KOMIK TAK PERNAH MATI
oleh Donny Anggoro
dipublikasikan di harian Sinar Harapan, 16 Oktober 2004
Komik
Indonesia boleh saja mengalami masa surut sejak 1980-an. Komik
Indonesia boleh saja kalah pamor dengan serbuan komik asing, terutama
komik manga dan produk-produk anime dari Jepang. Komik Indonesia juga
boleh saja sulit diproduksi sehingga banyak penerbit lebih suka
menerbitkan komik impor. Di tengah-tengah gempuran demikian, komik
Indonesia diam-diam terus menggeliat, terutama gerakan komik
underground.
Sekitar tahun 1994 komik Indonesia bangkit walau tampaknya masih
terengah-engah dengan munculnya komik Rama-Shita: Legenda Masa Depan dan komik Imperium Majapahit oleh Jan Mintaraga. November 1995 ada Caroq oleh Thoriq dari Studio Qomik Nasional dan Awatar Comics oleh Doddy Wisnuwardhana.
Ajang komik nasional seperti Pekan Komik Nasional juga kerap kali
digelar, walau tak bisa setiap tahun secara rutin dilangsungkan. Tahun
2003 komik M&C! divisi Gramedia menerbitkan sekaligus tiga judul
produk komik lokal yaitu Alakazam (Donny), Dua Warna (Alfi ”Sekte Komik” Zachkyelle) dan Tomat (Rachmat Riyadi).
Dua
tiga tahun terakhir ini, seiring dengan geliat penerbitan buku-buku dan
media alternatif (bulletin, newsletter, community magazine, dan e-zine)
di Yogyakarta dan Bandung, dua kota tempat perkembangan cultural
studiesnya sedang memuncak, bermunculan terbitan-terbitan komik
underground mewarnai jejak perjalanan sejarah komik Indonesia.
Beng Rahadian, satu dari komikus muda generasi komikus underground Indonesia macam Ahmad ”Sukribo” Ismail, Agung ”komikaze” Arif Budiman, Wahyu, dan lain-lain tak gentar membuat komik bertajuk Selamat Pagi Urbaz terbitan Terrant Books yang baru saja sukses mendulang keuntungan dari penerbitan novel Eiffel, I’m in Love.
Di
Yogya muncul antologi komik bertajuk Subversi Komik yang terbit sejak
Mei 2004. Antologi komik ini berusaha menghimpun karya komikus muda
pejuang komik underground seperti Ahmad ”Sukribo” Ismail, Agung
”komikaze” Arif Budiman, Wahyu, Windu dan lain-lain. Uniknya, Subversi
Komik ini benar-benar sebuah produk yang tak hanya digagas sebagai wadah
kreativitas dan lahan publikasi komik underground saja, melainkan
sekaligus digagas sebagai representasi kritik terhadap pemerintah yang
telah nyata gagal menangani problem sosial bernama kemiskinan.
Di Bandung terbit komik Bangor karya Raditya Eka Permana.
Komik bergaya kartun setengah manga ini begitu sarat dengan idiom-idiom
slang khas Bandung. Selain itu terbit pula komik Wanter yang bergaya
surealis mirip karya komikus Peter Kuper karya Dodi Rosadi (sayangnya
tak jelas komik ini diterbitkan di Bandung atau Yogya). Ada juga komik
SC (Super Condom) yang begitu nyeleneh karena secara fisik komik ini
dibuat dalam format kecil, mirip bungkus permen. Penerbit Indira yang
semula hanya dikenal menerbitkan komik impor dengan serial Tintin
sebagai produk andalannya pada tahun ini juga ikut menerbitkan Dave
Salamander komik lokal karya Tunjung Rukmo dan Denny Djoenad.
Produk-produk independen semacam ini bergeliat di toko-toko buku
komunitas (disebut ”distro”) selain ada juga yang menempuh jalur
distribusi toko buku umum seperti Subversi Komik, Selamat Pagi Urbaz,
Caroq, dan lain-lain.
Perjalanan komik pun tak hanya kepada
format komik saja. Majalah komik IndiComic Handbook yang merupakan hasil
kerja bareng berbagai komunitas komik underground seperti MKI
(Masyarakat Komik Indonesia), Indietown, Titikberat, dan lain-lain juga
terbit. Majalah yang formatnya tak sekedar etalase komik karya komikus
underground ini juga berisikan artikel, resensi, dan ulasan komik. Tak
lama kemudian, terbit pula majalah komik Wizard Indonesia yang merupakan
franchise majalah komik Amerika, Wizard. Walau majalah franchise ini
notabene mengandung artikel impor, Wizard Indonesia juga menyediakan
rubrik khusus berupa ulasan komik lokal sebagai upaya mendukung
tumbuhnya perkembangan komik underground Indonesia.
***
Mengamati
perkembangan komik lokal yang diteruskan oleh para ”pejuang
underground” memang menggembirakan walau sekaligus menyimpan kecemasan.
Menggembirakan karena menghasilkan produk dari pelbagai komunitas komik
seperti Sekte Komik, Daging Tumbuh, Apotik Komik, Studio’9, dan lainnya,
tapi mencemaskan karena karya yang ada rata-rata masih gagal secara
apresiatif.
Para komikus yang rata-rata ”bersembunyi” dalam
profesi lain misalnya animator film-film iklan, desainer grafis, dan
ilustrator buku/majalah notabene masih kurang mengeksplorasi kemampuan
terbaiknya dalam menghasilkan komik. Alhasil, komik yang ada cenderung
senada (kebanyakan bergaya manga dan anime Jepang). Atau ketika
mengeksplorasi gaya lain, misalnya kartun atau komik Eropa-Amerika,
tetap saja terjerembab pada kemiskinan bercerita sehingga walau unggul
secara visual tapi gagal secara naratif.
Semangat kreator yang
sejatinya terbuka pada pemikiran dan aspek-aspek lain, misalnya sastra
(yang begitu dekat dengan hakikat bercerita) jarang muncul sehingga
karya yang dihasilkan kurang mampu diapresiasi dari perspektif lain. Ini
memang bukan hal yang mudah. Namun, sejarah komik Indonesia pernah
menghasilkan komikus-komikus dengan semangat kreator. Sebutlah R.A
Kosasih yang dengan komik wayangnya adalah bukti keberhasilan dia
meretas bidang lain, yaitu sejarah dan filsafat wayang setelah
pencapaian visual.
Ada juga Put On di harian Sin Po (terbit tahun
1931) karya Sopoiku alias Kho Wang Ghie yang merupakan bibit awal komik
strip pertama di Indonesia. Put On adalah keberhasilan Kho Wang Ghie
mengangkat suasana karikatural penduduk kota yang diwujudkan dalam tokoh
Put On yang selalu sial tapi baik hati. Suasana karikatural yang
ditangkap Kho Wang Ghie dalam karyanya mengandung kekuatan aspek
sosiologis. Sama halnya dengan Kosasih, inilah kekuatan komikus lokal
kita dalam merepresentasikan aspek lain setelah teknik visual.
Kosasih
dan Kho Wang Ghie adalah sebagian kecil kekuatan semangat kreator dari
sejarah komik nasional kita. Masih banyak nama lain seperti Teguh
Santosa, Ganes Th., Hans Jaladara (sejarah), Hasmi dan Wid N.S (fiksi
ilmiah), Dwi Koendoro (sejarah/sosiologi/ wayang simbolis), GM Sudarta,
Rachmat Riyadi (sosiologi/imajiner/karikatural) dan lain-lain.
***
Bukan
hal mudah jika para komikus hanya menghasilkan karya yang notabene
kurang berpotensi menjadi karya besar. Para komikus umumnya bekerja
sendiri karena komiknya dikerjakan di luar rutinitasnya sebagai pekerja.
Kehidupan dalam komunitas komik sendiri juga belum berani membuka diri
terhadap disiplin ilmu lain. Iklim sosiologis yang kurang bersahabat
dengan produk komik juga menjadi kendala sehingga tak ada lagi yang
berani menggantungkan hidupnya hanya dengan membuat komik. Serbuan komik
impor sendiri juga melulu dianggap sebagai musuh, bukan sebagai kajian
apalagi acuan mengapa produk impor dapat unggul secara kuantitas dan
kualitas.
Tumbuhnya gerakan komik underground di Indonesia memang
belum sebanding dengan yang pernah terjadi di Amerika, walau bukan
berarti tak ada harapan suatu saat karya komik lokal kita unggul setelah
pencapaian visual.
Sejarah komik underground Amerika menghasilkan
komik-komik yang apresiatif karena juga terinspirasi pada gerakan flower
generation yang antiperang (Vietnam) sebagai representasi ketidakpuasan
masyarakat terhadap kemiskinan. Produk gerakan underground lain yang
paling terkenal dan masih terbit sampai sekarang adalah majalah komik
MAD besutan Harvey Kurtzman. Majalah ini mengutamakan semangat parodi
yang diilhami dari kejadian aktual sehari-hari dari pelbagai sudut
pandang, mulai dari sosial, politik, dan budaya.
Gerakan komik
underground ini makin berkembang dengan menghasilkan karya yang tak
hanya menjadi media alternatif saja, melainkan muncul pula komik-komik
yang sangat mengutamakan kebebasan berpikir. Komik-komik ini mampu
diapresiasi lebih luas, terutama untuk pembaca dewasa seperti seri Heavy
Metal atau produk komik keluaran Fantagraphics yang sangat menonjolkan
erotisme, komik seri Fables yang meretas kisah antara dongeng, parodi,
dan sastra sampai komik jurnalistik karya Joe Sacco (sudah diterjemahkan
di Indonesia) yang mampu pula meraih penghargaan prestisius di luar
komik.
***
Pada masa kini walau gerakan komik underground
Indonesia masih belum menghasilkan karya-karya yang layak secara
apresiatif sejatinya masih menyisakan harapan bahwa perjuangan dengan
cita-cita menegakkan kembali jayanya komik nasional tak pernah surut.
Kendala-kendala yang ada hendaknya membuka harapan perkembangan komik
lokal kita menuju masa depan lebih cerah.
Tumbuhnya pelbagai
komunitas komik underground Indonesia sebagai representasi perlawanan
terbitnya komik impor adalah indikasi kegairahan itu sehingga bukan tak
mungkin suatu saat dapat menjadi seperti perlawanan yang dilakukan
komunitas komik underground di Amerika, yaitu berhasil menjadi gerakan
yang sekaligus unggul secara kualitas.
Semangat kreator yang terbuka
pada berbagai pemikiran hendaklah digali lebih luas sehingga komik
nasional suatu saat benar-benar mampu berdiri tegak secara kualitas, tak
hanya menjadi letupan kecil semata. Semoga.