Memoar Apotik Komik
oleh Kuss Indarto
Apotik
Komik menutup hikayat. Tak ada air mata. Tiada tangis sedu-sedan untuk melepas
kepergiannya. Seremoni penamatan riwayat komunitas seni rupa yang cukup populer
dan fenomenal di Yogyakarta ini dilangsungkan dengan peluncuran buku tentang
proyek seni mereka, Sama-Sama/Together, di Jogja Gallery, Sabtu malam, 7
Oktober 2006. Buku tersebut memuat teks dan foto dokumentasi proyek
Sama-Sama/Together antara Apotik Komik dan CAMP (Clarion Alley Mural Project)
San Fransisco yang berlangsung di Yogyakarta dan San Fransisco tahun 2003 lalu.
Sayang
forum itu tidak dihadiri secara lengkap oleh personal inti Apotik Komik. Hanya
Samuel Indratma dan Ari Diyanto. Sementara eksponen lain yang mengawali
pembentukan kelompok tersebut pada April 1997, Bambang Wicaksono dan Popok Tri
Wahyudi, tak nampak. Diskusi kecil yang menyertai peluncuran buku itu pun
relatif tidak cukup serius. Penuh celotehan, saling ledek, dan guyonan
sekenanya yang menimpali tiap personal Apotik Komik atawa peserta diskusi yang
tengah unjuk bicara.
Bubarnya
Apotik Komik, secara de facto, sebenarnya telah terjadi sekitar dua
tahun lalu. Setidaknya ditandai dengan keberangkatan Samuel Indratma seorang
diri ke Taipei Biennalle Oktober 2004 yang waktu itu bertema kuratorial “Do
You Believe in Reality”. Ini menjadi penanda pamungkas atas pemakaian label
komunitas tersebut dalam forum-forum (resmi) seni rupa.
Lalu,
adakah makna yang masih bisa dijumput dari tutup bukunya Apotik Komik ini?
Bubarnya
sebuah komunitas seni rupa niscaya sesuatu yang lumrah, di manapun di dunia.
Fakta ini tentu bukanlah titik pembenaran bagi kemungkinan bubarnya
kelompok-kelompok lain yang saat ini tengah mengukuhkan kekuatan. Apalagi bagi
yang belum memberi kontribusi bagi kepentingan internal kelompok bersangkutan.
Terlebih bila mampu menginspirasi atau menorehkan sumbangan terhadap eksternal
kelompok.
Apotik
Komik sendiri – yang dulu memberangkatkan diri sebagai komunitas dengan
ketertarikan terhadap jagat komik – dalam perjalanannya yang tidak genap satu
dasawarsa, telah begitu identik dengan mural (lukisan di dinding) yang menempel
pada tembok-tembok kota Yogyakarta. Tak pelak, ini berkait dengan proyek
seninya yang fenomenal, Sama-Sama yang berlangsung mulai tahun 2002.
Diawali dari pembuatan mural di tubuh jembatan layang Lempuyangan, lalu menebar
ke banyak kawasan. Pemilik otoritas kota pun melegitimasi aksi kreatif ini
dengan perizinan. Dari situlah kemudian, publik ditulari oleh demam muralisasi
tembok-tembok kosong dan kumuh yang ada di kampung-kampung di seantero kota.
Wajah sebagian tembok kota Yogyakarta – yang ‘mengutuk’ diri sebagai kota seni
budaya ini – menjadi marak penuh warna. Mural-mural dengan beragam karakter itu
sedikit banyak telah menguatkan atmosfir kota Yogyakarta sebagai kota budaya.
Kiranya,
muralisasi tembok-tembok kota yang digarap secara simultan oleh seniman bersama
masyarakat ‘awam’ tersebut telah menggeserkan pemahaman dari aksi (dengan
tendensi) estetik menjadi aksi (atau bahkan gerakan) sosial – meski dalam
besaran yang terbatas. Memang ini jelas masih jauh dari skala dan implikasi
sosial atas gerakan serupa yang terjadi di Chicago, Amerika Serikat lewat
gerakan Wall of Respect (1967) atau Wall of Choice (1970) yang
digerakkan oleh seniman dan publik yang tergabung dalam the Organization for
Black American Culture (OBAC). Gerakan muralisasi di Chicago itu memang kuat
berdimensi sosial politis karena dipicu oleh isu diskriminasi rasial. Atau
capaian kreatif mural di Yogyakarta itu belumlah se-spektakuler karya mural The
Great Wall of Los Angeles yang membentang sepanjang setengah mil di Lembah
San Fernando, LA, AS. Mereka jelas belum sebanding monumentalitasnya ketimbang
karya-karya mural Diego Rivera atawa Jose Orozco.
Namun
untuk konteks Indonesia, capaian seniman Apotik Komik tersebut dapat dimaknai
dalam beberapa hal penting. Pertama, sebagai upaya popularisasi karya seni.
Nilai lebih ini adalah upaya seniman mural untuk sekaligus melakukan proyek
demistifikasi seni (Eva Cockcroft, John Weber dalam Toward a People’s Art,
1998). Aksi semacam ini mencoba meruntuhkan jagat ‘takhayul’ atas karya seni
rupa yang – dalam perspektif masyarakat – telah masuk dalam perangkap stereotip
sebagai “harus indah, molek, bersih, dan tak bisa disentuh” seperti halnya
lukisan-lukisan di atas kanvas di ruang galeri komersial yang rapi dan dalam
siraman kilauan cahaya lampu spot. Atau pemahaman bahwa karya seni hanya bisa
dilahirkan oleh orang yang diberi legitimasi akademis dan sosial sebagai
seniman. Lewat medium mural, kini semua warga memiliki hak kreatif untuk
membuat karya seni sekaligus menyalurkan opini sebagai hak sosial-politiknya.
Dengan demikian, mural telah menjadi galeri terbuka yang bisa menyuarakan
kepentingan publik.
Kedua,
mural diasumsikan menjadi jembatan atas upaya estetisasi ruang publik kota.
Dalam konteks Yogyakarta, upaya ini telah memotong kecenderungan baku selama
ini bahwa pemilik otoritas kota secara ex officio adalah juga penentu,
pemilik dan pengelola tunggal keindahan kota secara keseluruhan. Ini merupakan
wujud otoritarianisme tersendiri, yang antara lain terealisasi dengan proyek
tamanisasi, potisasi dan kembarmayang-isasi yang kaku, norak, seragam, berbiaya
mahal dengan menyingkirkan keberagaman dan partisipasi publik. Maka, mural
hadir dalam kapasitasnya untuk memberi alternatif lain tentang konsep keindahan
kota yang telah dipatok secara kaku dan stereotip. Di sinilah kiranya letak
nilai moral pada mural: menawarkan proses penyadaran dan pendewasaan terhadap
penguasa kota untuk menghargai keberagaman, dan mengajarkan tentang penghematan
dana publik.
Ketiga,
berkait dengan hal di atas, kehadiran mural di berbagai sudut kota telah
memberi persuasi sekaligus upaya pembelajaran yang efektif kepada para
penggrafiti liar untuk berbagi ruang. Dengan demikian kemunculan crime art atau
street art (antara lain berbentuk graffiti) di berbagai sudut kota
sedikit banyak bisa saling mengisi secara mutualistik dengan kehadiran mural.
Mural relatif tidak merusak fasilitas kota atau milik perorangan karena dibuat
secara terbuka dengan perizinan.
Keempat,
secara pelahan maraknya kehadiran mural telah mendudukkannya sebagai simbol
tempat (symbol of place). Yogyakarta tambah lagi julukannya, sebagai
kota mural. Lebih dari itu, beberapa mural di kota ini telah membentuk dan
menjadi sistem tanda untuk mengidentifikasi sebuah lokasi tertentu. Hal ini tak
lepas dari tingkat akomodasi yang memadai dari masyarakat dan sebagian pemilik
otoritas kota Yogyakarta untuk menerima mural. Berbeda, misalnya, dengan pemda
Jakarta (dan mungkin kota-kota lain) yang justru alergi dan kemudian memutihkan
kembali tembok-tembok kota yang bermural.
Warisan
almarhum Apotik Komik yang paling berharga saya kira bukan saja fisik mural
yang masih menempel di tembok-tembok kota Yogyakarta. Namun perkara mental dan
kesadaran untuk memiliki sense of art bagi sebagian masyarakat
Yogyakarta atas kotanya pantas dipresiasi lebih lanjut. Ke depan, pekerjaan
rumah yang menanti adalah perkara teknis seperti maintenance (perawatan) atas
karya yang kurang diagendakan dengan baik. Juga perkara “pencurian” beberapa
tembok-tembok kota oleh pemilik kapital besar yang menghapus mural seniman atau
warga dan kemudian menggantinya dengan mural produk-produk rokok dan lainnya.
Ini problem mental rakus dan nggragas yang telah laten mengaliri urat
syaraf para pedagang dan birokrat kita. Inilah tugas bersama seluruh masyarakat
untuk mengontrol moral mereka. Termasuk lewat mural.
Selamat
tinggal, Apotik Komik!
(Tulisan
ini telah dimuat di harian Kompas,
Minggu 22 Oktober 2006 halaman 29)
|