi suatu gerakan yang lebih mandiri bukan sekedar mencuri perhatian sejenak saja.
Berikut ini disebutkan secara singkat perjalanan komik Indonesia yang mewakili tiap-tiap jamannya. Seperti yang telah disebutkan diatas komik strip Put On tercatat sebagai komik resmi pertama yang muncul di suratkabar Sin Po oleh Kho Wan Gie. Kemudian Mentjari Poetri Hidjau oleh Nasrun A., Kisah Pendoedoekan Jogja karya Abdulsalam, R.A.Kosasih dengan Sri Asih dan John Lo dengan Nina Poetri Rimba, Kwik Ing Hoo dengan Wiro: Anak Rimba yang populer di masanya, cergam-cergam wayang dipelopori Ardisoma dan Kosasih, Siaw Tik Kwie, guru dari Ganes Th, menelorkan serial bersambung Sie Djin Koei di majalah Star Weekly tahun 1958, bersama juga di majalah ini hadir tokoh si A Piao karya Koei Kwat Siong, era 60-an cergamis Sumatra tampil unjuk gigi, diantaranya yang gigitannya terkenal adalah Taguan Hardjo, Zam Nuldeyn dan Djas yang menampilkan artistik dan penggarapan tema yang sangat beragam, memasuki era 70-an, pengaruh komik heroik Amerika dan cerita silat Hongkong kian kental, namun di masa inipun Ganes Th bisa meraih sukses dengan Si Buta dari Goa Hantu dan Hans Jaladra dengan Panji Tengkorak, keduanya sempat dijadikan serial sinetron di akhir tahun 90-an , Hasmi dengan Gundala yang di layar-lebarkan di tahun 80-an dan Wid Ns dengan Godam, akhir 70-an dan memasuki era 80-an menyusul cergam2 dengan olah artistik yang semakin mantap, seperti karya-karya Jan Mintaraga dengan cergam romantiknya dengan tokoh wanitanya yang berwajah indo, Teguh Santosa dengan cergam silat fantasi, Gerdi WK dengan Gina yang bersetting Timur Tengah, Djair dengan silat Jaka Sembung yang bahkan di film-kan dan nyaris hendak di ‘legenda’-kan, Man dengan cergam silatnya Mandala: Siluman Sungai Ular yang juga berkesempatan di layar lebarkan. Tanpa harus merasa iri dengan kemajuan komik di luar negeri, komik Indonesia hingga akhir tahun 80-an telah menunjukkan prestasi yang cukup membanggakan.
Sayangnya, prestasi dan perjalanan sepanjang lebih kurang lima dekade itu tidaklah cukup untuk memberikan landasan berpijak yang berarti bagi pengembangan industri komik lokal selanjutnya. Hampir tidak ada sebuah penerbitan komik pun yang sanggup melanjutkan penerbitan komik-komik Indonesia. Penerbit-penerbit yang ada kemudian lebih tertarik tentunya dengan bisnis menerjemahkan komik luar yang menguntungkan. Tidak seperti nasib komikus Amerika dan manga-ka Jepang, cergamis Indonesia tidak pernah beroleh kesempatan dibesarkan oleh penerbit, justru malah banyak penerbit-penerbit tersebut gulung tikar. Pemasaran cergam Indonesia mulanya adalah model agensi-agensi dan kaki lima. Pasar bebas adalah gambaran lahir, berkembang dan mati suri-nya cergam Indonesia. Kala itu sedikit sekali cergamis yang menempuh jalur pendidikan formal apalagi tinggi, sehingga minim sekali inovasi-inovasi yang berkembang di dunia industri cergam Indonesia, meski ditemukan pula sudah ada teknik rasterisasi pada karya Taguan Harjo, seperti yang kini dikenal pada komik jepang dewasa ini, serta di samping tentunya masalah ‘perut’ yang tak terelakkan. Di satu masa sebelumnya, penerbitan terjemahan dari komik-komik eropa seperti dari Belgia dan Perancis, banyak menyaingi pasaran cergam di Indonesia yang belum begitu mapan adanya, menyusul banyaknya pula komik saduran dari Amerika dan akhirnya penerbit menemukan pasar yang luas dengan biaya penerbitan yang murah dan lebih menguntungkan lewat penerjemahan manga atau komik Jepang.
Kelahiran komik Indonesia, sebuah renesans.“Bedebah… Jahanam… Bangsat….!!!”
Makian-makian para pendekar komik Indonesia itu tentu sudah tak segagah dahulu. Si Buta, Panji Tengkorak, Godam dan Gundala, satu-satu roboh dihantam batu menhirnya Asterix-Obelix, jurus peremuk tulangnya Chinmi, dan akhirnya dikencingi si bocah nakal Sinchan.
Sepenggal kalimat diatas dikutip persis atau istilah milleniumnya di ‘copy paste’ kan langsung dari sumber digitalnya, sebuah arsip pada portal komik Indonesia yang bernama www.komikaze99.com. Tertanggal 2003-04-13 11:07:48. Dengan segala kelengkapannya sebuah teknologi digital berbasis jaringan internet memudahkan pemakainya untuk mencari dan menemukan sumber-sumber yang ia butuhkan. Pencatatan penemuan itu pun tercatat persis detil-detilnya hingga ke menit dan detik. Maka dimulailah kelahiran generasi baru dari komik Indonesia yang bukan dimulai atau dilanjutkan oleh garis keturunan keluarga komikus, atau keturunan dari keluarga kolektor komik Indonesia, juga bukan lahir dari penggemar komik Indonesia dan sejenisnya. Kelahiran generasi baru komik Indonesia benar-benar terputus dari masa lalu dan bayang-bayang gaya komik Indonesia masa silam. Bolehlah kiranya kita panggilkan kelahiran kembali ini sebagai ‘renesans’ komik Indonesia yang sangat rapuh, karena ia terlahir dengan caranya sendiri dan tanpa adanya orang tua yang akan mengasuhnya. Kapankah kelahirannya? Karena lahir tanpa orang tua yang mengandungnya, maka ‘renesans’ komik Indonesia ini tersembunyi dan dikandung di benak masing-masing anak-anak muda yang memimpikan kehadiran kembali komik buatan anak Indonesia sendiri, terutama komik miliknya yang paling diimpi-impikan. Kelahirannya pun tidak merupakan sebuah tanda tunggal yang menandai sebuah kelahiran, tapi berupa tanda-tanda kelahiran yang tersebar di mana-mana.
Diantara tanda-tanda kelahiran awal yang sangat fenomenal adalah terbitnya edisi pertama dan mungkin satu-satunya hingga saat ini yang dicetak dengan gemilang yaitu Caroq, sebuah komik dengan tema kepahlawanan, seruannya yang yang terkenal,”Pahlawan sudah mati!? Siapa bilang!” Lalu terlihatlah sosok bertopeng dengan otot-otot yang menonjol mempertontonkan kepahlawanannya sambil menghunuskan celurit dan melompat dari arah ketinggian bangunan. Hup! Dan orang-orang diingatkan kembali bahwa,”Komik Indonesia sudah mati!? Siapa bilang!”
Dibawah bendera Qomik Nasional (QN), terbit pula selain Caroq yaitu kapten Bandung. Era komik dengan komikus tunggal telah ditinggalkan, mereka kini menyadari penting dan sulitnya bekerjasama dalam satu naungan studio komik, seperti Sraten yang sempat menelorkan Patriot, sebuah komik mengenang pahlawan-pahlawan klasik Indonesia seperti Godam, Gundala, Maza, dan Aquanus. Ada juga Animik pernah memunculkan Si Jail, studio ini bertahan hingga kini berkat kerjasamanya dengan berbagai kegiatan dan bidang usaha terkait lainnya. DS Studio dengan serial silat manga Alit Kencana, sebelumnya studio Dwi Setyawan ini juga memproduksi komik untuk majalah-majalah anak-anak. Disamping itu Depdiknas juga sempat melaksanakan beberapa kali lomba komik yang mana komik pemenang di cetak oleh Balai Pustaka. Judul-judulnya itu misalnya Ayam Majapahit oleh Kirikomik, Blandong oleh Ahmad F. Ismail, Kecoa oleh Yudhie dkk, dan yang belakangan Tekyan yang berkisah tentang anak-anak jalanan.
Lain halnya dengan kota Yogyakarta, sebuah kota kecil yang tempat dilaksanakannya pekan komik dan animasi nasional kali ini, sebuah tempat yang kaya akan aneka rupa komik independen. Sejak tahun 1995, suasana komik underground di kota ini sudah terasa, Core Comic boleh dikatakan sebagai nama yang cukup di kenal luas, selanjutnya hingga saat ini banyak terjadi evolusi yang beragam dari kelompok-kelompok pembuat komik independen di Yogya. Apotik Komik yang banyak membuat komiknya di tembok-tembok jalanan, Daging Tumbuh berupa kumpulan komik siapa saja yang dikelola oleh Eko Nugroho, Komikaze yang bertahan melalui komik online-nya, adalah beberapa contoh populer yang bisa disebutkan. Tema-tema komik yang diusung pun sedikit berbeda dengan selera komik masyarakat umum, dimana komik yang dianggap jajanan untuk anak-anak atau orang dewasa yang kekanakan dikesampingkan. Karena kebebasannya, maka nuansa tema komik juga lebih bebas menggarap tema-tema yang jarang ditemukan pada produksi komik mainstream, cerita yang kadang aktual apa adanya, kadang keras, kadang satir yang kasar, dan kadang-kadang juga bisa nihil dan absurd. Nuansa ini biasa dipanggilkan namanya sebagai nuansa alternatif dalam rimba perkomikkan.
Fenomena gerakan komik Indonesia untuk sementara ini juga sarat diwarnai nuansa instanitas pelakunya, dimana kenyataan setiap orang berkesempatan bebas membuat komik dan menyebut dirinya seorang komikus bila sudah pernah melahirkan komik sendiri barang satu atau dua buah. Latar belakang tiap-tiap komikus kadang melahirkan pandangan-pandangan ekstrim masing-masing dalam memandang rimba perkomikkan Indonesia, dari pandangan yang materialistik yang berorientasikan pasar, hingga yang idealistik mengekspresikan sisi individunalisnya. Inilah tanda keberagaman yang unik dalam tubuh ‘bayi montok’ komik Indonesia.
Kondisi kelahiran komik pertama Indonesia dibandingkan dengan renesans komik Indonesia saat ini, akan terdapat sedikit banyak persamaan, yakni kondisi sosial politik tanah air yang sedang tidak menentu. Jika melirik tahun 1930-an sebagai tahun kelahiran komik strip sebagai komik Indonesia yang pertama, bisa kita lihat bahwa yang namanya bangsa Indonesia belumlah lahir, resminya perjuangan kemerdekaan bangsa baru diperoleh tahun 1945 dengan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia. Lima puluh delapan tahun sebelumnya, komik Indonesia telah berjuang melalui kisah-kisah yang memberi penyadaran bagi masyarakatnya akan kondisi dan status kebangsaan yang masih terjajah. Sekarang setelah melewati rentang waktu separuh abad lebih, bangsa Indonesia mengalami kondisi kebangsaan yang tidak jauh berbeda tapi dalam bentuk dan pola yang tak lagi sama.
Reformasi yang bergulir di saat mana perekonomian nasional terpuruk, kemudian terjadinya disintegrasi bangsa dan morat-maritnya perpolitikan menambah buruknya kondisi sosial kemasyarakatan di tanah air, sudah menjadi berita umum yang tak kunjung usai di negeri ini. Beberapa penerbitan komik sempat juga ada yang mengupas kejadian-kejadian sejak era reformasi sempat bermunculan, seperti Jakarta 2030, komik-komik tokoh reformasi Amien Rais, Gus Dur dan Megawati, dan Sukab Intel Melayu. Namun komik-komik ini gaungnya tidak terasa seperti komik strip jaman dahulu, kondisi dan situasi yang ada sudah berbeda jauh, dimana sekarang ini perhatian orang-orang pada komik-komik seperti itu tentu tergusur oleh gegap-gempitanya beragam komik terjemahan yang menawarkan bermacam variasi untuk lari dari realitas yang sedang terjadi disekeliling. Kisah-kisah percintaan, superhero, horor, fantasi, sains fiksi dan imajinasi cukup menggoda kesadaran kebanyakan khalayak pembaca komik dan para perupa komik. Beberapa komik pun tampak seperti pelarian frustasi dari perupanya, atau juga menjadi media menuangkan impian-impian hidup. Untuk itulah tema komik S.O.S Aceh menjadi sasaran sebagai tema pokok lomba komik di PKAN. Mungkin ada harapan untuk mengetuk pintu kesadaran para pembaca dan perupa komik yang mungkin letih dengan segala persoalan dalam negeri, untuk memberikan sedikit kepeduliannya sebagai bagian dari bangsa yang sedang dalam kondisi kritis ini melalui media komik.
Rimba perkomikkan Indonesia, masa kini dan harapan di masa mendatang.
Penggunaan anonim ‘rimba’ bagi dunia perkomikkan Indonesia, hanyalah sebuah keisengan belaka dalam memandang wajah perkomikkan nasional. Perkomikkan di Indonesia masih terlihat seperti sebuah rimba raya yang belum terjelajahi sepenuhnya. Setelah ditinggalkan stagnan selama lebih kurang dua dekade sejak berakhirnya kejayaan komik nasional di tahun 70-an, perkomikkan Indonesia laksana sebuah hutan hilang yang mulai kembali dipapaki oleh para penjelajahnya. Rimba ini belum dikenali seutuhnya, ada penjelajah yang menyelesuri pinggirannya, ada yang mencoba menerobos ke dalam kelebatannya, ada yang mulai membangun koloni baru di lahan yang baru dibuka, dan masih banyak yang hanya memandang angker dari jauh saja.
Belum adanya aturan-aturan main yang baku yang dikhususkan bagi penerbitan komik, dimana ada sebagian penerbitan memperlakukannya sama seperti penerbitan buku-buku lainnya, ada pula yang mencoba membangun kerjasamanya. Pola kerja yang beragam yang masing-masingnya sedang dalam proses pencarian bentuk-bentuk kerjasama yang lebih sesuai dengan keadaan, memberi warna pada penggarapan komik-komik lokal. Ada yang bekerja dibawah naungan sebuah penerbitan dengan membawa misi tertentu, ada yang menjalin hubungan dengan organisasi nirlaba, ada yang mengerjakan sendiri, ada yang berkelompok, untuk kemudian mengajukannya pada penerbit. Selain itu ada pula yang berada di luar sistem penerbitan umum, dengan membangun jaringan dan pada akhirnya mulai melahirkan komunitasnya tersendiri. Yang perlu menjadi perhatian disini adalah sebuah komik bisa eksis bila ada perupa atau artis komik yang bertekad untuk mengerjakannya dan sebuah komik juga butuh penggemar yang apresiatif agar eksistensinya bergulir. Selain itu penting pula bagi insan perkomikkan nasional untuk saling membangun dan mempersiapkan landasan pijak bagi penjelajah baru yang ingin masuk dan meramaikan rimba belantara perkomikkan Indonesia yang masih lapang dan asri ini.
Sekian banyak adanya tanggapan-tanggapan yang positif, selayaknya diambil perhatiannya oleh para perupa komik dan juga pembacanya. Mengkonsumsi komik ibaratnya menikmati cemilan sembari bersantai di sofa. Bukanlah kebiasaan umum bila ditemui orang membaca komik dengan serius seperti membaca buku terori tekstual. Serumit apapun sebuah komik diolah, orang-orang selalu ingin menikmatinya dengan tanpa beban mental tertentu. Karena itu literer dalam komik diupayakan jauh dari kesan ‘menggurui’, namun tidak berarti komik bisa dipandang sebelah mata dalam membentuk mentalitas pembacanya. Justru sebagai salah satu bacaan yang termasuk pertama-tama dilahap oleh anak-anak usia sekolah, komik mempunyai peran dan pengaruh yang seharusnya diperhatikan, supaya tidak timbul sikap prejudis yang tidak-tidak melimpahkan kesalahan pada media baca komik.Komik merupakan cemilan yang harusnya dijaga baik-baik oleh para perupanya dari berbagai segi. Dari segi kualitas cerita misalnya, pengarang cerita komik sebaiknya memperhatikan alur cerita dan logika pengembangan karakter tokoh-tokohnya, karena hal itu dapat mempengaruhi pola dan logika berpikir para pembaca. Dari segi kualitas gambar ilustrasinya, bila memungkinkan para perupa komik bisa berkesempatan melatih apresiasi kesenian dari pembaca. Berpadunya cerita dan gambar, teks dan ilustrasi, dalam sebuah komik yang baik, tentunya melatih dua sisi berpikir, baik kreatif maupun rasional pembaca. Dengan mengasah ketrampilan bertutur cerita dengan gambar seperti ini, para perupa komik tentunya akan mendapatkan tempatnya tersendiri dan akibatnya karya komik pun semakin dihargai oleh masyarakat umum.
Hal-hal tersebut diatas, bukanlah merupakan sebuah beban yang harus dilimpahkan kepada mereka yang baru memasuki rimba perkomikkan Indonesia, tapi cukuplah diletakkan di depan pintu kesadaran masing-masing, biarlah mereka memungutnya sendiri kelak ketika terjun sebagai profesional dalam bidang komik ini dan sudah dapat mengambil sikap yang bagaimana dalam menekuni bidang profesi yang dipilihnya ini. Untuk dapat bersaing kelak, komik-komik yang diciptakan di dalam rimba perkomikkan nasional harus mempunyai nilai-nilai (value) yang ditambahkan didalam kreasi komik-komiknya. Nilai-nilai tambah ini akan mendukung nilai jual tanpa harus terikat dengan kondisi pasar yang sudah ada, karena tujuannya bukan sekedar seberapa besar kuantitas jumlah komik lokal yang ada di pasaran, tapi seberapa dalam menciptakan kecintaan pembaca pada karya komik lokal yang dipandang sebagai produk yang berkualitas. Sebagian pendapat menyebutnya dengan istilah dalam pemasaran ‘positioning’ dan ‘branding’ komik Indonesia. Hal ini bukan pula merupakan sebuah kemutlakan karena terjadi pula tarik ulur antara urgensi kebutuhan pasar dengan nilai yang ingin ditambahkan ke dalam sebuah komik. Disitulah menariknya bila kita membaca ‘wajah’ komik Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, yang masih menjadi perdebatan terbuka.
Lepas dari masalah pengaruh mempengaruhi, bila kita membaca ‘wajah’ komik Indonesia kini, akan mudah kita temui berbagai cerapan langgam yang dianggap memenuhi standar kualitatif komik yang dinilai bagus. Pada terbitan Elex Media Komputindo, kita dapatkan sebagian besar komik Indonesia mengacu pada standar genre manga(jepang), pada m&c kita temui komik Indonesia berlanggam amerika, dan pada Mizan dengan berbagai divisi turunannya akan kita dapati eksplorasi beragam langgam dari yang kartun eropa hingga semi realis. Belakang hari ini tidak sedikit penerbitan yang mencoba masuk ke kancah rimba perkomikkan Indonesia dengan mengusung nilai standar komiknya masing-masing. Penerbitan ulang yang di beri sentuhan di sana-sini dari karya-karya komik klasik Indonesia pun turut menyemarakkan ‘wajah’ komik ini. Pergerakan komik-komik alternatif yang membawa pandangan baiknya tersendiri pun semakin menambahkan warna pada ‘wajah’ komik Indonesia.
Penutup.
Dari beragamnya sumber-sumber inspirasi dan standar kebagusan komik-komik kreasi perupa komik lokal, kita berharap akan munculnya keunikan-keunikan bertutur cerita lewat gambar yang khas masing-masing individu. Kekhasan masing-masing individu menggali, menemukan, mengekpresikan verbal maupun visual niscaya akan menumbuhkan citra dan cita rasa komik Indonesia yang khas, yang mampu mandiri di negeri sendiri. Bila selama ini identitas selalu diidentikkan dengan ciri ‘yang satu’, maka identitas komik Indonesia melihat latar belakangnya yang kaya, yang mungkin terjadi hanyalah identitas dengan ciri ‘yang banyak’ atau ‘yang lain-lain’. Identitas dan ciri khas komik Indonesia tak selamanya harus satu, karena Indonesia sendiri bukanlah satu tapi banyak.
Baiklah, mari lupakan semua yang sudah diceritakan di atas, buang jauh-jauh semua yang ada dipikiran masing-masing dan mulailah mengambil pena dan kertas polos. Mulailah membuat komik pertama Anda, tanpa berpikir apa-apa tentang cerita, tentang gaya gambar, tentang ciri, bahkan tentang apa itu komik. Lupakan juga apa yang baru Anda baca ini. Biarkan yang ada hanya pena, diri Anda, dan kertas polos. Kita adalah ‘komik’ itu sendiri, kita adalah kisah ‘komik’ itu, kita jugalah gambaran ‘komik’ itu. Dan biarkan diri kita menghilang dalam ‘komik’, sampai yang tersisa hanyalah ‘komik’, tak ada sesiapa pun, tak juga Anda. Selamat Ngomik!
DAFTAR PUSTAKA
1. Ajidarma, Seno Gumira, Palestine atawa Jurnalisme Komik, AIKON, 2002.
2. Arthur Asa Berger, Signs in Contemporary Culture: An Introduction to Semiotics, penj. M. Dwi Marianto, Penerbit Tiara Wacana, Yogya, 1984
3. Atmowiloto, arswendo: Komik dan Kebudayaan Nasional, Jurnal Analisis Kebudayaan, 1982.
4. Boneff, Marcel, Komik Indonesia, penj. Rahayu S. Hidayat, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 1998.
5. Budiman, Agung Arif, Majalah Infotekno, Edisi 10 thn. 2, Jakarta, 2002.
6. Eisner, Will, Comics and Sequential Art, Poorhouse Press, 2000.
7. Eisner, Will, Graphic Stroytelling, Poorhouse Press, 2000.
8. Franz, Kurt, dan Bernhard Meier, Membina minat baca, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 1994.
9. H. McGynn, John, Indonesian Heritage: Visual Art, Archipelago Press, Singapore, 1999.
10. Hart, Christopher, Drawing Cutting Edge Comics, Watson-Guptil Publications, 2001.
11. Horn, Maurice(ed.), The World Encyclopedia of Comics, Chelsea House Publisher, Philadelphia,U.S, 1998.
12. Hugh Honour & Ian Fleming, A World History of Art, Laurence King Publishing, 1999.
13. McCloud, Scott, Understanding Comics: The Invisible Art, HarperPerrenial, 1994.
14. O’Neil, Dennis, The DC Comics Guide to Writing Comics, Watson-Guptil Publications, 2001.
15. Sabin, Roger, Comics, Comix and Graphic Novels: A History of Comic Art, Phaidon Press Limited, 1996.
16. Sidharta, Myra, Jakarta Through The Eyes of ‘Ko Put On’.
17. Smith, Andy, Drawing Dynamic Comics, Watson-Guptil Publications, 2000.
18. Taryadi, alfons(ed.), Buku dalam Indonesia Baru, Yayasan Obor Indonesia dan The Japan Foundation, Jakarta, 1999.
19. The Society for the Study of Manga Techniqiues, How to Draw Manga: Volume 3, 2001.
20. Varnedoe, Kirk. “Comics,” High and Low: Popular Culture and Modern Art, Thames & Hudson, 1996.