Background

Identitas dan Konstruksi Komik Indonesia

"Perkata identitas seperti menjadi wacana ”laten” yang menyelusup hampir di setiap diskusi atau obrolan santai di antara komunitas komik"

Ada sebagian orang yang merasa gelisah ingin mencari sebuah "rumah" yang bernama "Indonesia". Sebagian lagi tidak terlalu mementingkan hal itu karena sudah merasa sebagai warga dunia. Tulisan ini juga tidak berkeinginan untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Hanya ingin mengurai dua kubu pemikiran yang selama ini beradu pandangan mengenai permasalahan identitas. Hal lain karena identitas adalah sesuatu yang tak pernah berhenti, final, dan tuntas. Stuart Hall menyebutnya sebagai "sesuatu yang tak pernah sempurna, selalu dalam proses dan selalu dibangun dari dalam".

Beberapa pertanyaan di seputar identitas

Seberapa pentingkah identitas? Atau, adakah sesuatu tanpa identitas? Apa sih identitas itu? Coba kita bayangkan, adakah sesuatu yang tanpa nama. Sesuatu yang biasa menyembunyikan identitasnya. Agen rahasia sekali pun ternyata ber-inisial. Misalnya, Mr. Q, M, atau kode 007. Itu berarti beridentitas juga!

Atau mungkin, adakah sesuatu yang disebut sebagai sesuatu atau bukan sesuatu. Mungkinkah? Karena sesuatu di luar dirinya akan menamakannya dengan sesuatu dan memasukkannya ke dalam suatu kategori sesuatu. Sesuatu tidak pernah berdiri sendiri, sesuatu di luar dirinya selalu akan melempar dirinya pada kategori-kategori: nama, jenis kelamin, bahasa, agama, dan lain-lainnya.

Dalam proses tersebut, banyak negara yang telah mencoba menggali dan memaknai kata komik dengan istilahnya sendiri. Kita boleh iri pada beberapa negara di Asia, kita kenal Manga (Jepang), Manhwa (Cina), dan Manwa (Korea). Di belahan Eropa, orang Prancis menyebut komik dengan Bande Desinee (yang kurang lebih berarti mendesain panel komik) atau orang Spanyol menyebutnya Te Be Os. Di Italia lain lagi, mereka menyebutnya Fumetti (asap kecil, diambil dari pemaknaan balon teks pada komik yang menyerupai asap). Kita pernah mencoba menamai komik dengan cergam atau cerita bergambar, tetapi istilah itu sering kali dan sangat mudah disalahtafsirkan dengan picture books (buku cerita bergambar) yang tidak memiliki karakter sequential sekaligus meleburnya kata dan gambar seperti layaknya media komik.

Seberapa penting identitas itu? Ketika kita mendengar kata Manga, tentu dengan cepat kita dapat mengasosiasikannya dengan komik yang berasal dari negara Jepang. Berarti, identitas memberikan “kejelasan” tentang apa dan siapa kita. Kejelasan? Bagaimana dengan kondisi global dan karut-marut budaya sekarang ini? Misalnya, kaum laki-laki yang merasa dirinya perempuan dan kategori vice versa-nya, atau bahasa yang kini tidak lagi menjadi identitas. Ketika dunia mengglobal, seseorang dapat menguasai bahasa yang bukan bahasa ibunya, dengan menguasai banyak bahasa. Dalam situasi ini, muncul identitas-identitas alternatif dan mendapat tempat dalam sebuah logika permainan bahasa, tanda, dan simbol. Sebenarnya seseorang tetap berada pada proses dan mencari formasi identitasnya masing-masing untuk menjadi apa dan siapa. Begitu juga komik Indonesia.

Dua bentuk pemikiran yang berkembang di seputar identitas

Ada kelompok yang merasa punya rumah atau setidaknya punya “imajinasi” tentang rumah, sebuah tempat buat mereka untuk pulang. Kesadaran ini yang kemudian melatarbelakangi sikap mereka ketika dihadapkan pada sebuah "identitas kultural" lain.

Di lain pihak muncul kelompok yang homeless, di mana pun tempat yang mereka anggap menarik untuk disinggahi itulah rumah bagi mereka. Mereka lahir tanpa menanggung beban emosional untuk terikat pada sebuah “rumah” kultural tertentu untuk kembali. Generasi ini dilahirkan dalam atmosfer yang telah diuniversalkan oleh modernitas. Intensi interaksi dengan dunia luar sudah terbangun sejak dini. Bahkan, sebagian dari mereka sejak kecil sudah dibiasakan memakai bahasa asing.

Upaya mencari keindonesiaan santer disuarakan oleh kelompok yang pertama, yang rata-rata masih sangat dekat dengan ranah tradisi. Hal ini dipengaruhi oleh faktor geografis (tempat mereka tinggal masih kental tradisi tempatan) atau faktor semangat zaman (rata-rata telah berumur), mereka masih sempat merasakan berkobarnya semangat nasionalisme dan masa-masa kejayaan komik Indonesia. Karena itu sangat bisa dipahami kalau hal yang menarik bagi mereka, terutama yang bersifat lokal. Tetapi di sisi lain, kelompok ini cenderung menutup diri terhadap hal-hal yang baru, terutama yang mereka anggap bertentangan dengan pandangan mereka.

Kelompok kedua, boleh disebut kelompok nothing to loose. Mereka dibesarkan di kota-kota yang telah diuniversalkan modernitas. Mereka adalah warga dunia yang dibesarkan di antara gedung-gedung pencakar langit yang sama dan sebangun dengan gedung-gedung di Tokyo ataupun New York. Mereka tumbuh di antara banjirnya komik-komik luar, seperti Manga ataupun American style. Hal yang patut dihargai adalah mereka telah terbiasa dengan pola industri, sangat cair dalam berinteraksi dengan dunia global, dan sangat receptive terhadap hal-hal yang baru, terutama yang menyangkut teknologi. Tetapi di sisi lain mereka tidak terlalu paham potensi lokal.

Mengonstruksi identitas komik Indonesia

Membincangkan identitas, berarti juga membicarakan persoalan "kejelasan". Hal itu berimplikasi pada “kecerdikan” kita dalam memosisikan komik Indonesia di antara mazhab-mazhab komik dunia. "Differentiate or Die" sebuah rumus marketing Al Ries mempertegas hal itu. Kejelasan identitas komik Indonesia dapat digali dari hal-hal yang bersifat lokal, dalam pengembangannya dapat menjadi tema cerita, membangun karakter tokoh, ploting cerita, sudut pandang atau cara pandang dalam story telling, dan lain sebagainya. Kita dapat menggali potensi-potensi ini dari halaman rumah kita sendiri. Rumus sederhananya adalah ketika kita berbeda, kita akan dilirik oleh orang lain. Untuk mempermudah kita dilirik oleh komunitas komik dunia dibutuhkan kepiawaian kita dalam berinteraksi di dunia global. Sarana dan prasarana, termasuk infrastruktur dalam industri komik, plus teknologi yang mendukung sangat membantu proses interaksi tersebut.

Idealnya dalam mengonstruksi kembali identitas komik Indonesia, dibutuhkan orang-orang “anomali” yang mampu berempati terhadap kedua kelompok di atas. Kita dapat mengambil contoh dari kesuksesan seorang Garin Nugroho di dunia film. Film-filmnya mendapat apresiasi yang sangat baik di dunia internasional karena menampilkan khazanah lokal Indonesia. Dengan beda dan kualitas yang setingkat dalam proses produksinya, Garin mendapat posisinya sendiri dalam perfilman dunia. Dengan berpikir terbuka, mau belajar dan mengadopsi hal-hal yang baru dalam industri maupun teknologi, juga mau menggali potensi lokal yang kita miliki akan membuka jalan bagi konstruksi awal identitas komik Indonesia.***

Triyadi Guntur W.
Dosen dan peneliti komunikasi visual


Categories: Share

Leave a Reply