Dimanakah Batas Komikus dan Seniman?
Bagi Anda penggemar komik Indonesia, tentu kenal dengan karakter fiksi “Si Juki” karya Faza Meonk. Alih-alih digambar dengan menggunakan sarung atau blangkon, Faza justru menggambar tokoh utama komiknya sebagai seorang mahasiswa dengan gigi tonggos yang kerap bersikap ‘slengean’ tapi selalu hoki.
Narasi komiknya yang penuh humor dan dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, terbukti mampu menarik minat pembaca Indonesia. Meski gaya menggambar dan narasinya jauh berbeda dengan gaya komik asal Jepang ataupun Amerika yang telah menginvasi Indonesia sejak 1980-an. Itulah wujud komik modern Indonesia saat ini.
“Identitas komik Indonesia tak melulu harus dikaitkan dengan tradisi ataupun budaya lokal. Yang terpenting adalah komikus-komikus Indonesia harus mampu membangun karakter komiknya sendiri agar mendapatkan posisi di pasar industri kreatif tanah air,” kata Hikmat Darmawan, dosen tamu di Institut Kesenian Jakarta dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Indonesia, dalam acara ‘Art Talk #1 Comics’ yang digelar oleh Center for Art & Design – Universitas Surya, 16 Januari 2014.
Dan, karakter fiksi karya Faza adalah salah satu contoh sukses. Gaya menggambarnya tidak perlu ke-manga-mangan ala komik Jepang, kisahnya pun tak harus super hero ala komik Amerika.
Lalu, dimana posisi komik dalam dunia seni rupa Indonesia? Hikmat – yang pernah meraih penghargaan Asian Public Intellectual Fellowship atas penelitiannya tentang identitas nasional gambar-gambar komik di beberapa negara Asia seperti Jepang, Thailand, dan Indonesia – menjelaskan, perkembangan komik Indonesia sangat dipengaruhi oleh gaya menggambar komik Jepang dan Amerika.
Kedua negara itu telah menjadi kiblat utama komik-komik Indonesia. Meski, jauh sebelumnya yakni sekitar tahun 1929-an hingga 1930-an, masyarakat Indonesia sebenarnya telah mengenal komik melalui karya Kho Wan Gie dengan karakter utama “Si Put On”.
Dalam perkembangannya, komik Indonesia pun terbagi menjadi dua – mengikuti gaya manga Jepang atau goresan kuat ala komik Amerika yang kerap mengangkat kisah superhero. Sekitar 1955, gaya kebarat-baratan ini sempat ditolak oleh para pecinta buku Indonesia karena dianggab tak sesuai dengan karakter Indonesia. Sejak itulah, baru mulai muncul komik-komik dengan tokoh lokal yang diambil dari kisah perwayangan ataupun cerita rakyat.
Tak seperti Jepang yang meniadakan batasan antara seni manga dan anime dengan aliran seni rupa lainnya, Indonesia justru masih kesulitan menempatkan posisi karya-karya para komikus di ranah seni rupanya. Pada akhirnya, fenomena yang muncul adalah banyak seniman yang kemudian memanfaatkan karakter dan unsur-unsur komik sebagai karyanya.
Tren ini dimulai oleh seniman-seniman ‘pop art’ asal Amerika seperti Roy Lichtenstein, Andy Warhoal, Jasper Johns, dan James Rosenquist, yang membagi kanvasnya menjadi sejumlah panel layaknya buku-buku komik. Mereka bahkan menggunakan balon-balon kalimat yang menjadi ciri khas sebuah komik.
Di Indonesia, salah satu seniman ternama yang menggunakan metode serupa adalah Bambang “Toko” Witjaksono. Seniman lulusan desain grafis dari Fakultas Seni Rupa dan Desain-Institut Seni Rupa (ISI) Yogyakarta ini, juga mengadaptasi gaya komik yang menggunakan warna-warna kontras bergaya vintage, garis-garis hitam yang membentuk panel, dan gambaran-gambaran figur yang terinspirasi komik-komik barat.
Lalu, apakah perkembangan itu menjadi kunci penegas masuknya gaya komik kedalam seni rupa Indonesia? Hikmah menyangkalnya, karena menurutnya perkembangan komik berada di jalur yang berbeda dengan seni rupa. Meski akan ada kemungkinan, pembauran yang terjadi saat ini pada akhirnya akan mengkerucut melahirkan aliran seni rupa baru.
Sumber: http://www.sarasvati.co.id/acara-seni/01/dimanakah-batas-komikus-dan-seniman/