Background

Perkembangan Komik Asia di Comiconnexions


Sejumlah komikus Eropa dan Asia bertemu di Comiconnexions. Membahas perkembangan komik mutakhir di dua benua.


Nama aslinya Vebi Surya Wibawa. Tapi nama populer komikus asal Malang itu adalah Vebi Djenggoten. Pria berambut gondrong dan berjenggot ini meluncurkan buku komik berjudul 101% Cinta Indonesia dalam festival Comiconnexions di Goethe Institut, Jakarta, Sabtu pekan lalu.
Festival komik ini diisi dengan berbagai acara, dari peluncuran buku komik, diskusi manga, hingga pasar komik. Acara ini berlangsung selama 8-23 September di Jakarta dan 10-22 September di Institut Seni Indonesia, Bantul, Yogyakarta. Selain Vebi, beberapa komikus Indonesia juga merilis komik terbarunya di ajang ini, seperti Faza Meonk, Ahmad Zeni, Risza A. Perdana, Tony Trax, dan Mice.

Vebi, lulusan Jurusan Arsitektur Universitas Brawijaya Malang, baru lima tahun menjadi komikus. Buku komik debutnya, Aku Berfacebook Maka Aku Ada (2009), dicetak ulang dengan judul dan penerbit berbeda. Pada 2011 dia merilis 33 Pesan Nabi: Jaga Mata, Jaga Telinga, Jaga Mulut. Di situ dia membuat tafsir visual 33 hadis Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari.
Tahun ini Vebi membuat 101% Cinta Indonesia. Ini adalah komik yang banyak mengolok-olok fenomena politik, sosial dan ekonomi Indonesia. Misalnya, soal krisis lagu anak, cinta damai antara polisi dan pengendara motor yang ditilang, sinetron yang mudah ditiru anak-anak, motor menyerobot pedestrian, atau toilet umum berbayar.

Comiconnexions merupakan ajang pertemuan seniman komik dari Prancis, Jerman, Indonesia, dan Singapura, setelah selama ini mereka hanya berkenalan lewat dunia maya. Pengamat komik Surjorimba Suroto dan Imansyah Lubis ditunjuk sebagai kurator utama festival yang sudah dimulai pada November tahun lalu itu. Ada 20 karya komikus Indonesia yang dipamerkan di sana, seperti karya Is Yuniarto, Ariela Kirstantina, Galang Tirtakusuma, dan Azisa Noor. Dari Jerman hadir Martin Tom Dieck, Sascha Hommer, Ulf K, Mawil, dan Henning Wagenbreth.

Festival ini juga membahas perkembangan komik di Asia Tenggara, seperti yang dibawakan para pembicara dalam diskusi bertema “Southeast Asian, German, and French Comic Now”, Sabtu pekan lalu. Diskusi itu menghadirkan dua komikus Jerman, Sascha Hommer dan Mawil; Sylvain Coissard, agen penerbit komik dari Prancis; Lim Cheng Tju dari Singapura; dan pengamat komik Indonesia, Hikmat Darmawan.

Sascha Hommer dan Mawil dianggap sebagai model generasi komik Eropa. Hommer adalah lulusan seni ilustrasi di Hamburg. “Saya datang ke Hamburg dan ingin ambil bagian dan berkarya di majalah mahasiswa yang bagus,” katanya. Sayangnya, inisiatif pribadi membuat komik harus dikedepankan, sehingga dia merilis antologi komik berjudul Orang, yang berisi cerita-cerita pribadinya dengan nama samaran Pascal D.Bohr.

Lalu dia mendirikan penerbit Kikipost bersama Arne Bellstorf pada 2004. Sejak 2007 dia membuat komik strip Im Museum di koran Frankfurter Rundschau bersama Jan-Frederk Bandel. Kini, selain Berlin, Hamburg menjadi kelompok komikus paling aktif dan menarik, sehingga pameran dan publikasi komiknya mampu menarik perhatian dunia internasional.

Dalam komiknya, Hommer membuat seruan halus dan suasana lembut, yang membuat tutur kisahnya menjadi sangat mengesankan dan berbekas. Dia, misalnya menghadirkan tokoh bertubuh kecil dan gempal dengan kepala yang terlalu besar dan berpenampilan aneh. Dengan cara itu dia ingin menunjukkan empatinya terhadap orang tersingkir dan terbuang dari masyarakat. “Pecundang selalu menarik. Orang membaca ketika orang lain dalam keadaan susah,” katanya menyebut tokoh komik Charlie Brown, si Peanut, dalam karya Charlie M.Schulz, komikus Amerika Serikat.

Mawil atau Markus Witzel, komikus asal Berlin, dianggap komikus yang sukses. Gaya penuturannya jujur dan memukau dalam mengungkapkan perjalanan pengalaman pribadinya. Di perguruan tinggi seni Weibensee, dia bersama enam teman kuliahnya mendirikan kelompok komik Monogatari – diambil dari kata dalam bahasa Jepang yang artinya menuturkan cerita. Mereka meluncurkan komik hasil karya sendiri di penerbit pribadi, seperti Alltagsspionage (Spionase Sehari-hari). Setiap penulis membuat komik bertema Berlin yang individual dalam kata dan ilustrasi.

Profesor pembimbing Mawil menyukai cerita Wie wir uns mal, ne 3er WG suchen wollten (Bagaimana Kita Mencari Apartemen sebagai Tempat Kos untuk 3 Orang Penghuni) dan menerima tugas akhir skripsinya, Wir koennen ja Freunde bleiben (Kita Kan Bisa Tetap Bersahabat) (2003), sebuah episode humor dan ironi diri sendiri dalam kisah cinta bertepuk sebelah tangan. Mawil meraih penghargaan Independen Comic 2007 sebagai komik independen terbaik lewat Meister Lampe, yang menggambarkan generasi usia awal 20-an yang mencari jati diri.

Sylvian Coissard, pemilik perusahaan penerbitan komik asal Prancis, menuturkan bahwa komikus Eropa lebih suka menampilkan karyanya di majalah. Sedangkan komikus Asia kerap menampilkan karyanya di surat kabar. Komik Eropa pada 1980-an lebih sastrawi dan bentuknya dewasa, tapi kini trennya lebih ke bentuk novel grafis.

Di Jerman ada gejala perpindahan dari Hamburg ke Berlin untuk mengisi lapangan pekerjaan komikus. Sedangkan di Indonesia, menurut Hikmat Darmawan, pergerakan komikus yang populer hanya dari kota-kota tertentu. “Ada perubahan budaya koleksi, yang mempengaruhi pesatnya komik di Indonesia,” kata Hikmat.

Menurut dia, budaya koleksi itu didorong oleh meningkatnya konsumsi masyarakat pada 1980, sehingga industri penerbit besar maju dan berani menerbitkan komik anak-anak. Pada 1980-1998, orang tua mewariskan minat mengoleksi komik kepada anak-anaknya, sehingga terjadi pola konsumsi budaya pop. Di masa 1980-an, komik Indonesia yang berjaya tidak diterima karena dinilai sebagai bacaan kaum buruh atau orang jalanan. Era kejatuhan Soeharto yang juga ditandai dengan terbitnya komik yang dibuat dengan kepentingan pemain politik yang membutuhkan corong suara. Maka lahirlah komik politik, seperti komik Amien Rais dan Megawati. “Ini genre baru dan tidak ada resiko bisnisnya,” kata dia.

Pada tahun 1998 juga lahir bom kreativitas yang melahirkan komik porno, menyentil politik, dan memaki-maki pemerintah terdahulu sebagai perayaan kebebasan baru. Sampai era 2000 komik Indonesia beraneka ragam, tapi pasarnya miskin. Dunia komik masa ini juga ditandai dengan kelahiran para komikus perempuan seperti Curhat Tita karya Tita Larasati.

Namun, ancaman organisasi masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu telah membuat sensor masyarakat dan menjadi horor baru bagi komikus. “Komik Indonesia telah hilang kedewasaannya dan steril dari gambar dewasa, misalnya menggambarkan sepasang kekasih pacaran atau ciuman,” ujar Hikmat.

Sementara itu, komikus Singapura, Lim, mengatakan komik itu multidimensional dan harus memuat edukasi bagi masyarakat. Menurut dia, komikus Singapura, yang lebih banyak bermain aman, sebaiknya harus belajar lebih banyak dari generasi komik yang lebih muda, tua dan para komikus negara tetangga.

Lim menjadi editor Liquid City, sebuah buku kompilasi komik terbitan Image Comics yang berisi karya komikus Asia Tenggara. Di edisi kedua Liquid City, Sheila Rooswitha, menyumbangkan komiknya dan Surjorimba Suroto membuat esai. Menurut rencana Beng Rahadian akan mengisi di edisi ketiga.

sumber : http://syakieb-sungkar.blogspot.com/2012/09/perkembangan-komik-asia-di.html

Categories: Share

Leave a Reply