Oleh Donny Anggoro*
Komik Indonesia boleh saja mengalami masa surut sejak 1980-an. Komik Indonesia boleh saja kalah pamor dengan serbuan komik asing, terutama komik manga dan produk-produk anime dari
Jepang. Komik Indonesia juga boleh saja sulit diproduksi sehingga
banyak penerbit lebih suka menerbitkan komik impor. Di tengah-tengah
gempuran demikian, komik Indonesia diam-diam terus menggeliat, terutama
gerakan komik underground.
Sekitar tahun 1994 komik Indonesia bangkit walau nampaknya masih terengah-engah dengan munculnya komik Rama-ShiTa:Legenda Masa Depan dan komik Imperium Majapahit oleh Gen Mintaraga. November 1995 ada Caroq oleh Thoriq dari Studio Qomik Nasional dan Awatar Comics oleh Doddy Wisnuwardhana. Even komik nasional seperti Pekan Komik Nasional
juga kerap kali digelar, walau tak bisa setiap tahun secara rutin
dilangsungkan. Tahun 2003 komik M&C! divisi Gramedia menerbitkan 3
judul sekaligus produk komik lokal yaitu Alakazam (Donny), Dua Warna (Alfi “Sekte Komik“ Zachkyelle) dan Tomat (Rachmat Riyadi).
Dua tiga tahun terakhir ini, seiring dengan geliat penerbitan buku-buku dan media alternatif (bulletin, newsletter, community magazine, dan e-zine) di Yogyakarta dan Bandung, dua kota dimana perkembangan cultural studiesnya sedang memuncak bermunculan terbitan-terbitan komik underground mewarnai jejak perjalanan sejarah komik Indonesia.
Beng Rahadian, satu dari komikus muda generasi komikus underground Indonesia macam Ahmad “Sukribo” Ismail, Agung “komikaze” Arif Budiman, Wahyu, dan lain-lain tak gentar membuat komik bertajuk Selamat Pagi Urbaz terbitan Terrant Books yang baru saja sukses mendulang keuntungan dari penerbitan novel Eiffel, I’m in Love.
Di Yogya muncul antologi komik bertajuk Subversi Komik yang terbit sejak Mei 2004. Antologi komik ini berusaha menghimpun karya komikus muda pejuang komik underground seperti Ahmad “Sukribo” Ismail, Agung “komikaze” Arif Budiman, Wahyu, Windu dan lain-lain. Uniknya, Subversi Komik ini benar-benar sebuah produk yang tak hanya digagas sebagai wadah kreativitas dan lahan publikasi komik underground
saja melainkan sekaligus digagas sebagai representasi kritik terhadap
pemerintah yang telah nyata gagal menangani problem sosial bernama
kemiskinan.
Di Bandung terbit komik Bangor karya Raditya Eka Permana. Komik bergaya kartun setengah manga ini begitu sarat dengan idiom-idiom slang khas Bandung. Selain itu terbit pula komik Wanter
yang bergaya surealis mirip karya komikus Peter Kuper karya Dodi Rosadi
(sayangnya tak jelas komik ini diterbitkan di Bandung atau Yogya). Ada
juga komik SC (Super Condom) yang begitu nyeleneh Penerbit
Indira yang semula hanya dikenal menerbitkan komik impor dengan serial
Tintin sebagai produk andalannya pada tahun ini juga ikut menerbitkan Dave Salamander komik lokal karya Tunjung Rukmo dan Denny Djoenad.
Produk-produk independen semacam ini bergeliat di toko-toko buku
komunitas (disebut “distro”) selain ada juga yang menempuh jalur
distribusi toko buku umum seperti Subversi Komik, Selamat Pagi Urbaz, Caroq, dan lain-lain. karena secara fisik komik ini dibuat dalam format kecil, mirip bungkus permen.
Perjalanan komik pun tak hanya kepada format komik saja. Majalah komik IndiComic Handbook yang merupakan hasil kerja bareng berbagai komunitas komik underground
seperti MKI (Masyarakat Komik Indonesia), Indietown, Titikberat, dan
lain-lain juga terbit. Majalah yang formatnya tak sekedar etalase komik
karya komikus underground ini juga berisikan artikel, resensi, dan ulasan komik. Tak lama kemudian, terbit pula majalah komik Wizard Indonesia yang merupakan franchise majalah komik Amerika, Wizard. Walau majalah franchise ini notabene mengandung artikel impor, Wizard Indonesia juga menyediakan rubrik khusus berupa ulasan komik lokal sebagai upaya mendukung tumbuhnya perkembangan komik underground Indonesia.
***
Mengamati perkembangan komik lokal yang diteruskan oleh para “pejuang underground”
memang menggembirakan walau sekaligus menyimpan kecemasan.
Menggembirakan karena menghasilkan produk dari pelbagai komunitas komik
seperti Sekte Komik, Daging Tumbuh, Apotik Komik, Studio’9, dan lainnya,
tapi mencemaskan karena karya yang ada rata-rata masih gagal secara
apresiatif.
Para
komikus yang rata-rata “bersembunyi” dalam profesi lain misalnya
animator film-film iklan, desainer grafis, dan illustrator buku/majalah
notabene masih kurang mengeksplorasi kemampuan terbaiknya dalam
menghasilkan komik. Alhasil, komik yang ada cenderung senada (kebanyakan
bergaya manga dan anime Jepang). Atau ketika
mengeksplorasi gaya lain, misalnya kartun atau komik Eropa-Amerika,
tetap saja terjerembab pada kemiskinan bercerita sehingga walau unggul
secara visual tapi gagal secara naratif.
Semangat
kreator yang sejatinya terbuka pada pemikiran dan aspek-aspek lain,
misalnya sastra (yang begitu dekat dengan hakikat bercerita) jarang
muncul sehingga karya yang dihasilkan kurang mampu diapresiasi dari
perspektif lain. Ini memang bukan hal yang mudah. Namun, sejarah komik
Indonesia pernah menghasilkan komikus-komikus dengan semangat kreator.
Sebutlah R.A Kosasih yang dengan komik wayangnya adalah bukti
keberhasilan dia meretas bidang lain, yaitu sejarah dan filsafat wayang
setelah pencapaian visual.
Ada juga Put On di harian Sin Po (terbit tahun 1931) karya Sopoiku alias Kho Wang Ghie yang merupakan bibit awal komik strip pertama di Indonesia. Put OnPut On
yang selalu sial tapi baik hati. Suasana karikatural yang ditangkap Kho
Wang Ghie dalam karyanya mengandung kekuatan aspek sosiologis. Sama
halnya dengan Kosasih, inilah kekuatan komikus lokal kita dalam
merepresentasikan aspek lain setelah teknik visual. adalah keberhasilan Kho Wang Ghie mengangkat suasana karikatural penduduk kota yang diwujudkan dalam tokoh
Kosasih
dan Kho Wang Ghie adalah sebagian kecil kekuatan semangat kreator dari
sejarah komik nasional kita. Masih banyak nama lain seperti Teguh
Santosa, Ganes Th., Hans Jaladara (sejarah), Hasmi dan Wid N.S (fiksi
ilmiah), Dwi Koendoro (sejarah/sosiologi/wayang simbolis), GM Sudarta,
Rachmat Riyadi (sosiologi/imajiner/karikatural) dan lain-lain.
***
Bukan
hal mudah jika para komikus hanya menghasilkan karya yang notabene
kurang berpotensi menjadi karya besar. Para komikus umumnya bekerja
sendiri karena komiknya dikerjakan di luar rutinitasnya sebagai pekerja.
Kehidupan dalam komunitas komik sendiri juga belum berani membuka diri
terhadap disiplin ilmu lain. Iklim sosiologis yang kurang bersahabat
dengan produk komik juga menjadi kendala sehingga tak ada lagi yang
berani menggantungkan hidupnya hanya dengan membuat komik. Serbuan komik
impor sendiri juga melulu dianggap sebagai musuh, bukan sebagai kajian
apalagi acuan mengapa produk impor dapat unggul secara kuantitas dan
kualitas.
Tumbuhnya gerakan komik underground
di Indonesia memang belum sebanding dengan yang pernah terjadi di
Amerika, walau bukan berarti tak ada harapan suatu saat karya komik
lokal kita unggul setelah pencapaian visual.
Sejarah komik underground Amerika menghasilkan komik-komik yang apresiatif karena juga terinspirasi pada gerakan flower generation yang anti perang (Vietnam) sebagai reperestasi ketidakpuasan masyarakat terhadap kemiskinan. Produk gerakan underground lain yang paling terkenal dan masih terbit sampai sekarang adalah majalah komik MAD besutan
Harvey Kurtzman. Majalah ini mengutamakan semangat parodi yang diilhami
dari kejadian aktual sehari-hari dari pelbagai sudut pandang mulai dari
sosial, politik, dan budaya.
Gerakan komik underground
ini makin berkembang dengan menghasilkan karya yang tak hanya menjadi
media alternatif saja, melainkan muncul pula komik-komik yang sangat
mengutamakan kebebasan berpikir. Komik-komik ini mampu diapresiasi lebih
luas, terutama untuk pembaca dewasa seperti seri Heavy Metal atau produk komik keluaran Fantagraphics yang sangat menonjolkan erotisme, komik seri Fables yang
meretas kisah antara dongeng, parodi, dan sastra sampai komik
jurnalistik karya Joe Sacco (sudah diterjemahkan di Indonesia) yang
mampu pula meraih penghargaan prestisius di luar komik.
***
Pada masa kini walau gerakan komik underground
Indonesia masih belum menghasilkan karya-karya yang layak secara
apresiatif sejatinya masih menyisakan harapan bahwa perjuangan dengan
cita-cita menegakkan kembali jayanya komik nasional tak pernah surut.
Kendala-kendala yang ada hendaknya membuka harapan perkembangan komik
lokal kita menuju masa depan lebih cerah.
Tumbuhnya pelbagai komunitas komik underground
Indonesia sebagai representasi perlawanan terbitnya komik impor adalah
indikasi kegairahan itu sehingga bukan tak mungkin suatu saat dapat
menjadi seperti perlawanan yang dilakukan komunitas komik underground di Amerika, yaitu berhasil menjadi gerakan yang sekaligus unggul secara kualitas.
Semangat
kreator yang terbuka pada berbagai pemikiran hendaklah digali lebih
luas sehingga komik nasional suatu saat benar-benar mampu berdiri tegak
secara kualitas, tak hanya menjadi letupan kecil semata. Semoga. *
*) Editor sebuah penerbit dan pencinta komik, tinggal di Jakarta.
-------------------------------------------------------------
pernah dimuat di Sinar Harapan, 17 Oktober 2004
3 MANFAAT MEMILIH TOKOH HERO FAVORIT
Salah satunya, anak dapat mengembangkan daya imajinasi dan kreativitasnya
Beberapa
saat setelah film Spiderman II diluncurkan di bioskop-bioskop, banyak
orang tua mengeluh kalau anaknya merengek-rengek minta dibelikan baju
merah-biru bergambar jaring laba-laba ala tokoh superhero tersebut. Tak
hanya sampai di situ, dengan baju tersebut, mereka seakan-akan dapat
berubah menjadi "sakti" sehingga sering berciiiat-ciaat
dan melompat-lompat tanpa kenal tempat. "Saat di mal, anakku yang
sedang mengenakan baju Spiderman, tiba-tiba berteriak pada kakaknya
untuk mengajak lari karena Doc Oc (manusia gurita musuh Spiderman)
datang. 'Awas Doc Oc dateng...'
sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke arahku. Duh malunya. Apalagi
akibat teriakan kedua anakku itu, semua mata memandang ke arah kami!"
keluh seorang ibu.
Memang,
orang tua bisa jengkel, sebal, heran, kala si kecil mengikuti polah si
tokoh idola seharian. Bahkan tak jarang yang sampai bertanya, "Nih,
anak perlu dibawa ke psikolog enggak sih? Ciaaat... ciaat melulu tiap hari." Jawabannya: enggak perlu kok! Menurut Rosdiana S.Tarigan, M.Psi., MHPEd.,
suatu hal yang wajar kalau si batita punya tokoh hero atau tokoh yang
ia sukai, kagumi, dan idolakan. Hal ini berkaitan dengan perkembangan
otaknya yang sudah lebih mengerti pada apa yang ia lihat dan dengar
dari suatu kejadian yang ada di sekitar dirinya. Selain itu, mereka
juga mulai mempunyai kecenderungan akan sesuatu yang dia sukai dan
tidak. "Aku lebih suka Power Rangers daripada Ultraman. Soalnya helm
Ultraman berjambul sih," misal.
Yang
juga masih dalam batas kewajaran, si batita biasanya senang berulang
kali menonton film heronya atau berulang-ulang memakai baju bergambar
si tokoh hero tanpa mau diganti. "Pada usia ini, kesenangan anak pada
sesuatu masih terbatas. Jadi apa pun yang disuka akan dimintanya
berulang-ulang setiap hari. Memang terkesan agak berlebihan kalau
dilihat dari sudut pandang orang dewasa, tapi selama tak membahayakan
dirinya masih tetap wajar, kok," ujar psikolog dari Empaty Development
Center, Jakarta ini.
TAK HANYA YANG BERTOPENG
Yang perlu
diketahui, tokoh hero yang dikagumi batita tak sebatas tokoh yang jago
berkelahi dan bertopeng saja. Mereka bisa saja mengidolakan tokoh hewan
yang digambarkan sebagai jagoan seperti Simba, Nemo, atau Willy si
paus. Dapat juga tokoh yang digambarkan sebagai orang yang penyayang,
baik hati, atau cerdik. Sebutlah Tintin, tokoh hasil rekaan Herge.
Karakter tokoh berjambul ini malah diceritakan sebagai pria yang
antikekerasan, cerdik, baik hati, serta jujur.
Menurut
Diana, pengidolaan bisa muncul kapan saja pada setiap anak, saat ia
memiliki kesan mendalam pada figur tertentu. "Orang-orang terdekat bisa
juga menjadi tokoh hero bagi anak. Selain orang tua, bisa juga guru di
kelompok bermainnya, kakek, atau lainnya. Anak mengagumi guru mungkin
karena ia kerap diperlakukan dengan baik. Sedangkan ia terkesan pada
sang kakek, mungkin karena sering mendengar cerita tentang
kepahlawanannya sehingga memberi kebanggaan secara turun-temurun dalam
keluarga tersebut."
Uniknya,
kata Diana, pemilihan anak pada seorang tokoh idola tak kenal jender.
Dalam artian, si upik bisa saja gandrung pada Superman sementara si
buyung kagum pada kelincahan para Power Puff Girls. Hal ini sah-sah
saja. Justru Diana mengimbau orang tua agar jangan bias jender karena
baik anak perempuan dan laki-laki harus memiliki kesetaraan.
Pemujaan
pada seorang tokoh hero pun tak bisa dikatakan dapat menggambarkan
kepribadian anak. Jadi bukan berarti anak yang energik dan aktif pasti
suka tokoh yang macho,
misalnya. Bisa saja, ia menyukai figur yang lembut sifatnya.
"Pemilihan anak pada suatu tokoh hero lebih pada penggambaran norma
atau nilai yang dianut dalam lingkungan keluarganya. Jadi bukan pada
masalah kepribadiannya," ujar Diana.
HAL YANG MESTI DIWASPADAI
Hanya saja,
psikolog lulusan Universitas Indonesia ini mewanti-wanti agar orang tua
memantau siapa tokoh hero yang dikagumi si kecil. Jangan sampai anak
salah pilih; yang dikagumi justru tokoh antagonis yang punya karakter
buruk. Ini bisa saja terjadi, umpamanya, karena anak sering terekspos
film tentang penjahat sehingga dia berkeinginan jadi tokoh penjahat
tersebut. Meski demikian hindari mencela dan memarahinya. Lebih baik
jelaskan saja, "Dek, monster Org itu memang jago tapi dia jahat. Lihat
deh, dia jadi enggak punya teman kan? Sering dikejar-kejar Power Rangers
lagi!" Lalu berikan tokoh lain yang mempunyai sifat positif. "Kalau
Mama senang Putri Shiela karena sering menolong Power Rangers jika
sedang dalam kesulitan. Semua orang jadi sayang sama dia," misalnya.
Hal
lain yang patut dicermati juga mengenai implikasi pengidolaan, karena
bisa saja si kecil jadi meniru-niru perilaku tokoh pujaannya. Jika
Spiderman piawai memanjat gedung, si kecil pun akan coba-coba memanjat
dinding rumah. Si Upik yang memuja Barbie, mungkin akan meniru gaya
berpakaian bahkan rambut si boneka cantik ini. Nah, untuk soal ini,
menurut Diana, selama apa yang dilakukan anak tidak membahayakan,
biarkan ia meniru-niru sang idolanya itu. Kecuali tentu jika ia sudah
berbuat hal yang berisiko, semisal "terbang" dari jendela rumah karena
ingin seperti Superman. Memang tak mudah bagi orang tua untuk
mengatakan kepada si batita bahwa Superman hanya sekadar tokoh di film
yang sebenarnya tidak bisa terbang. Penjelasan seperti itu masih
terlalu kompleks diterima jalan pikirannya. Jadi cukup jelaskan, "Adek
kan bukan Superman. Kalau Adek loncat dari jendela bisa jatuh dan
kakinya bisa patah."
Namun, untuk menutup rasa penasaran anak akan sensasi terbang ala Superman, bisa juga, orang tua menciptakan suatu dramatic play.
Misal, mengajak anak tengkurap di atas bantal yang agak tinggi untuk
kemudian menggerakkan tangan dan kakinya seolah sedang terbang di suatu
ketinggian. Kalaupun si batita ingin meniru perilaku melompat atau
memanjat, mintalah ia melakukannya dari tempat yang tak terlalu tinggi
dan terjangkau. Namun, tetap dalam pengawasan orang tua atau orang
dewasa yang ada bersamanya.
MANFAAT TOKOH HERO
Jadi, saran Diana,
hindari meremehkan tokoh hero si kecil, apalagi dengan kata-kata
celaan, seperti, "Apa sih bagusnya Spiderman?" karena hal ini akan
dapat mematikan kreativitas dan inisiatifnya. Si kecil pun akan merasa
kurang kompeten dalam memilih sesuatu yang disukainya atau tokoh yang
diidolakannya. Kelak, rasa penghargaan terhadap dirinya tidak terbentuk
optimal.
Lagi pula jika si kecil memiliki tokoh hero, orang tua dapat memetik beberapa manfaat, yakni:
* Sebagai Media Penanaman Nilai. Adanya
pengidolaan anak pada tokoh hero dapat mempermudah orang tua dalam
memasukkan berbagai nilai-nilai kehidupan. "Spiderman itu sayang sama
anak baik yang mau meminjamkan temannya mainan," begitu misalnya.
* Panutan.
Umpamanya, saat anak sulit makan, kita dapat mengatakan, "Popeye jadi
kuat kan kalau makan bayam. Adek kalau makan bayam juga bisa jadi
jagoan."
* Menumbuhkan imajinasi.
Bila orang tua dapat mengolah rasa suka anak pada tokoh tertentu
menjadi suatu permainan yang imajinatif dan menyenangkan, maka
imajinasi anak pun bisa berkembang dengan baik. Umpamanya, "Kita buat
topeng kertas biar kayak Batman yuk!" Lalu apakah kesukaan anak akan
suatu tokoh hero akan berlanjut terus? Tidak juga kok. Menurut Diana,
dengan bertambahnya usia si kecil, tokoh hero ini bisa berganti. Namun
bisa juga tidak. Tergantung seberapa sering tokoh hero tersebut
terekspos dan bagaimana pola pikir anak nanti. Jika pengidolaannya pada
tokoh hero tersebut difasilitasi misalnya orang tua selalu membelikan
pernak-pernik yang berkaitan dengan tokoh itu termasuk buku dan filmnya
maka kesukaan anak pada idolanya bisa bertahan lama. Sebaliknya, bila
ekspos tokoh tersebut dan dukungan orang tua kurang, ditambah pola
pikir anak sudah lebih meningkat, kesukaannya akan tokoh hero itu hanya
sesaat. Toh, berlanjut atau tidak kesenangan si kecil pada tokoh
tertentu, hal ini normal saja.
TOKOH HERO "IMPOR" LEBIH LAKU
Anak
zaman sekarang cenderung lebih memilih tokoh hero "impor", seperti
Spiderman, Superman, Batman atau lainnya ketimbang tokoh hero made in
Indonesia sebutlah Gatot Kaca, Si Kancil, Diponegoro, Jendral Sudirman
dan lainnya. Mengapa? Karena umumnya tokoh hero lokal jarang sekali
terekspos media, baik media elektronik maupun cetak. Meskipun ada,
jumlah dan frekuensinya jauh lebih sedikit. Buku-buku cerita
kepahlawanan tokoh lokal pun dikemas kurang menarik.
Kalaupun
orang tua menceritakan kehebatan si tokoh, si kecil akan sulit
membayangkan sosok atau karakternya, karena dianggap terlalu abstrak.
Tak heran, jarang batita yang mengidolakan tokoh hero lokal. Kecuali
jika memang si tokoh punya kaitan langsung dalam keluarga, kakek,
umpamanya. Mau tak mau anak akan selalu mendengar cerita
kepahlawanannya dan bisa secara langsung melihat wajah si kakek dari
foto.
Sebaliknya,
lanjut Diana, tokoh hero impor banyak terekspos melalui berbagai
media, dari film hingga buku. Jika anak bisa melihatnya dengan lebih
detail; bagaimana wajah, karakter, dan gerak-geriknya, maka tokoh hero
tersebut akan lebih merasuk dalam dirinya.
Dedeh Kurniasih. Foto: Iman/nakita
Batman Mati
Jagoan tak selamanya hebat, adalah kenyataan yang sangat
manusiawi. Tapi sutradara mana yang mau menampilkan sosok jagoan yang
lemah, bahkan bisa mati oleh musuhnya? Hanya sutradara nye-leneh
tentunya. Dan sutradara macam itu hanya ada di dunia film indie.
Sandy Colora, sang sutradara nyeleneh itu, memfilmkan si Manusia
Kelelawar, Batman, dengan aroma yang sangat ngomik. Ia mencampur-adukkan
beberapa karak-ter yang muncul dalam film berbeda ke dalam satu screen.
“Batman Dead End”, film hasil garapannya itu, tampil dengan memikat
dan memuaskan banyak pecinta komik, terutama para fansnya Batman. Film
independent, memang bisa tampil dengan sangat kreatif, penuh dengan
semangat independensi.
Jadi, kalian pasti penasaran, kan, menyaksikan akhir kehidupan
jagoan berjubah yang senang kelayapan malam itu? Tonton aja segera film
yang berdurasi kurang-lebih 8 menit tersebut. Tapi jangan harap bisa
mendapatkannya di tempat penyewaan VCD. Kalian harus pergi ke warnet -
kalau tak punya koneksi inter-net di rumah - dan mendownloadnya dari
http://www.theforce.net/theater/shortfilms/batman_deadendRepot? Ya, begitulah kalau mau dapet barang bagus. [fitra]
Comics to Films
Tau nggak, seh, kalau seorang komikus sebetulnya merangkap
beberapa pe-kerjaan yang menyangkut produksi film sekaligus ketika
membuat sebuah komik?
Pertama, ketika membuat cerita untuk ko-miknya, ia melakukan
pekerjaan sebagi seorang script writer yang dituntut untuk mampu mebuat
cerita yang menarik. Sebelum dijadikan rang-kaian gambar, cerita
tersebut disusun menjadi skenario atau story line, yang berarti si
komikus telah melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan seorang penulis
skenario. Dan ketika skenario tersebut akan diubah menjadi rangkaian
gambar, si komikus harus pandai mencari angle atau sudut pandang yang
menarik agar gambar-gambar yang dibuatnya dalam rangkaian frame bisa
tampil ‘hidup’ dan dramatis, dan itu adalah pekerjaan yang biasa
dilakukan oleh seorang sutradara.
Sedangkan pembuatan sketsa gambar dan pewarnaan, adalah nilai plus
yang dimiliki oleh seorang komikus dimana keterampilan ini sering
digunakan dalam pembuatan story board untuk iklan atau kebutuhan
pembuatan ilustrasi lain-nya. Dalam komik, sering pula muncul
tokoh-tokoh dengan desain kostum yang unik dan tak jarang dijadikan
rancangan oleh para perancang mode, dan itu adalah pekerjaan yang biasa
dikerjakan oleh para perancang kostum.
Walau kebanyakan dalam pembuatan sebuah komik telah ada
penanggung-jawabnya sendiri-sendiri - seperti bagian pensil, bagian
pewar-naan, bagian teks, dikerjakan oleh orang yang berbeda - namun tak
jarang pula komikus yang melakukan semua pekerjaan tersebut seorang diri
alias kerja borongan.
Begitu banyak cerita fantastis yang tercipta dari dunia gambar
berturutan ini. Sebut saja Superman misalnya. Siapa yang tak kenal
ja-goan yang bisa terbang ini? Dari mulai anak kecil sampai orang tua
bangkotan, semua kenal atau bahkan menyukainya. Aksi-aksinya dalam
memberantas kejahatan dengan segala kedig-jayaan yang dimilikinya,
begitu asyik untuk dinik-mati. Tak heran bila kisah yang memikat itu
lantas menarik para produser film untuk mem-filmkannya.
Maka jagoan yang lahir pada tahun 1938 dari tangan Jerry Siegel dan
Joe Shuster pun lantas beralih dunia dari gambar mati di atas kertas
menjadi gambar hidup di atas film. Dari mulai serial TV sampai film
layar lebar. Bahkan sampai mengalami beberapa kali pembuatan ulang,
dengan Cristopher Reeve sebagai pemeran utama yang paling kita kenal.
Kiprah Superman di layar lebar lantas di ikuti rekan-rekan jagoan
lainnya, seperti Batman, Flash, Captain America, serta banyak lagi yang
lainnya.
Dan dalam waktu dekat akan tayang di bioskop beberapa film yang
diadaptasi dari komik, yaitu Hell Boy, si setan baik hati pemberantas
kejahat-an, The Punisher, manusia laba-laba alias Spiderman yang sudah
memasuki episode ke 2, Cat Woman, Fantastic Four, sampai si kucing lucu
Garfield.
Tak ketinggalan dengan Amerika, Jepang se-bagai negara di Asia
terkenal sebagai negara produsen komik atau yang dikenal dengan istilah
Manga. Segala masalah kehidupan hampir semuanya terwakili dalam
rangkaian gambar ter-sebut. Bahkan hampir semua komik Jepang dibarengi
dengan animasinya, dan biasanya ani-masi tersebut disutradarai langsung
oleh ko-mikusnya. Itulah salah satu alasan mengapa penerbit di Indonesia
lebih senang menerbitkan komik terjemahan dari negeri Matahari Terbit
tersebut; karena biayanya lebih murah, karena bisa mendapatkan satu
paket dengan animasinya.
Itu di Amerika dan di Jepang. Bagaimana dengan di Indonesia? Pada
tahun 80-an Indonesia pernah mengalami masa keemasan komik lokal. Ada
Panji Tengkorak karya Hans Jaladara, ada Si Buta dari Goa Hantu karya
Jan Mintaraga, serta jagoan-jagoan lokal lainnya yang sempat malang
melintang di tanah air. Setelah sukses dengan komik-komiknya, para
jagoan tersebut lantas beralih pula ke layar lebar. Lalu ketika dunia
sinetron mulai booming, maka kisahnya pun dijadikan sinetron.
Komik, bagi sebagian orang memang masih di-anggap sebagai media yang
hanya membuang waktu saja, hanya pantas dibaca oleh anak kecil. Tapi
justru dari pikiran anak kecil seperti itulah bisa muncul berbagai kisah
yang spektakuler.
Rizal Mantovani yang kini dikenal sebagai sutra-dara video klip
papan atas, mengawali karirnya dengan banyak membuat komik pesanan
orang. Komikus bisa saja memilih tetap menjadi komikus. Soal menjadi
sutradara, penulis cerita atau perancang kostum, itu adalah soal
pilihan. Tapi setidaknya, bagi kalian yang ingin berkecimpung di dunia
periklanan atau sinema-tografi, mengawalinya dari dunia komik mung-kin
bisa dijadikan sebuah pilihan [fitra]
SEBUAH KEGENITAN TEKNOLOGI
judul Taxi Blues
ilustrator Erwin Primaarya
cerita Seno Gumira Ajidarma
isi 32 hal.
penerbit Smart Reading Production, 2001
Satu lagi karya cerpen Seno Gumira Ajidarma dikomikkan pasca Jakarta
2039. Taxi Blues yang diambil berdasarkan antologi cerpen Seno Iblis
Tak Pernah Mati (penerbit Galang Press, 1999) kali ini dikomikkan oleh
ilustrator yang juga animator film iklan, Erwin Primaarya. Komik ini
mengisahkan perjalanan seorang sopir taksi menjumpai berbagai macam
karakter penumpangnya. Seperti cerpen aslinya komik ini mencoba
mengalihkan ke bahasa gambar keterasingan sopir taksi di tengah malam.
Dengan mengambil setting malam hari dengan lihai Erwin mendramatisir
cerpen Seno ini ke dalam suasana gerimis hujan (dalam cerpen aslinya
tidak digambarkan suasana hujan.)
Bukan sekedar komik biasa gambar-gambar dalam Taxi Blues versi Erwin
ini mengambil pendekatan layaknya aspek sinematografis sebuah film.
Gambar per gambarnya dibuat Erwin layaknya story board film. Bahkan
menurut ilustratornya sendiri sehabis membaca cerpen Taxi Blues ia
membuat gambar seakan sedang mengerjakan story boardnya. Komik ini juga
disertai cd-rom interaktif yang berisi sebagian proses di balik
pembuatan komik Taxi Blues mulai dari sket sampai beberapa gambar yang
dipertajam lewat shoot per adegan dengan teknik animasi. Warna-warna
biru yang dominan dalam komik ini berhasil menggambarkan kesuraman malam
cerpen Seno. Pewarnaan biru dan warna-warni lampu di background gambar
menurut ilustratorrnya terinsiprasi dari film Taxi Driver karya sineas
Martin Scorsese.
Sayang, kendati telah berhasil mempergunakan aspek sinematografis
serta komputerisasi yang begitu total terutama dalam pewarnaan, komik
ini jadinya terlalu genit sehingga nyaris melupakan garis-garis alamiah
di setiap karakter layaknya penggambaran komik. Bahkan dengan teknik
komputer komik ini jadinya terasa kurang manusiawi. Pembaca dihadapkan
pada gambar yang terlalu “wah” sehingga meninggalkan kesan hambar
setelah cerita ini selesai. Suasana keterasingan sopir taksi juga kurang
berhasil digambarkan sehingga di tangan Erwin ia hanya jadi semacam
tokoh utama biasa saja tanpa kesan.
Jika memang aspek komputerisasi yang ditonjolkan Erwin ada baiknya
ia mengambil cerita lain yang lebih panjang. Dengan cerita yang lebih
panjang (mungkin cerita macam komik Tapak Sakti, superhero berbagai
versi ala Batman atau wayang) cerita jadinya malah lebih hidup sehingga
pembaca lebih terserap imajinya dalam menikmati gambar bak membaca
komik-komik Amerika produk Detective Comics atau misalkan produk-produk
R.A Kosasih yang dipertajam lewat grafis komputer.
Jika yang terambil adalah cerita sependek ini komikus seharusnya
lebih mempertajam garis-garis penanya entah itu dalam penggambaran
karakter maupun pewarnaan. Tanpa bermaksud membandingkan, kekuatan
sebuah komik mau tak mau akhirnya kembali lagi pada teknis bukan pada
teknologi semata seperti yang dilakukan Asnar Zacky di komik Jakarta
2039. Namun sebagai pencapaian ide baru komik ini patut kita hargai
dalam upayanya mengisi dunia perkomikan Indonesia yang sampai saat ini
tak dipungkiri lagi masih tersingkir dengan produk luar negeri.[*]
DNA
Palestina, Cara Lain Membaca Konflik
Judul: Palestina, Duka Orang-Orang Terusir I & II (terjemahan)
Pengarang: Joe Sacco
Pengantar: Edward W. Said, Goenawan Mohamad
Penerjemah: Ary Nilandari
Editor: Salman Faridi
Penerbit: Fantagraphics Books, 2003/DAR Mizan, 2004
Isi: 150 hlm.
Di Indonesia nama Joe Sacco barangkali masih asing. Padahal, komikus
lulusan Universitas Oregon ini di Amerika tengah melenggang sendirian
sebagai satu-satunya penganut komik jurnalistik lewat karyanya yang
banyak dimuat di majalah Details, Time, dan Harper’s. Beruntunglah karya
peraih penghargaan Will Eisner Award untuk Best Original Graphic Novel
2001 kini dapat dinikmati pembaca Indonesia lewat Palestina, Duka
Orang-Orang Terusir yang diterbitkan DAR Mizan.
Dua serial komik Palestina menceritakan kisah perjalanan Joe Sacco
saat bertandang ke Palestina. Sejak kunjungan itu, Sacco yang dalam
perjalanannya ditemani fotografer asal Jepang, Saburo ia menggambar
daerah tersebut bak seorang fotografer merekam kehidupan masyarakat
Palestina dengan gejolak sosial politiknya.
Komik ini dibuka dengan perjalanan Sacco memasuki Kairo yang sumpek
dan bising. Kairo, adalah persinggahannya pertama sebelum Palestina.
Setibanya di hotel, ia bertemu dengan Shreef, seorang Muslim dan Taha
yang terang-terangan membenci Israel. Tiga minggu kemudian saat Sacco
berada di Nablus ingatannya melayang saat ia pergi ke Berlin dimana
hatinya tergugah ketika Kinghoffer, seorang Yahudi Amerika ditembak mati
oleh Front Pembebasan Palestina.
Pikiran Sacco terusik antara media Amerika yang demikian giatnya
mengulik kisah sensasional Klinghoffer yang terbunuh sedangkan Amerika
seperti tak peduli dengan masalah rakyat Palestina ketika warganya
terbunuh dalam serangan teroris. Hal demikian membulatkan hati Sacco
untuk pergi ke Palestina untuk melihat sendiri apa yang tengah terjadi
di sana.
Cerita lalu bergulir dalam petualangan Sacco di Palestina. Di sana
ia menyaksikan bangsa Israel yang mencerminkan sosok penguasa
sewenang-wenang sampai para aktivis perdamaian Palestina sendiri yang
mendukung hak-hak rakyat Palestina tampak begitu ragu, sehingga mereka
jadi sasaran kekecewaan. Sacco menyebutnya dengan nada sedikit sinis,
yaitu menyebutnya sebagai “pembicara manis” dan “menjerit seakan hidup
bergantung pada kerasnya jeritan”. (h. 20).
Lewat penggambarannya yang jenial Sacco memang menghadirkan nafas
baru dalam dua kubu yang berbeda, yaitu pengawinan antara komik sebagai
pijakan visual dan laporan jurnalistik sebagai landasan cerita. Walau
disajikan dalam bentuk komik memang perlu sedikit enerji lebih untuk
menikmatinya. Karya Sacco memang sebuah karya yang tidak umum.
Selain menyimak “plesirannya” kita juga dihadapkan pada studi
akademis dan historis. Misalnya di halaman 12, Sacco bercerita tentang
asal mula sejarah penyebaran Yahudi-Inggris dimana Lord Balfour
menandatangani deklarasi dan para zionis memperoleh komitmen Inggris,
yaitu Palestina untuk kaum Yahudi. Atau di halaman 42 ia bercerita
perihal keberadaan warga Palestina yang sudah terusir sejak Theodor
Herzl merumuskan Zionisme modern akhir tahun 1800-an, “Kita harus
memindahkan diam-diam populasi miskin itu ke luar perbatasan dengan
menciptakan pekerjaan untuknya di negara transit, sementara melarangnya
bekerja di negara kita sendiri.” Tapi mereka ada, benar-benar ada, dan
inilah mereka, anak-anak dan cucu mereka…tetap saja mereka
pengungsi…sudah basi, barangkali, setiap malam muncul dalam berita,
namun bagaimanapun, pengungsi…yang kukira berarti mereka menunggu untuk
pulang. Tapi, pulang ke mana? Nyaris 400 desa Palestina dihancurkan
Israel selama dan setelah perang tahun 48…warga Palestina yang melarikan
diri dinyatakan “tidak ada”…rumah dan tanah mereka dinyatakan
“ditinggalkan” atau “tidak diolah” dan diambil alih untuk pemukiman
Yahudi.
***
Bentuk pengisahan yang tak biasa dengan tiadanya tokoh super hero
laiknya komik membuat buku ini berbeda. Tak ada usaha mengkarikaturkan
hal-hal umum dengan maksud sedikit atau sekedar mengaburkan logika
seperti komik Asterix yang kaya dengan wawasan kultural tentang Yunani,
Tintin yang di beberapa serinya terlihat representasi Herge dalam
memandang situasi sosial politik di Cina, Mesir dan negara lain pun Dwi
Koendoro dengan Panji Koming yang mengulik topik aktual Indonesia
bergaya satir dalam balutan simbol budaya Jawa.
Ya, Sacco memang berada di sana semata hanya sebagai penonton. Ia
pun bukan seorang pengamat politik yang sedang menguji ilmu atawa
seniman yang tengah mencari ide lantas merepresentasikan pengalaman
dengan interpretasinya. Subyektivitas jelas ada, namun saat berada di
wilayah konflik terlihat tak ada usaha Sacco untuk melebihkan warga
Palestina sebagai pihak yang lemah atau menciptakan pahlawan sebagai
penyelamat. Tokoh utama dalam komik ini tak lain adalah Sacco sendiri
yang memang berada di sana sebagai reporter.
Kendati demikian, di luar segala aspek yang membuat komik ini begitu
sangat padat berisi hingga menjadi studi akademis (ahli dan pengamat
komik Amerika menyebutnya ‘novel grafis’) ia tak lupa menyelipkan humor
hingga pembaca tak lalu berkerut kening atau sekedar terpukau lewat
gambar-gambarnya yang menurut pengantar Goenawan Mohamad mengandung
“api” yang terpendam.
Di halaman 96 ia membagi pengalamannya tentang lelucon Palestina.
Lelucon ini menceritakan tiga agen rahasia, satu CIA, satu KGB dan satu
lagi Shin Bet, agen Israel. Masing-masing berlomba siapa tercepat
menangkap seekor kelinci yang dilepas ke hutan. Agen CIA pergi duluan
dan kembali dengan kelinci dalam 10 menit. Agen KGB kembali dengan
kelinci hanya dalam 5 menit. Begitu giliran agen Shin Bet, agen CIA dan
KGB menunggu hingga 40 menit. Mereka kemudian masuk hutan dan mencari
agen Israel itu. Begitu sampai di tengah hutan yang mereka lihat adalah
agen Shin Bet itu memaksa seekor keledai untuk mengaku sebagai kelinci!
Kejadian lucu juga terselip, misalnya ketika Sacco sedang memotret
korban penembakan dan bom di Nablus. Di bangsal-bangsal rumah sakit
Sacco memotret penderitaan mereka dengan hati iba. Di tengah keibaan
Sacco ada seorang anak kecil sengaja berpose menunjukkan kakinya yang
terbungkus gips dari tungkai ke paha sambil merengek padanya untuk
memotret lagi! (h.33)
Meski gambarnya tak berwarna, garis-garis dan arsirannya demikian
ekspresif. Di sinilah kekuatan lain dari Sacco sebagai komikus dengan
pijakan-pijakan visualnya yang eksotik (bahkan muram) menghanyutkan kita
seperti menonton adegan film. Lihatlah di buku kedua halaman 56, saat
Sacco menggambarkan kesaksian Firas, remaja belasan tahun yang bekerja
untuk Front Popular Pembebasan Palestina ketika ditangkap tentara
Israel. Firas yang terbaring di rumah sakit bersama 12 pasien kasus
Intifada lainnya disiksa tentara Israel. Adegan penyiksaan itu
digambarkan bertahap dari berbagai sudut pandang, seperti sudut pandang
kamera.
Sacco mampu meretas antara seni komik dan laporan jurnalistik
sehingga di tangannya komik menjadi medium tak kalah agungnya dengan
foto pun reportase yang ditulis dengan pendekataan sastra ala Tom Wolfe,
penulis buku The New Journalism (1973). Kala itu suratkabar Amerika
memakai elemen ini saat kecepatan televisi memicu mereka agar tampil
dengan laporan lebih dalam tak sekedar reportase.
Dalam sejarah komik, Tintin memang sudah mengawali pijakan “komik
jurnalistik” tersebut walau dikemas secara komikal dan karikatural.
Sedangkan Sacco lewat media komik bertutur laiknya intuisi fotografer
ulung yang menghasilkan gambar sama agungnya dengan foto pemenang World
Press Photo sekalipun (konon, ia mengerjakan Palestina selama 4 tahun).
Ia telah menaikan kelas komik sebagai karya seni realis yang mampu
menjadi kajian ilmu pengetahuan laksana cita-cita Scott Mc Cloud dalam
bukunya Understanding Comic (1993). Keunggulan ini membuatnya
dianugerahi penghargaan non komik seperti American Book Award 1996 atau
pujian Dasser H. Azuri, Profesor Ilmu Politik, Universitas Massachuttes
sebagai karya yang menunjukkan keahlian, wawasan dan empati serta dari
Journal of Palestinian Studies sebagai karya dokumenter terbaik.
Palestina sungguh berhasil sebagai cara lain kita dalam membaca
wilayah konflik dari dua sudut pandang sekaligus, komik dan jurnalistik
dengan jujur, apa adanya. Langkah penerbitan Palestina ini dari DAR
Mizan patut dihargai sebagai upaya memperkenalkan perspektif baru dalam
membaca komik.[*]
Donny Anggoro, editor sebuah penerbit di Jakarta.
Resensi Komik "Sebuah Tebusan Dosa"
Judul: Sebuah Tebusan Dosa
Cerita: dan gambar Teguh Santosa
Pengantar: Seno Gumira Ajidarma
Isi: 62 hlm.
Penerbit: Galang Press, Yogyakarta, 2002
Bagi para pencinta komik nama Teguh Santosa tentu tak asing lagi.
Komikus kelahiran Malang, Jawa Timur 1 Februari 1942 (meninggal 25
Oktober 2000) ini pernah melaju sebagai komikus papan atas Indonesia
sezaman dengan R.A. Kosasih, Jan Mintaraga, Hans Jaladara dan Ganes Th.
Lewat ciri khas gambar-gambarnya yang eksotik dan kedetailan garis-garis
ilustratif, Teguh Santosa pernah dipinang oleh Marvel Comics salah satu
penerbit komik terbesar dunia yang berbasis di New York sebagai
ink-man. Serial Conan, Alibaba dan Piranha adalah tiga serial komik yang
pernah digarap oleh komikus yang kesohor lewat tokoh Mat Pelor
ciptaannya ini sebagai ink-man.
Sampai kini hanya Teguh satu-satunya komikus Indonesia yang pernah
mendapat kesempatan menjajal kemampuannya bersama penerbit komik kelas
internasional. Di penghujung tahun 2002 Galang Press, sebuah penerbit
yang berbasis di Yogyakarta menerbitkan kembali salah satu karya Teguh,
Sebuah Tebusan Dosa. Menurut sastrawan dan juga kolektor komik, Seno
Gumira Ajidarma dalam kata pengantarnya mengatakan komik Sebuah Tebusan
Dosa ini adalah embrio dari masterpiecenya, yaitu trilogi Sandhora
(1969), Mat Romeo (1971) dan Mencari Mayat Mat Pelor (1970).
Sebuah Tebusan Dosa (pertama kali diterbitkan tahun 1967)
mengisahkan Galelo, seorang bajak laut yang mengkhianati bosnya, Si Mata
Satu dengan memberitahukan lokasi persembunyian bajak laut itu kepada
Kumpeni. Galelo berkhianat karena ia mencintai Terina, putri Si Mata
Satu yang hendak dikawinkan kepada Daeng Palaka. Galelo pada akhirnya
memang tak mendapatkan cinta Terina. Ia lalu mengembara dengan rasa
bersalah. Cerita kemudian beralih pada karakter Alfred, seorang perwira
Belanda yang mencintai Luana, anak Terina yang hidup dalam kekuasaan
Jansen. Bagi para pembaca yang belum mengenal Teguh berkesempatan
menyimak karya salah satu maestro komik Indonesia dalam kemasan masa
kini. Dialog dalam balon-balon kata yang semula ejaan lama pun ditulis
kembali dengan ejaan yang sudah disempurnakan hingga memudahkan pembaca
sekarang untuk menikmatinya.
Visualisasi kapal-kapal bajak laut, pulau-pulau terpencil,
benteng-benteng Kumpeni, pertarungan bajak laut, percikan ombak, pohon
nyiur, rembulan, kedatangan bangsa Belanda dan juga bangsa-bangsa lain
dengan latar belakang Nusantara abad ke-17 adalah kekuatan visual komik
ini yang jika dibaca sekarang tetap tak lekang dimakan usia, bahkan
terasa eksotis. Cerita pun mengalir lancar kendati untuk karyanya ini
Teguh seperti tak tergoda bereksperimen terutama dalam pendekatan visual
seperti karya-karya sesudahnya macam Sandhora atau Mat Romeo.
Perwatakan yang dibangun peraih penghargaan seni dari Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1998 ini pun tak kalah menarik dari
gambarnya. Karakter bajak laut oleh Teguh digambarkan sebagai tokoh
protagonis. Sedangkan orang-orang Belanda dalam sudut pandang bajak laut
adalah penjajah. Uniknya karakterisasi yang dibangun Teguh Santosa
bukan penggambaran hitam putih atawa pertempuran “si baik” melawan “si
jahat” semata. Karakter Alfred memang penjajah, namun sesungguhnya ia
tak lebih hanya seorang perwira Belanda yang semata-mata sedang
menjalankan tugas. Karakter Galelo pun hanya menjadi seorang pecundang
belaka karena tak berhasil mendapatkan cinta Terina.
Disinilah kekuatan lain yang berkualitas dari seorang Teguh Santosa
sebagai pendongeng selain pijakan-pijakan visualnya yang eksotik,
mengajak pembaca bernostalgia pada masa keemasan komik Indonesia di era
1970-an. Sedangkan bagi pembaca masa kini yang barangkali telah dibuai
serbuan produk-produk komik impor Jepang setidaknya bisa mendapatkan
pilihan lain dalam kenikmatan membaca komik.
Sayang, kendati sudah diolah kembali sedemikan rupa dalam kemasan
baru beberapa mutu gambar dalam komik ini cenderung merosot. Namun
kondisi ini dapat dimaklumi dikarenakan upaya pendokumentasian di
Indonesia yang amat terkenal buruk. Penurunan mutu gambar ini disebabkan
master aslinya berupa plat cetak sudah tak terlacak lagi, sehingga yang
dipergunakan adalah kopi dari salah satu karya Teguh yang berhasil
ditemukan. Akan tetapi, usaha yang sudah dilakukan penerbit Galang
Press- yang semula dikenal hanya menerbitkan karya sastra dan buku non
fiksi- patut dihargai sebagai ikhtiar mulia untuk melestarikan sekaligus
mendokumentasikan komik-komik karya asli Indonesia.
Langkah penerbitan ulang komik ini setidaknya dapat memberikan
wawasan kultural yang menarik perihal seni komik bagi para sejarawan,
pencinta komik, dokumentator sejarah maupun pembaca komik di masa kini.
Semoga langkah penerbitan kembali ini tak hanya berhenti pada karya
Teguh Santosa saja, melainkan juga karya-karya maestro komikus Indonesia
lainnya.* Donny Anggoro, redaktur cybersastra.net.
Koran Tempo, Maret 2003
INDEPENDENTS COMICS' PUBLISHING, DISCOVERY GALLERY & IDEA GENERATES
sebuah pemikiran, gagasan dan usulan untuk kemajuan komik Indonesia
oleh: FIRMANSYAH RACHIM
apa yang saya paparkan disini mengacu kepada kondisi, fakta dan
realita dalam perkembangan komik Indonesia saat ini dan sama sekali
bukan suatu konsep yang bersifat teori maupun kajian ilmiah, maka ini
adalah sebuah gagasan yang disesuaikan dengan kapasitas dan visibilitas
komik Indonesia yang berupaya untuk 'sesegera' mungkin menjadi eksis dan
establis…
indie comics as a lifestyle
Setelah musik, film, majalah, kini komik Indonesia pun indie. Ada
kecenderungan dan persamaan dalam genre dan aktifitas yang menuju kepada
perubahan lifestyle. Barang pabrik, mass product dan 'ngepop mulai
ditinggalkan dan beralih kepada segala sesuatunya yang serba terbatas,
eksklusif dan custom. Ini ada-lah suatu sinyalemen terhadap perubahan
nilai-nilai umum dimasyarakat kota. Kini cara pandang mulai berani
mengacu kepada nilai-nilai unik, krea-tif dan sarat dengan kebaruan
ketimbang dengan segala sesuatunya yang konvensional.
Yang menarik adalah adanya usaha untuk me-nawarkan nilai baru yang
bukan selera pasar namun demikian secara tak langsung (entah sadar atau
tidak) menjadi upaya untuk membentuk pasar. Ini adalah sebuah potensi
baru dengan produk baru dan pasar baru (baca komunitas) yang belum
jenuh.
Keberpihakan atau pemilihan komikus Indonesia terhadap indie mengacu kepada dua hal besar:
1. Indie as an easy way
Disini pelaku komik melihat dan menyikapi indie se-bagai suatu cara
yang mudah dilakukan, cepat dan murah meriah. Kebanyakan punya harapan
untuk bisa kejenjang berikutnya…major label. Jadi pe-laku komik di
alur ini merupakan komikus yang menjadikan indie sebagai batu loncatan
untuk menjadi major.
2. Indie as a concept
Disini pelaku komik menyikapi indie sebagai 'keya-kinannya' (gaya),
bukan sekedar cara yang mudah, cepat dan murah meriah melainkan lebih
kepada sikap untuk tidak mau menjadi major.
Dari kedua hal besar diatas perbedaan-perbedaan yang tampak dalam
komiknya adalah, yang pertama indie sebagai sebagai batu loncatan pada
umumnya ide cerita dan penokohannya masih sekitar konsep utopia dan
idol. Lalu gaya gambar 'ke-anime-anime-an'. Masih selera pasar major
(populer).
Akan halnya indie sebagai suatu konsep lebih me-nitik beratkan
kepada cerita keseharian, kisah nya-ta, masalah-masalah sosial, dll.
Gaya gambarnya memiliki karakteristik yang kuat (tidak
'ke-anime-anime-an' ataupun ke 'marvel-marvel-an').
Namun demikian keduanya menganut paham foto-kopi sebagai teknik
cetak/penggandaan komiknya dan umumnya tidak anti pembajakan, dan yang
pa-tut disimaki dalam perkembangannya adalah kepa-da produktivitasnya…
Komikus-komikus indie ter-sebut sangat produktif dalam berkary, paling
sedikit seorang komikus mampu menciptakan 1 sampai dengan 2 buku baru / 3
bulan.
Komikus indie, berkumpul, berkarya dan berakti-fitas. Komunitas
komik indie tersebar disebagian besar pulau Jawa, satu dua ada di
Sumatera, Sula-wesi dan Bali. Komunitas ini sebagian besar terga-bung
dalam Masyarakat Komik Indonesia (MKI). Da-lam jaringan eksklusif
tersebut mereka saling bertukar informasi, saling memasarkan dengan cara
titip jual melalui event-event komik reguler. Dari sana tercipta
jaringan yang makin luas dan besar. Hal ini terjadi di setiap komunitas
komikus indie di-manapun di dunia. Kegiatan kumpul-kumpul ter-sebut
tidak hanya di dalam negri, sekali waktu komikus Indonesia diundang pula
keluar negri atau sebaliknya. Dan menurut pengakuan John Weeks
(American Indie Artist) komunitas komikus indie In-donesia adalah yang
terbesar di Asia Tenggara. Ba-hkan dalam penyelenggaraan event-event
komik, Indonesia termasuk mewah (diskusi building networking, PKAN IV,
Jogyakarta 6 12 Sept 2003 ).
Ada kekuatan dan kebersamaan dalam tubuh MKI untuk menggempur pasar
komik di Indonesia, walaupun oplah terbatas (50-500 eks./komik) dan
harga yang bervariasi (Rp.500-Rp.20.000,-/komik) tapi pembelinya ada dan
sold out. Penjualan ter-besar adalah dari event untuk kemudian pembeli
akan datang sendiri ke studio masing-masing ko-mikus atau dari MKI
melalui milis mki@yahoogroups.com, tak jarang pula pembeli tersebut
datang langsung ke MKI. Beberapa komi ada juga yang di titip jual ke
distro-distro.
Komik dan merchandising.
Cukup banyak pula komik-komik indie yang diba-rengi dengan
merchandisingnya, seperti T-shirt, topi, tas, memo book, stiker,dll.
Beberapa produk tersebut kebanyakan hasil upaya sendiri (modal pribadi
atau patungan), namun ada pula yang ber-sifat kerjasama dengan berbagai
pihak produsen, misalnya T-shirt sebagai hasil kerjasama dengan
perusahaan garmen.
Perkembangan komik indie ini telah merambah jauh dari sekedar hobi
dan eksplorasi komik. Keba-nyakan dari pelaku didalamnya telah menyikapi
se-cara sungguh-sungguh komik indie sebagai aktifitas dan banner yang
melekat dalam eksistensinya se-bagai lifestyle. Pada sisi ini komunitas
komik indie ini telah diakui sebagai komunitas besar dalam dunia indie
secara umum, sehingga seringkali ko-mikus indie tersebut berkolaborasi
dan berbaur diberbagai banner indie lainnya seperti musik, film, animasi
dan lainnya.
Komikus sebagai profesi
Komik, hobi, aktifitas dan profesi. Pada proses awalnya pemilihan
komik sebagai jalur mata pen-carian dimulai dari sekedar hobi iseng yang
meng-hasilkan. Namun demikian dalam kurun waktu re-latif singkat (10
tahun.)
komik sebagai media apresiasi karya bagi seniman mulai diminati
sebagai media yang memiliki peran ganda (media komunikasi populer).
Sehingga ke-pentingan komik tidak lagi sekedar berbasis pada nilai-nilai
estetika semata, lebih dari itu dijadikan sebagai alat propaganda untuk
menyampaikan pe-san. Berbagai kelompok dalam masyarakat dari berbagai
kalangan mulai melirik komik sebagai bagian dari konsep komunikasi.
Adanya respon aktif dari masyarakat tersebut menjadikan harapan baru
bagi komikus untuk dijadikan lahan profesi. Kini proses berkarya bukan
lagi sekedar iseng-iseng ataupun hobi, lebih obyektif lagi telah
disikapi sebagai suatu jasa pesanan.
Portofolio studio maupun perorangan kini tidak sekedar tampil dalam
konsep estetika semata, na-mun telah berani menampilkan komik sebagai
kon-sep produk. Ada upaya untuk melangkah lebih jauh keluar dari
lingkungan eksklusif menjadi lebih po-puler. Kondisi ini sangat membantu
menempatkan komik sebagai produk yang memiliki kredibilitas tersendiri
dimasyarakat dan menumbuhkan self confidence dalam diri komikus untuk
berani ber-tahan sebagai komikus dalam ruang lingkup seni dan desain.
Metodologi produksi
Target dan tujuan membuat komik menjadi dasar yang metodologis dalam
produktifitas komik Indo-nesia saat ini. Berbagai macam metode
diterapkan dalam berbagai kelompok, perorangan maupun institusi yang
menghasilkan beragam kinerja pro-duksi komik. Awalnya hanya berbekal
semangat dan motivasi untuk membuat komik yang didasari hobi. Sejalan
dengan perkembangan MKI sendiri dan seringnya komunitas tersebut
beraktifitas bareng-bareng, menjadikan kebiasaan tersebut agenda rutin.
Dari adanya rutinitas ini muncul ke-sepakatan-kesepakatan untuk terus
memunculkan karya baru. Animo masyarakatpun bertambah ter-hadap komik
sebagai aktifitas positif. MKI kemu-dian membuat program workshop komik
singkat (sejak 1997). Dari hasil workshop ini banyak me-munculkan
karya-karya komik baru sekaligus komikus baru.
Wabah komik ini menulari banyak kalangan dalam masyarakat, dari
mulai anak-anak, remaja, se-kolah sampai dengan institusi perguruan
tinggi (senirupa). Konsepsi workshop pun berkembang dari sekedar tips
dan teknis pembuatan komik menjadi konsep kurikulum pelatihan. Kini
hampir diseluruh institusi senirupa menjadikan komik sebagai bagian dari
mata kuliah ilustrasi. Hasilnya pun berbeda, kinerja yang dihasilkan
lebih 'meng-gigit' (estetika) karena didasari oleh kewjiban membuat
komik atau dapat nilai rendah, bahkan tidak lulus.
Beberapa kelompok lainnya, baik perusahaan maupun lembaga-lembaga
kemasyara-katan lainnya menjadikan komik sebagai konsep produk.
Bermunculanlah kegiatan-kegiatan lomba komik dengan kinerja yang
lebih maksimal dan kontekstual (sesuai dengan tema lomba) karena ada
iming-iming hadiah ataupun sekedar partisipan. Pada sisi lain, komik
sebagai pesanan ataupun kerjasama penerbitan pun menambah khasanah
produksi komik Indonesia.
Potensi dan peluang
roduktifitas komik Indonesia terbanyak saat ini diisi oleh
komik-komik indie. Dengan kemasan yang khas (fotokopian), jumlah
eksemplar terbatas. Namun beragam judul cerita, beragam format
menjadikannya khasanah komik Indonesia yang sangat variatif. Ini adalah
potensi kreatif yang jauh berkembang dengan era komik Indonesia tahun
70-an yang ketika itu muncul kecenderungan stereotip pada produksi komik
70-an, satu komikus bikin komik roman remaja yang lain pun bikin roman
remaja ketika terjadi booming komik silat yang lain pun bikin komik
silat. Komik indie menampilkan beraneka ragam alternatif cerita, dari
yang paling naïf, super hero, kisah nyata, sosial, roman, humor,
parodi, 'nyeni sampai yang sadis dan pornografi, dll. Ragam format pun
cukup beraneka, dari mulai ukuran saku, A4, setengah A4, komik strip,
kompilasi, dll. Ada yang berwarna, half tone, atau hitam putih, walaupun
lebih banyak hitam putih (fotokopi). Indie sebagai pijakan memang
banyak berperan pada tingkat produktifitas komik Indonesia. Hal ini
disebabkan adanya prinsip indie yang tidak terlalu membebani dalam
aturan-aturan main…bahkan tidak anti pembajak (sebaliknya malah
dijadikan respon kreatif).
Komunitas dan aktifitas sangat berperan penting dalam perkembangan
produksi komik indie ini. Adanya komunitas dan aktifitas yang terus
berkembang menjadikan konsep pasar eksklusif bagi komikus indie…yang
sekaligus menjadi jaminan komiknya akan dibeli…apaun hasilnya. Peranan
indie sebagai lifestyle sangat dominan dalam kinerja dan hasil komik
yang diciptakan…komikus indie merespon lifestyle indie sebagai trend.
Ada fenomena yang muncul berbarengan dalam era indie ini, yaitu demand
komik tidak hanya direspon oleh pembeli namun demikian pada pelaku komik
juga. Sehingga begitu mereka memulai sebagai pelaku komik, pembelinya
sudah siap membeli.
Catatan penting dalam potensi komikus indie ini adalah orientasinya
yang fleksibel…kalaupun belum untung setidaknya eksis (tetap bikin
komik). Ada dua hal penting dalam etos dan semangat komikus indie ini,
produktif dan komersil. Potensi ini selayaknya dapat diasah dan
dipertajam untuk menjadikan komik indie lebih matang lagi dan memiliki
kwalitas komik sebagai sebuah produk sehingga dapat diterima sebagai
alternatif industri komik Indonesia.
Potensi komik indie sebagai peluang bisnis adalah bisnis yang
berorientasi pada investasi kecil. Cetak hitam putih (satu warna),
eksemplar terbatas dan dijual customize. Dengan sedikit memoles potensi
komik indie (fotokopian) menjadi 'barang dagangan' yang dikemas dengan
kwalitas mesin cetak telah cukup banyak mengankat citra komik indie
tersebut. Umumnya konsepsi warna hanya pada cover saja, namun demikian
ada juga komik indie yang berwarna secara keseluruhan. Sementara harga
jual dapat mematok dengan harga eksklusif (lebih tinggi dari major
label), karena jumlah/oplah cetak yang terbatas, eksklusif (sesuai
sasaran/tidak untuk orientasai mass product) dan bersifat customize
bahkan potensial sebagai collector item.
Kelemahan dan kendala
Kelamahan yang paling utama adalah pada cerita. Ini adalah persoalan
umum pada komik-komik Indonesia, khususnya pasca 70'an. Kemampuan
gambar yang baik tidak dibarengi oleh kemampuan dalam mengolah cerita
yang baik pula. Sehingga seringkali kwalitas gambar yang baik tersebut
tidak 'berbunyi' karena lemahnya cerita. Secara umum kelemahan
komik-komik Indonesia cukup banyak yang terkesan 'prematur' atau asal
jadi. Namun demikian ini adalah kelemahan komik sebagai produk, jadi
sama sekali bukan kelemahan komikusnya. Sebaliknya perlu suatu upaya
untuk membantu potensi komikus-komikus tersebut untuk dapat menghasilkan
kwalitas komik yang baik secara keseluruhan, cerita yang asik, gambar
yang apik!. Jika dilihat dari sudut pandang diatas ini adalah kelemahan
dalam manajemen produksi. Kebanyakan komik-komik Indonesia dieksekusi
oleh (hanya) komikus saja yang kemampuan dan potensinya adalah
menggambar, bukan pencerita/penulis cerita.
Kendala umum adalah manajemen, disamping biaya atau permodalan.
Cukup banyak studio komik maupun kelompok-kelompok komikus di Indonesia,
namun sedikit sekali dari kelompok-kelompok tersebut diatas yang
memiliki talent pencerita yang baik. Hal ini disebabkan oleh berbagai
faktor kendala, al: kurangnya wacana komik sebagai product knowledge
(esensi komik adalah cerita, gambar adalah eksekusinya), lemahnya
pengolahan cerita umum menjadi cerita untuk komik (dibutuhkan kemampuan
untuk membuat script cerita komik), upaya untuk menyatukan pencerita dan
penggambar untuk mengeksekusi komk belum maksimal.
Kendala paling umum dari keberadaan komik dan komikus Indonesia
adalah menembus jaringan pasar (masyarakat) yang telah terbentuk oleh
komik-komik asing, disamping distribusi yang juga telah 'dikuasai' oleh
komik-komik saduran tsb. Hal ini menyebabkan lemahnya gaung komik-komik
produksi lokal tsb. Disamping itu sikap un self confidence komikus dan
penerbitan komik Indonesia yang cenderung lebih suka 'bermain' atau
'terjebak' dalam lingkungan komunitasnya saja menambah lemahnya gaung
komik Indonesia di masyarakat luas.
Secara umum ini adalah kelemahan dalam manajemen. Sampai saat ini
setelah 10 tahun lebih belum ada yang mampu (pernah dicoba) untuk
membuat format maupun sistem manajemen produksi komik yang kontinyu.
Satu dan lain hal adalah masalah effort dan kecenderungan bisnis yang
ingin langsung untung (komikus dan investornya). Perlu satu komitmen,
visi, misi dan orientasi yang sama untuk membangun dan menciptakan pasar
komik Indonesia. Artinya perlu satu kesadaran bahwa dalam konteks
membangun keuntungan finansial bukanlah target didepan/utamanya, namun
demikian ada satu harapan dan peluang bahwa keuntungan akan dapat diraih
berlipat ganda jika upaya tersebut mau ditempuh dengan benar dan dengan
effort yang stabil.
An Idea Generates
Berangkat dari ulasan diatas kita telah bisa memetakan kondisi komik
dan komikus Indonesia serta pasar komik pada umumnya. Seperti halnya
indie sebagai lifestyle adalah sebuah genre yang kini paling mendominasi
potensi pasar dan kreatifitas (termasuk komik), segala bentuk upaya dan
usaha mencirikan bentukan-bentukan yang sangat spesifik. Indie
merupakan pijakan sekaligus komitmen terhadap aturan main yang diminati
(mudah direspon). Komunitas indie adalah sebuah pemikiran sindikasi
sebagai upaya menggalang kekuatan sekaligus proses pembentukan pasar
terhadap pola kerja produksi yang bersifat customize. Sudah saatnya
komunitas ini memperluas (bukan memperbanyak) jaringan kerjanya. Saat
ini komunitas komik indie lebih banyak direspon oleh pelaku komik
(komikus) dan cenderung makin banyak (tiap tahun bertambah
sekurang-kurangnya 10 pelaku komik indie).
Penerbitan, distribusi dan manajemen produksi merupakan aspek
jaringan yang paling dibutuhkan saat ini. Disamping tentunya konsepsi
dagang yang sekiranya dapat diselaraskan dengan konsepsi indie untuk
menciptakan dan memperluas jaringan pasar keluar dari lingkungan
komunitas komikus indie dengan cara membentuk sindikasi baru yang lebih
besar, komikus & penerbitan komik. Dengan adanya sindikasi tsb.
diharapkan dapat saling memenuhi kebutuhannya masing-masing, komikus
butuh untuk terbit, penerbit butuh khasanah komik. Persoalannya sekarang
adalah masing-masing pihak harus mau membangun komitmen (effort, waktu,
tenaga dan biaya) untuk menempatkan sindikasi ini sebagai konsep
research & devolopment. Jadi persoalan-persoalan mengenai keuntungan
(profitable) harus diatur sebagai benefit jangka panjang.Yang
terpenting saat ini adalah bagaimana masyarakat umum dapat mendapatkan
komik-komik Indonesia ditengah-tengah maraknya komik-komik asing.
Awalnya adalah dengan menciptakan awarness, jadi bukan target untung
dulu.
Hal lain yang harus ditempuh adalah menemukan format dagang yang
jitu. Marketing komik bukan marketing buku. Sehingga marketing komik
harus mampu berstrategi untuk menciptakan awarness toko komik, bukan
toko buku. Dalam konsepsi indie, distro dikenal sebagai butiknya indie.
Dagangan didalamnya adalah dagangan yang tidak ada di toko-toko ataupun
mal-mal pada umumnya. Distro adalah konsep toko eksklusif yang item dan
jumlah setiap itemnya serba terbatas. Setiap item produk/desain
diciptakan dan diproduksi secara customize (sesuai kebutuhan dan
pemesanan). Reputasi distro sudah sangat aware dikalangan komunitas
indie pada umumnya, karena seluruh kebutuhan dan citra/brand produk
mereka hanya ada di distro termasuk beberapa komik-komik fotokopian.
Pemikiran toko komik/comic's distro adalah prinsip counter product,
jadi toko komik bukanlah semata-mata akses penjualannya. Distribusi
'lampu merah' atau lapak tetap harus dilakukan sebagaimana mestinya
produk-produk media pada umumnya. Disamping itu event sebagai program
kegiatan yang dapat dijadikan sebagai media promosi tetap harus
dilaksanakan secara berkala, minumum per 3 bulan sekali. Pelaksanaan
event nantinya bisa menerapkan sistem launching komik-komik baru yang
akan terbit. Pelaksanaan launching ini bisa dilaksanakan secara
sederhana dengan cara mengandalkan jaringan kerja media sehingga
publikasinya dapat ditangani dengan baik. Yang terpenting adalah
bagaimana caranya agar kehadiran komik-komik Indie tersebut tetap bisa
muncul secara rutin, lebih dari itu bisa eksis dimasyarakat luas.[*]
MARI MEMBACA KOMIK
Oleh:
Karna Mustaqim
Jejak Asal Komik.
"Akankah ada bentuk seni lainnya, 'Goethe menduga-duga', muncul di
dunia kosmopolit ini dan menjadi perekat budaya yang efektif!?" Suatu
ketika tatkala Goethe memperhatikan novel-novel bergambarnya Rodolphe
Toppfer, seorang edukator dan teoritisi seni dari Swiss, ia pun lalu
mensinyalir salah satu dari sekian banyak hal yang mungkin dapat
melakukan penyatuan kultur modern adalah komik strip. Mungkin untuk
kondisi zaman sekarang ini selain komik, terdapat pula animasi,
televisi, dan juga internet, yang bisa dipandang sebagai tempat
berkumpulnya berbagai kultur modern masa kini. Perkembangan budaya tentu
tak lepas begitu saja dari perjalanan masa lalunya, dan kejayaan masa
lalu itu barangkali hanya akan abadi di dalam data-data kesejarahan.
Manusia menyeleksi mana yang dibutuhkan dan mana yang tidak, dan untuk
sementara waktu ini komik masih merupakan bagian dari sebuah kebutuhan
manusia yang belum punah sejak kemunculannya hingga kini. Sebagai
sinyalir "perekat budaya", komik melangsungkan evolusinya bersama-sama
dengan berjalannya peradaban manusia. Kata 'komik' tersebut tidaklah
berdiri sendiri, kata komik muncul pertama kali dengan ekornya 'strip' (
the comic strip) dan ia bukan pula merupakan suatu bentuk seni yang
sama sekali baru seperti yang suka diangkat sebagian orang, komik
ibaratnyalah sebuah perayaan atas kematian yang brilian dari konsepsi
artistik yang sudah usang(out of date) .
Secara naif biasanya komik strip di anggap mirip dengan narasi
grafis (graphic narration). Kebiasaan ini adalah upaya menyetarakan
komik dengan model awal narasi visual seperti gambaran/relief di Trajan
Column atau Queen Mathilde’s, berikut pula contoh lainnya seperti
lembaran-lembaran papirus Mesir, Bayeux Tapestry, novel cukilan kayu.
Gambaran terdekatnya pada kita dapat di temui pada relief candi
Borobudur dan Prambanan yang terkenal, secara spesifik Indonesia
mempunyai Wayang Beber di Jawa, yang menggunakan teknik bercerita dengan
gambar adegan per adegan. Dalanglah yang menarasikan satu persatu
gulungan wayang beber dan menjalin kisah di dalamnya. Ada juga Prasi,
ilustrasi dan lukisan dari daun lontar di Bali. Dan yang juga mendekati
adalah ilustrasi naratif manuskrip Jawa yang banyak ditemukan berasal
dari pertengahan abad ke 19, seperti Serat Rama Kawi, Serat Bratayuda,
Serat Panji Jayakusuma, Serat Damarwulan . Tarik mundurlah lebih jauh
lagi hingga ke lukisan dinding zaman pra-sejarah dan kita mempelajarinya
sebagai sebuah arkeologi komik. Membedakan antara ‘komik’ dan model
awal 'narasi visual' yang disebut-sebut itu, sedikit mirip seperti
menganalogikan perbedaan 'sinema/bioskop/ layar tancap' dengan
‘wayang’(shadow teater/puppet); meski film atau animasi dapat di
wayang-kan seperti dilakukan Lotte Reiniger(animator) , namun secara
eksplisit kita bisa cukup jelas dalam membedakan keduanya.
Abad ke 19 di Eropa tercatat banyak eksplorasi dari narasi-narasi
bergambar (illustrated narratives), yang beriringan dengan perkembangan
teknologi cetak seperti zincography dan photoengraving. Tapi narasi itu,
yang disebut "Images d’Epinal" di Perancis dan "Bilderbogen" di Jerman,
masih menempatkan "j a r a k" antara teks dan gambar. Secara artistikal
puncaknya kreasi cerita gambar (picture stories) ini dibuat oleh si
Rodolphe Toppfer dan Wilhelm Busch. Di abad-abad sebelumnya telah
berlangsung eksprimen-eksperimen yang untuk sementara waktu terlihat
antara teks dan ilustrasi berjalan di jalur yang berbeda, sampai
akhirnya hadirlah ilustrasi cerita karya William Hogarth di tahun
1730-an yang menyatukan keterpisahan antara teks dan gambar, ke dalam
satu jalinan cerita. Hogarth membuat sealami mungkin rangkaian
adegan(sekuensial) dari sebuah visual naratif, dengan melukisan
adegannya seolah-olah berada pada sebuah aksi panggung. Alhasil
timbullah kesan dramatikal yang memikat. Apa yang Hogarth lakukan masa
itu merupakan sesuatu hal yang sungguh berbeda dari cara mengillustrasi
yang lazim di zamannya, sehingga dari sanalah sebuah diberikan sebutan
yaitu "kartun(cartoon)". Konsepsi berupa setting antara teks dan gambar
yang ia buat itu kelak akan menggiring adanya temuan sistematis
penggunaan balon kata. Diduga konsepsi semacam ini berlanjut menelurkan
asal-usul bentuk komik seutuhnya yaitu 'komik strip'.
Menjelang pergantian akhir abad ke 19, lahirnya bentuk budaya baru
yang disebut komik ini, maka mulailah tampil ke depan pintu zaman sebuah
model ekspresi baru yang populer. Menyandingkan pepatah Konfusius yang
berbunyi, "A Picture means A Thousand Words", komik mendapatkan induksi
pemaknaan yang lebih berarti sebagai sebuah media penyampai pesan yang
memadukan teks narasi dan ilustrasi gambar. Sebagaimana yang diupayakan
Will Eisner, seorang komikus Amerika yang sukses mengembangkan komik
dalam bentuk yang ia sebut-sebut novel grafis (graphic novel), dimana
dalam pandangannya buku komik merupakan montase kata dan gambar dimana
seorang pembaca harus melatih kemampuannya menginterpretasikan hal-hal
secara verbal dan visual bersamaan. Rezim seni(seperti: perspektif,
komposisi, sapuan kuas) dan rezim literatur(seperti: tata bahasa, plot,
sintaksis) keduanya menjadi saling terataskan. Membaca komik adalah
sebentuk upaya melakukan persepsi estetik (keindahan) dan pengejaran
intelektual. Ia memperbandingkan komik sebagai seni merangkai adegan
(sequential art) .
Komik dalam pandangan menurut Scott McCloud, "Juxtaposed pictorial
and other images in deliberate sequence, intended to convey information
and/or to produce an aesthetic response in the viewer." Terjemahan yang
dikutip dari bukunya Memahami Komik terbitan KPG adalah, "Gambar-gambar
serta lambang-lambang lain yang terjuktaposisi dalam turutan tertentu,
untuk menyampaikan informasi dan/atau mencapai tanggapan estetis dari
pembacanya."
Pada tahun 1973, Malte Dahrendorf menyebut komik sebagai
benda/barang gambar secara massal adalah kisah bertekanan pada gerak dan
tindakan yang ceritanya dalam urutan gambar dengan daftar dan jenisnya
yang khas . Jika kita percaya pada tesis Marshall McLuhan yang
menyebutkan tentang "Berakhirnya kurun waktu buku(bacaan/tulisan)" dan
meramalkan "Kurun waktu berlambang gambar", maka berlimpahnya penggunaan
bahasa visual seperti yang terdapat dalam komik masih akan meluas lagi.
Jepang menyimpan penamaan tersendiri untuk komik yaitu 'Manga',
dengan huruf kanji yang sama di Cina disebut Man Hua. Sebelumnya sempat
di kenal sebutan Ponchi-e (istilah untuk gambar-gambar dari majalah
Punch yang terbit pertama kali tahun 1814 di Inggris) dan juga komikkusu
(mengadaptasi dari kata comics). Asal usul istilah Manga sendiri tidak
ada keterkaitan spesifik dengan pengertian manga sebagaimana kita kenal
sekarang ini sebagai sebutan untuk komik ala Jepang. Dahulu pada tahun
1814, jilid pertama “Hokusai Manga” diterbitkan, isinya adalah
sketsa-sketsa Katshuhika Hokusai(1760-1849), seorang artis ukiyo-e (seni
cukil kayu Jepang) yang terkenal, diterbitkan sebanyak 15 jilid. Tak
ada gerak-gerik manusia yang luput dari ketajaman observasi matanya dan
goresan kuasnya yang ekspresif. Hokusai menggambarkan obyektifitas
pandangannya tentang kemanusiaan dari sisi yang humoris . Artis lain
yang dinilai punya peran penting pada dunia komik Jepang adalah
Yoshitoshi Tsukioka (1839-1892) artis ukiyo-e generasi akhir masa Meiji,
adalah artis yang sangat baik melukiskan monster, makhluk aneh dan
fantasi. Konotasi manga kala itu disamakan dengan cartoon, dengan
caranya sendiri-sendiri William Hogarth dan Katshuhika Hokusai
melahirkan bentuk ilustrasi yang berbeda dari umum di tempat dan
zamannya masing-masing. Adalah Rakuten Kitazawa(1876-1955) yang kemudian
menjeneralisirkan penggunaan istilah Manga sebagai pengertian untuk
kartun dan komik strip di Jepang, melalui suplemen hari minggu di harian
Jiji Shinpou. Karya-karyanya masih sangat kental di pengaruhi oleh
Outcoult, Dirks dan Opper. Tahun 1918 ia mendirikan Manga Kourakukai,
sebuah asosiasi kartunis Jepang. Kitazawa adalah seorang pionir komik
strip modern Jepang. Sekarang kartun/karikatur dan manga, mempunyai
dunianya masing-masing dalam Jepang kontemporer.
Tradisi literatur atau sastra Jepang yang memikat dan biasanya
berupaya menggiring emosional pembaca sehingga larut terbawa dalam
imajinasi dan suasana cerita, tampaknya merupakan dasar kuat bagi
kelanjutan perkembangan teknik bercerita dalam manga. Osamu Tezuka, yang
dijuluki ‘The God of Manga’ yang tertarik sekali dengan desain karakter
kartun Disney dan Max Fleischer, kemudian mengembangkan karakter
individunya kedalam karya manga dan anime(sebutan khas animasi produksi
Jepang) yang karena kepopulerannya, melanda berikutnya ke
generasi-generasi selanjutnya hingga kini. Tezuka juga mendapatkan
inspirasi dari film-film Jerman dan Perancis yang ia tonton semasa
remaja, membawanya pada eksperimen teknik sinematografis masuk ke dalam
manga Jepang, diantaranya melalui penciptaan efek-efek kesan ruang dan
kedalaman, teknik 'passing' adegan, gerak dinamis dan slow motion, ritme
cerita yang mendebarkan, dan alur cerita yang mengasyikkan dan tak
harus selalu berakhir gembira. Beberapa efek sinematografis yang ia
masukkan ke dalam manga adalah seperti pengambilan adegan dalam framing
yang transisi obyeknya berubah perlahan-lahan. Semacam kesan zooming,
pengambilan shoot gambar yang detail dari sudut ke sudut suatu obyek.
Jepang kontemporer mengandung banyak unsur campuran berbagai kebudayaan
impor. Dimana di dalam pencampuran itu masih selalu terlekat erat esensi
unsur yang menunjukkan tradisi ke-Jepangan-nya, misalnya saja kultur
Jepang yang sangat menghemat ruang dan kompak, filosofis hidup ajaran
Zen dan Konfusius, terlihat mempengaruhi lahirnya komposisi dan struktur
lay-out manga yang efektif dan efisien dalam menggunakan bidang kertas
terbatas namun tetap dijaga kejernihan pembacaannya.
Komik, sebuah industri dan budaya modern.
Komik itu sehat. Demikian pernyataan ini terbit di ufuk pikiran
dengan niat memperlihatkan kenyataan positif dari kegiatan membaca
komik. Seperti kita ketahui bersama membaca komik menimbulkan keasyikan
tersendiri bagi pembacanya, baik itu anak-anak, para remaja, tiada
ketinggalan pula para orang tua. Biasanya kegiatan ini di lakukan untuk
mengisi waktu senggang atau sering pula ketika anak-anak jenuh dengan
bahan pelajaran. Dengan kehadiran komik maka hampir dapat di pastikan
sebagian besar orang menghabiskan masa mudanya dengan menikmati bacaan
bergambar yang satu ini. Ibarat makanan, komik hadir seperti jajanan
atau cemilan yang selalu menggoda hati. Di masa sekarang ini komik
merupakan fenomena budaya di Indonesia terutama di kota-kotanya. Bahkan
Arswendo Atmowiloto, seorang pemerhati budaya, menyebutkan bahwa komik
dapat memberikan sumbangan pada proses pertumbuhan kebudayaan nasional .
Dalam tulisan yang sama dikemukakan bahwa,"Komik sebagai media ekspresi
pribadi sekaligus terlibat dalam apa yang disebut kebudayaan nasional.
Mereka(komikus-komikus) adalah dinamikator-dinamikator yang kalau
dilihat dari sejarah dan hasilnya, komik mampu menampung masalah sosial,
politik, agama, sejarah, perjuangan, penerangan dan aspek-aspek lain
dalam kebudayaan." Di pihak sastrawan, Mocthar Lubis, berpikiran lebih
jauh dengan menyatakan, "Komik menurut anggapan saya, adalah salah satu
alat komunikasi massa yang memberi pendidikan baik untuk kanak-kanak
maupun untuk orang dewasa. "Sebagai bahasa gambar, komik menarik minat
para ahli semiotik dan linguis, seperti ungkapan seorang ahli komunikasi
massa berkebangsaan Italia, Umberto Eco, "Komik menjadi sebuah bidang
kajian yang luas dan sulit dijelajahi, tetapi terbuka bagi 'semiotika
pesan gambar'." Demikian pula yang ditegaskan Arthur Asa Berger, di
akhir salah satu tulisannya, dalam buku Signs in Contemporary Culture,
ia mengatakan komik memiliki banyak hal yang dapat kita baca, namun
hanya jika kita peduli .
Cukup banyak pula orang yang telah menuangkan pemikirannya tentang
komik ke dalam buku-buku, misalnya Scott McCloud dengan 'Understanding
Comic : the Invisible Art', Maurice Horn dalam 'World Encyclopedia of
Comics', Frederik L.Schodt dengan 'Manga!Manga!The World of Japanese
Comic', Thomas M. Inge melalui 'Comic as Culture' dan masih dapat
ditemukan lagi penulis-penulis lain yang tertarik dalam mengulas komik.
Dalam perjalanannya, komik-komik yang pernah hadir di Indonesia
mempunyai komunitas penggemarnya tersendiri. Di Indonesia , sengaja atau
tidak di sengaja, secara kasar seolah terbentuk kelompok-kelompok yang
fanatik pada jenis komik tertentu. Dekade tahun 50-an hingga 60-an
didominasi oleh komik nasional(lokal), kemudian memasuki dekade 70-an
hingga 80-an mulai diramaikan oleh kehadiran komik-komik impor dan
terjemahan Barat(Eropa dan Amerika), disusul dekade 90-an hingga saat
ini serbuan dari komik terjemahan asal negeri matahari terbit yaitu
Jepang. Periodesasi di atas bukanlah dimaksudkan sebagai gambaran
mutlak, batasan-batasan tahun hanyalah untuk memperlihatkan adanya
perubahan gradual pecinta komik di Indonesia seiring hadirnya
komik-komik luar ke negeri tercinta ini. Untuk gambaran kasatnya,
andaikanlah kita ini sebagai seorang anak sekolah menengah,
perhatikanlah kegemaran komik bacaan kakek atau bapak-ibu kita, kemudian
abang dan kakak kita, lalu kita sendiri, dan selanjutnya perhatikan
adik-adik kita. Pada masa sebelum dekade 90-an, komik buatan lokal masih
sanggup bercokol dan mempunyai peminat yang meluas meski kemudian
secara perlahan surut dan hilang dari pasaran. Kini di abad ke-21 ini,
komik Indonesia menjelmakan diri melalui gerilya beragam bentuk, tak
hanya komik buku dan strip saja, tapi juga memanfaatkan berbagai peluang
pasar media yang tersedia, entah sebagai suplemen atau promosi produk
dari media lainnya.
Dalam perjalanan sejarahnya, komik Amerika pernah mendapat pengaruh
komik-komik dari Eropa seperti Jerman dan Perancis, sedangkan Jepang di
tahun 70-an juga sempat di pengaruhi oleh komik gaya Amerika, dan kini
Jepang mempengaruhi kembali komik-komik Eropa dan Amerika. Di Indonesia
sendiri uniknya hampir semua jenis komik tersebut tidak pernah
ketinggalan hadir dan mempengaruhi citra komik nasional. Kemampuan
beradaptasi seperti itu sebenarnya mirip yang dimiliki oleh leluhur
bangsa Indonesia yang tercermin melalui akulturasi budaya daerah sejak
jaman kerajaan-kerajaan nusantara dahulu kala. Cerminan itu tampak pula
pada budaya-budaya suku bangsa Indonesia yang sarat perpaduan budaya,
misalnya dari upacara tradisinya, adat-istiadat, pakaian dan tarian,
bahasa dan sastra, cerita rakyat, dan banyak lagi bentuk kebudayaan itu.
Proses berakulturasi ini dapat kita serap ke dalam proses pembuatan
komik, dan meski komik bagi sebagian orang masih di anggap "produk
pinggiran" dari kebudayaan, bukan berarti ia tidak bisa diberikan nilai
lebih, misalnya saja dengan menyisipkan unsur-unsur positif budaya
bangsa ke dalam kisah atau karakternya. Karena seperti yang diungkapan
Marcel Boneff dalam disertasinya tentang komik Indonesia bahwa,
"Walaupun hanya “produk pinggiran" dari kebudayaan, komik berpangkal
pada kebudayaan, dan merupakan salah satu benih kebudayaan.”
Membanjirnya komik-komik asing itu tidaklah buruk, asalkan saja
orang-orang menyadari tentang bagaimana sebaiknya mengkonsumsi
komik-komik tersebut. Sejak lama pembaca komik di Indonesia merupakan
konsumer komik yang jumlahnya tidak kecil. Sungguh disayangkannya
perjalanan panjang yang sempat ditempuh, beragam karakter komik serta
jumlah konsumer baca yang besar itu ternyata tidak cukup mampu memberi
landasan berpijak yang kokoh dan kuat bagi kelnajutan kehidupan
perkomikan nasional sementara waktu. Komik sendiri adalah sebuah
industri. Seperti yang terlihat bahwa komik telah menjadi fenomena
perkotaan. Di Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Lampung, Yogya dan
kota-kota lainnya, tersebar banyak komunitas pecinta komik yang besar.
Saat ini jenis komik Jepanglah (manga) yang tengah di gandrungi, hal ini
tentunya di karenakan pula oleh mudahnya mendapatkan komik-komik itu.
Produksi komik lokal bukannya tidak ada, namun gaungnya belum cukup
menggembirakan. Komik-komik Indonesia atau yang pernah populer di era
60-an dengan istilah cergam (cerita bergambar) tampaknya belum mendapat
porsi yang pantas di hati kalangan komunitas pecinta komik. Komik
nasional seolah-olah tak putus di rundung malang.
Sejujurnya kita adalah bangsa yang tidak kalah dalam hal sumber daya
seperti keahlian (skill), sumber cerita dan sumber karakter. Bangsa
Indonesia mempunyai ribuan pulau keanekaragaman dan lautan budaya yang
luas seluas-luasnya untuk dijelajahi. Lalu apa yang membuat kita
demikian tidak berdaya menghadapi serbuan komik asing? Barangkali,
sejujurnya harus diakui, bahwa kita masih saja gagal memikat hati para
pembaca sendiri, kita kalah dalam berkompetisi merebut cinta dari
peminat komik dunia di Indonesia. Upaya mengembangkan komik kiranya
perlu dilakukan bersama-sama, karena dunia perkomikan adalah sebuah
industri yang membutuhkan banyak tangan dan banyak dukungan, bahkan
mungkin pengorbanan yang tidak sedikit dari mereka yang terlibat di
dalamnya. Banyak aspek-aspek manajerial yang harus diperhatikan dalam
memproduksi sebuah komik, dari studi pasar, pembuatannya, pencetakannya,
penerbitannya, serta pejualannya dan pemasarannya, yang memungkinkan
agar komik-komik tersebut menjadi produk konsumsi yang berkualitas dan
laris manis di pasaran.
Aspek manajerial dan struktur pengerjaan ini menciptakan budaya
komik tersendiri, dicontohkan dengan sederhana dimana komik produksi
Amerika membagi-bagi pekerjaan komik ke dalam sketsa pensil, pembubuh
teks, peninta, pewarna, desainer grafis dan produksi final artwork. Di
jajaran manajerial sebuah produksi judul komik mempunyai penanggung
jawab sejak dari editorial hingga produser layaknya produksi sebuah
film. Detil tanggung jawab yang disesuaikan tuntutan etos kerja dan
pasar di negeri itu sendiri, yang ternyata sedikit banyak berbeda dengan
berbagai varian-variannya. Halmana berkaitan dengan kondisi pasar dan
tuntutannya menciptakan pola produksi komik Jepang yang berbeda dengan
komik Amerika sebagai bandingan ukuran raksasa produsen komik dunia yang
besar dan saling pengaruh–mempengaruhi.
Di Jepang pengerjaan komik dilakukan oleh seorang komikus di bantu
beberapa artis sebagai asisten. Dengan mengandalkan ongkos produksi yang
murah, maka penerbit komik di Jepang bersaing ketat dalam kuantitas
penerbitan judul-judul komik baru. Secara kontras kualitas produksi
komik Jepang jauh di bawah komik produksi Amerika yang sifatnya
kolektibel. Komik Jepang tidak bedanya dengan majalah yang sifatnya
temporer hanya untuk sekali baca. Kekontrasan itu bisa dilihat dari
fisik komik Amerika yang tipis dan berwarna, sementara komik Jepang
tebal dan hitam putih atau rasterisasi.
Perbedaan kualitas produksi ini juga berdampak pada variasi
tema-tema yang diangkat ke dalam bentuk komik. Beberapa penerbit komik
di Amerika berorientasi pada kekhasan jenis penerbitan mereka, sementara
penerbit komik Jepang berorientasi kepada pembaca yang dituju.
Tiap-tiap penerbit komik Amerika mempunyai ciri jenis tema yang biasa
menjadi khas masing-masing penerbit, sedangkan di Jepang penerbit komik
bahkan mempedulikan usia pembaca komik dan gendernya. Maka muncullah
khas penerbitan komik Jepang yang dikhususkan bagi kaum hawa. Dari sini
pula muncul perbedaan mencolok jumlah komikus wanita di penerbitan komik
Jepang, yang secara kontras jumlahnya minim pada penerbitan komik
Amerika.
Masih banyak lagi hal yang bisa diperhatikan dari aspek manajerial
dan struktur penerbitan komik dari dua negeri komik tersebut. Hal yang
penting untuk dipelajari adalah bagaimana memetik pelajaran dari
berbagai pola yang ada, kemudian disesuaikan dengan kondisi dalam
negeri, disesuaikan dengan etos kerja dan budaya di Indonesia. Sebagai
gambaran dalam negeri, kita belum mempunyai cukup sumber daya terlatih
dan profesional bila ingin mengikuti pola produksi komik Amerika yang
begitu terperinci, di sisi lain kita belum sampai pada tuntutan jumlah
produksi komik seperti di Jepang.
Kualitas produksi komik lokal barangkali masih jauh bila harus
mengejar kualitas komik Amerika, tapi bukan berarti alternatif
terbaiknya adalah mengikuti pola produksi dalam mengejar kuantitas
seperti komik Jepang. Idealnya adalah dengan melirik juga kondisi selera
pasar di Indonesia masih sangat terbuka, tergantung pada komik mana
yang membanjiri pasar maka besar kemungkinan itulah yang kemudian
diminati oleh sebagian besar pembaca. Ada baiknya komik Indonesia
bereksperimen dalam mencari dan menemukan teknik berproduksi tersendiri
agar bisa merebut pasar dengan memenuhi harapan pembaca komik yang sudah
ada, baik secara kualitas maupun kuantitas, dimana komik lokal dapat
mencuri celah posisi yang ada diantara berbagai warna dan gaya
komik-komik terjemahan.
Apabila dibuatlah sebuah anggapan bahwa komik sebagai sebuah
konsepsi, maka dapatlah ia diterapkan melalui berbagai medium seni dan
dapat pula menjadi medium seni tersendiri. Memandang komik sebagai
rujukan pada sebuah peran bukan sekedar bentuk belaka, maka komik bisa
menjelma menjadi pesan yang diperankan untuk merekatkan berbagai bentuk
seni dan budaya.
Di Indonesia menurut Arswendo Atmowiloto adalah Zam Nuldyn, seorang
cergamis kota Medan, yang memperkenalkan sebutan CERGAM di akhir tahun
1950-an. Dan sebutan ini masih dapat di temukan dalam beberapa
penerbitan komik terjemahan di awal tahun 1990-an, seperti terbitan dari
Misurind. Istilah cergam dikatakan akronim dari cerita bergambar (lebih
tepatnya cerita gambar) atau cerita berbentuk gambar meniru istilah
cerpen(cerita pendek). Tapi sebenarnya itu adalah gambaran sikap lunak
untuk menghindarkan tuduhan bahwa komik adalah momok . Dan untuk
sementara waktu, komikus-komikus di masa itu sempat menyukai istilah ini
karena konotasinya dianggap lebih bagus, dan sempat pula kabarnya
berdiri perhimpunan profesi bernama Ikatan Seniman Tjergamis Indonesia
(IKASTI).
Sekedar menilik dari istilah cergam, bila dikatakan sebagai akronim
dari cerita bergambar maka maksudnya tentu adalah cerita yang
mempunyai/disertai oleh gambar-gambar, selain bisa berarti pula sebuah
cerita berbentuk gambar. Adalah lebih tepatnya cerita berbentuk gambar
ini disebutkan dengan cerita gambar (picture stories) mirip dengan
sebutan bagi pra-konsepsi komik yang dirintis oleh Rodolphe Toppfer di
Eropa dulu. Begitu pula bila kita mengikuti peristilahan cerpen (cerita
pendek) maka seharusnya cergam di panjangkan sebagai cerita gambar
dengan penghilangan imbuhan ber- pada kata gambar. Tanpa harus
mengorbankan peristilahan bahasa itu sendiri, CERGAM telah menyimpan
rujukan maknanya yang paling sederhana kepada bentuk komik yang kita
kenal hingga saat ini. Istilah ini pun telah sempat hadir sekian lama
dan memberi ciri khas penerbitan komik-komik di Indonesia. Malangnya
setelah kematian cergam Indonesia, ditandai dengan redupnya penerbitan
dan peredaran komik produksi lokal dan membanjirnya komik-komik
terjemahan di era 1990-an, maka istilah ‘cergam’ ini pun pergi untuk
selama-lamanya. Pekan Komik dan Animasi Nasional yang cukup rajin
diadakan, Kajian Komik Indonesia sebagai lembaga pengkajian komik, dan
Masyarakat Komik Indonesia sebagai wadah berkumpulnya berbagai insan
pecinta komik, tampaknya sudah menutup rapat pintu bagi sebutan komik
Indonesia dengan 'cergam', yang barangkali dianggap sudah tidak sesuai
jaman, atau barangkali memang sudah tiada lagi upaya memaknai kembali
akronim itu. Sekarang ini malah terjadi kelatahan yang melanda di
kalangan muda, aksen-aksen dalam bahasa jepang mulai biasa diucapkan
sebagaimana aksen-aksen dalam bahasa Inggris di pakai, dikarenakan
bacaan terjemahan dari komik negeri matahari terbit atau manga tersebut.
Sebutan komik mendapatkan sandingan barunya, Manga. Ada komik lokal,
ada manga lokal. Sebagian mulai rancu hendak menyebut karyanya sebagai
komik atau manga, dan sebagain juga mulai bingung apakah memilih
menyebut dirinya komikus atau mangaka, meski pada dasarnya sama saja.
Berbeda dengan sebutan ‘manga’ yang awalnya sederhana kemudian
terus-menerus dimaknai lebih oleh bangsa jepang sendiri, nasib akronim
istilah ‘cergam’ justru ditinggalkan dan tidak diberi makna lebih lagi,
sehingga sebutan cergamis dirasakan kalah bagus dengan komikus apalagi
mangaka. Tanpa bermaksud mendebatkan lebih jauh tentang peristilahan,
dapat dilihat bahwa sebutan cergam sebagai padanan comic atau manga,
kini telah dibekukan.
Kelahiran komik Indonesia, sebuah perjuangan.
Konon katanya, komik bila dilihat dari sejarah dan hasilnya, mampu
menampung permasalahan sosial, politik, agama, filsafat, sejarah,
perjuangan, penerangan dan aspek-aspek lain dalam kebudayaan, demikian
yang pernah diungkapkan pada tahun 1982 oleh Arswendo Atmowiloto selaku
pengamat komik dalam artikelnya yang berjudul ‘Komik dan Kebudayaan
nasional’ di majalah Analisis Kebudayaan. Rangkaian pikiran yang
terkandung dalam tulisan itu masih tampak relevan dengan kondisi
perkomikkan dalam negeri hingga saat ini. Dari sana dapat kiranya
ditarik kesimpulan walau mungkin terdengar sedikit tergesa-gesa,
bahwasannya komik Indonesia pada kelahiran pertama sangatlah dekat
dengan realitas permasalahan sosial yang ada, dan itu cukup mencerminkan
kondisi perjuangan kebangsaan yang sedang bergolak.
Sementara komik strip Put On, dengan komikusnya Kho Wan Gie yang
ditasbihkan sebagai generasi komik Indonesia pertama sejak tahun
1930-an, yang dari isinya bisa dipelajari kondisi perubahan sosial,
politik dan budaya dari warga Cina peranakan dengan segala permasalahan
hidup mereka tinggal di Jakarta , ternyata terdapat pula buku komik yang
dilansir lahir pertama kali yaitu 'Kisah Pendoedoekan Jogja' karya
komikus Abdulsalam, yang malah berkaitan langsung dengan peristiwa yang
benar-benar sedang terjadi, yaitu tindakan agresi militer kedua Belanda
(sebagai penjajah) yang melanggar perjanjian Renville dengan menyerang
jantung Republik Indonesia yakni ibukota Yogyakarta. Komik ini terbit di
tahun yang sama dengan tahun kejadian Agresi II – 1948, hal ini
menunjukkan bagaimana keterlibatan dan peran langsung dari komikusnya
seolah-olah melakukan aksi perjuangan dengan mencatat peristiwa tersebut
ke dalam goresan komiknya yang dimuat bersambung di harian Kedaulatan
Rakyat, sebelum akhirnya dijadikan buku .
Apa yang pernah dilakukan Abdulsalam mungkin mirip seperti yang
diistilahkan oleh Seno Gumira Ajidarma dengan jurnalisme komik, yang
dapat kita temukan pada Palestine, sebuah laporan jurnalistik tentang
keadaan warga Palestina dalam bentuk komik. Komikusnya, Joe Sacco,
keluar masuk rumah warga dan melakukan wawancara, mendengar, menulis,
melihat dan menuturkannya kembali dalam bahasa visual . Kita mungkin
tidak tahu apakah Abdulsalam melakukan hal yang sama dengan Joe Sacco,
tapi terlepas dari itu, dapat diperhatikan bagaimana dekatnya
keterlibatan komik dengan permasalahan lokal dan nasional pada masa itu.
Beberapa tahun kemudian ketika zaman keemasan komik Indonesia yang
ditandai dengan ‘Periode Medan’, selain kisah-kisah legenda dan
mitos-mitos lokal yang sebelumnya telah banyak diangkat, juga mulai
diangkat tema-tema yang berkaitan dengan masalah sosial masa itu seperti
sabotase, kekacauan, ekstrimis, ketidakpuasan pada sistem pemerintahan
yang berpusat di jawa, yang diolah ceritanya oleh seorang komikus
bernama Zam Nuldeyn dengan tokoh komiknya,”Detektif Bahtar(1955)” .
Sejak dulu hingga saat ini pun komik dianggap bacaan yang menghibur.
Isinya bermacam-macam. Ada humor-dagelan, petualangan, fantasi, drama,
biografis, jurnalistik, erotis dan filosofis serta masih banyak
berkembang lagi dengan tema-tema yang lebih spesifik. Medium hiburan
yang satu ini tidak mengenal dan tak peduli strata sosial maupun
pendidikan pembacanya. Siapa saja boleh memilih sendiri komik yang
sesuai kemauannya saat kapan saja.
Demikianlah sedikit gambaran dunia komik dewasa ini, tapi benarkah
komik hanya berhenti sebagai sebuah media penghibur belaka? Tangguhkan
dulu, coba perhatikan kembali keterlibatan sosial komik seperti yang
telah diuraikan di paragraf-paragraf sebelumnya. Selain itu komik juga
disinyalir mempunyai kandungan ideologis bahkan gerakan politis tertentu
yang disadari maupun tidak. Tambahan lagi melalui pengamatan Marcel
Boneff, seorang peneliti komik Indonesia dari Perancis, berpendapat
bahwa komik Indonesia adalah sumber utama untuk memahami mentalitas
bangsa Indonesia. Hal ini menunjukkan komik pun tidak lagi sekedar
hiburan yang biasa-biasa saja, telah ada keseriusan tertentu dalam
menanggapi penggarapan komik-komik. Perlu ada kedewasaan dan wawasan
dalam mengkritisi kehadiran komik dalam masyarakat kontemporer dewasa
ini. Meskipun tak bisa kita pungkiri bahwa dominasi komik-komik untuk
konsumsi anak-anak dan remaja masih yang terbanyak memenuhi rak-rak toko
buku di Indonesia tercinta ini. Untuk kalangan dewasa dan orang tua
biasanya mereka bisa mendapatkannya lewat pemesanan khusus, misalnya,
via belanja internet ataupun menitip koleganya yang berada di luar
negeri. Sebagian sangat kecil pasar ini sudah dibidik oleh komik-komik
underground dengan tema-tema yang spesifik yang terkadang provokatif.
Jikalau kita berjalan-jalan di arena bazaar komik lokal maka akan
kita temui keunikan dalam setiap pameran komik yang berlangsung di dalam
negeri, selain mengusung kata ‘komik Indonesia’ adalah sebuah kenyataan
terbalik dari keadaan umumnya, yaitu jumlah peserta pameran yang
berasal dari komikus-komikus independen dan bawah tanah justru lebih
banyak daripada peserta pameran dari penerbitan-penerbitan umum. Hal
yang sangat kontras bila kita perhatikan pada rak-rak toko buku yang
besar-besar tapi tak satu pun bisa kita temui komik-komik seperti yang
ada saat pameran komik seperti itu Hal ini bisa dibuktikan dengan
melihat Pekan Komik dan Animasi Nasional (PKAN) yang digelar kembali
untuk ke-empat kalinya tahun 2003 ini di kota Yogyakarta.
Sebelum-sebelumnya semenjak tahun 1997, pameran komik lokal sudah
menjadi agenda kegiatan di berbagai kota-kota di nusantara setiap
tahunnya, bahkan setahun belakangan ini semakin meningkat intesitasnya.
Kita belum tahu akan bagaimanakah ke depannya, apakah gerakan pameran
komik lokal ini adalah sebuah simbol penambah semaraknya dunia hiburan
dewasa ini, ataukah ia menjadi suatu gerakan yang lebih mandiri bukan
sekedar mencuri perhatian sejenak saja.
Berikut ini disebutkan secara singkat perjalanan komik Indonesia
yang mewakili tiap-tiap jamannya. Seperti yang telah disebutkan diatas
komik strip Put On tercatat sebagai komik resmi pertama yang muncul di
suratkabar Sin Po oleh Kho Wan Gie. Kemudian Mentjari Poetri Hidjau oleh
Nasrun A., Kisah Pendoedoekan Jogja karya Abdulsalam, R.A.Kosasih
dengan Sri Asih dan John Lo dengan Nina Poetri Rimba, Kwik Ing Hoo
dengan Wiro: Anak Rimba yang populer di masanya, cergam-cergam wayang
dipelopori Ardisoma dan Kosasih, Siaw Tik Kwie, guru dari Ganes Th,
menelorkan serial bersambung Sie Djin Koei di majalah Star Weekly tahun
1958, bersama juga di majalah ini hadir tokoh si A Piao karya Koei Kwat
Siong, era 60-an cergamis Sumatra tampil unjuk gigi, diantaranya yang
gigitannya terkenal adalah Taguan Hardjo, Zam Nuldeyn dan Djas yang
menampilkan artistik dan penggarapan tema yang sangat beragam, memasuki
era 70-an, pengaruh komik heroik Amerika dan cerita silat Hongkong kian
kental, namun di masa inipun Ganes Th bisa meraih sukses dengan Si Buta
dari Goa Hantu dan Hans Jaladra dengan Panji Tengkorak, keduanya sempat
dijadikan serial sinetron di akhir tahun 90-an , Hasmi dengan Gundala
yang di layar-lebarkan di tahun 80-an dan Wid Ns dengan Godam, akhir
70-an dan memasuki era 80-an menyusul cergam2 dengan olah artistik yang
semakin mantap, seperti karya-karya Jan Mintaraga dengan cergam
romantiknya dengan tokoh wanitanya yang berwajah indo, Teguh Santosa
dengan cergam silat fantasi, Gerdi WK dengan Gina yang bersetting Timur
Tengah, Djair dengan silat Jaka Sembung yang bahkan di film-kan dan
nyaris hendak di ‘legenda’-kan, Man dengan cergam silatnya Mandala:
Siluman Sungai Ular yang juga berkesempatan di layar lebarkan. Tanpa
harus merasa iri dengan kemajuan komik di luar negeri, komik Indonesia
hingga akhir tahun 80-an telah menunjukkan prestasi yang cukup
membanggakan.
Sayangnya, prestasi dan perjalanan sepanjang lebih kurang lima
dekade itu tidaklah cukup untuk memberikan landasan berpijak yang
berarti bagi pengembangan industri komik lokal selanjutnya. Hampir tidak
ada sebuah penerbitan komik pun yang sanggup melanjutkan penerbitan
komik-komik Indonesia. Penerbit-penerbit yang ada kemudian lebih
tertarik tentunya dengan bisnis menerjemahkan komik luar yang
menguntungkan. Tidak seperti nasib komikus Amerika dan manga-ka Jepang,
cergamis Indonesia tidak pernah beroleh kesempatan dibesarkan oleh
penerbit, justru malah banyak penerbit-penerbit tersebut gulung tikar.
Pemasaran cergam Indonesia mulanya adalah model agensi-agensi dan kaki
lima. Pasar bebas adalah gambaran lahir, berkembang dan mati suri-nya
cergam Indonesia. Kala itu sedikit sekali cergamis yang menempuh jalur
pendidikan formal apalagi tinggi, sehingga minim sekali inovasi-inovasi
yang berkembang di dunia industri cergam Indonesia, meski ditemukan pula
sudah ada teknik rasterisasi pada karya Taguan Harjo, seperti yang kini
dikenal pada komik jepang dewasa ini, serta di samping tentunya masalah
‘perut’ yang tak terelakkan. Di satu masa sebelumnya, penerbitan
terjemahan dari komik-komik eropa seperti dari Belgia dan Perancis,
banyak menyaingi pasaran cergam di Indonesia yang belum begitu mapan
adanya, menyusul banyaknya pula komik saduran dari Amerika dan akhirnya
penerbit menemukan pasar yang luas dengan biaya penerbitan yang murah
dan lebih menguntungkan lewat penerjemahan manga atau komik Jepang.
Kelahiran komik Indonesia, sebuah renesans.“Bedebah… Jahanam… Bangsat….!!!”
Makian-makian para pendekar komik Indonesia itu tentu sudah tak
segagah dahulu. Si Buta, Panji Tengkorak, Godam dan Gundala, satu-satu
roboh dihantam batu menhirnya Asterix-Obelix, jurus peremuk tulangnya
Chinmi, dan akhirnya dikencingi si bocah nakal Sinchan.
Sepenggal kalimat diatas dikutip persis atau istilah milleniumnya di
‘copy paste’ kan langsung dari sumber digitalnya, sebuah arsip pada
portal komik Indonesia yang bernama www.komikaze99.com. Tertanggal
2003-04-13 11:07:48. Dengan segala kelengkapannya sebuah teknologi
digital berbasis jaringan internet memudahkan pemakainya untuk mencari
dan menemukan sumber-sumber yang ia butuhkan. Pencatatan penemuan itu
pun tercatat persis detil-detilnya hingga ke menit dan detik. Maka
dimulailah kelahiran generasi baru dari komik Indonesia yang bukan
dimulai atau dilanjutkan oleh garis keturunan keluarga komikus, atau
keturunan dari keluarga kolektor komik Indonesia, juga bukan lahir dari
penggemar komik Indonesia dan sejenisnya. Kelahiran generasi baru komik
Indonesia benar-benar terputus dari masa lalu dan bayang-bayang gaya
komik Indonesia masa silam. Bolehlah kiranya kita panggilkan kelahiran
kembali ini sebagai ‘renesans’ komik Indonesia yang sangat rapuh, karena
ia terlahir dengan caranya sendiri dan tanpa adanya orang tua yang akan
mengasuhnya. Kapankah kelahirannya? Karena lahir tanpa orang tua yang
mengandungnya, maka ‘renesans’ komik Indonesia ini tersembunyi dan
dikandung di benak masing-masing anak-anak muda yang memimpikan
kehadiran kembali komik buatan anak Indonesia sendiri, terutama komik
miliknya yang paling diimpi-impikan. Kelahirannya pun tidak merupakan
sebuah tanda tunggal yang menandai sebuah kelahiran, tapi berupa
tanda-tanda kelahiran yang tersebar di mana-mana.
Diantara tanda-tanda kelahiran awal yang sangat fenomenal adalah
terbitnya edisi pertama dan mungkin satu-satunya hingga saat ini yang
dicetak dengan gemilang yaitu Caroq, sebuah komik dengan tema
kepahlawanan, seruannya yang yang terkenal,”Pahlawan sudah mati!? Siapa
bilang!” Lalu terlihatlah sosok bertopeng dengan otot-otot yang menonjol
mempertontonkan kepahlawanannya sambil menghunuskan celurit dan
melompat dari arah ketinggian bangunan. Hup! Dan orang-orang diingatkan
kembali bahwa,”Komik Indonesia sudah mati!? Siapa bilang!”
Dibawah bendera Qomik Nasional (QN), terbit pula selain Caroq yaitu
kapten Bandung. Era komik dengan komikus tunggal telah ditinggalkan,
mereka kini menyadari penting dan sulitnya bekerjasama dalam satu
naungan studio komik, seperti Sraten yang sempat menelorkan Patriot,
sebuah komik mengenang pahlawan-pahlawan klasik Indonesia seperti Godam,
Gundala, Maza, dan Aquanus. Ada juga Animik pernah memunculkan Si Jail,
studio ini bertahan hingga kini berkat kerjasamanya dengan berbagai
kegiatan dan bidang usaha terkait lainnya. DS Studio dengan serial silat
manga Alit Kencana, sebelumnya studio Dwi Setyawan ini juga memproduksi
komik untuk majalah-majalah anak-anak. Disamping itu Depdiknas juga
sempat melaksanakan beberapa kali lomba komik yang mana komik pemenang
di cetak oleh Balai Pustaka. Judul-judulnya itu misalnya Ayam Majapahit
oleh Kirikomik, Blandong oleh Ahmad F. Ismail, Kecoa oleh Yudhie dkk,
dan yang belakangan Tekyan yang berkisah tentang anak-anak jalanan.
Lain halnya dengan kota Yogyakarta, sebuah kota kecil yang tempat
dilaksanakannya pekan komik dan animasi nasional kali ini, sebuah tempat
yang kaya akan aneka rupa komik independen. Sejak tahun 1995, suasana
komik underground di kota ini sudah terasa, Core Comic boleh dikatakan
sebagai nama yang cukup di kenal luas, selanjutnya hingga saat ini
banyak terjadi evolusi yang beragam dari kelompok-kelompok pembuat komik
independen di Yogya. Apotik Komik yang banyak membuat komiknya di
tembok-tembok jalanan, Daging Tumbuh berupa kumpulan komik siapa saja
yang dikelola oleh Eko Nugroho, Komikaze yang bertahan melalui komik
online-nya, adalah beberapa contoh populer yang bisa disebutkan.
Tema-tema komik yang diusung pun sedikit berbeda dengan selera komik
masyarakat umum, dimana komik yang dianggap jajanan untuk anak-anak atau
orang dewasa yang kekanakan dikesampingkan. Karena kebebasannya, maka
nuansa tema komik juga lebih bebas menggarap tema-tema yang jarang
ditemukan pada produksi komik mainstream, cerita yang kadang aktual apa
adanya, kadang keras, kadang satir yang kasar, dan kadang-kadang juga
bisa nihil dan absurd. Nuansa ini biasa dipanggilkan namanya sebagai
nuansa alternatif dalam rimba perkomikkan.
Fenomena gerakan komik Indonesia untuk sementara ini juga sarat
diwarnai nuansa instanitas pelakunya, dimana kenyataan setiap orang
berkesempatan bebas membuat komik dan menyebut dirinya seorang komikus
bila sudah pernah melahirkan komik sendiri barang satu atau dua buah.
Latar belakang tiap-tiap komikus kadang melahirkan pandangan-pandangan
ekstrim masing-masing dalam memandang rimba perkomikkan Indonesia, dari
pandangan yang materialistik yang berorientasikan pasar, hingga yang
idealistik mengekspresikan sisi individunalisnya. Inilah tanda
keberagaman yang unik dalam tubuh ‘bayi montok’ komik Indonesia.
Kondisi kelahiran komik pertama Indonesia dibandingkan dengan
renesans komik Indonesia saat ini, akan terdapat sedikit banyak
persamaan, yakni kondisi sosial politik tanah air yang sedang tidak
menentu. Jika melirik tahun 1930-an sebagai tahun kelahiran komik strip
sebagai komik Indonesia yang pertama, bisa kita lihat bahwa yang namanya
bangsa Indonesia belumlah lahir, resminya perjuangan kemerdekaan bangsa
baru diperoleh tahun 1945 dengan berdirinya negara kesatuan Republik
Indonesia. Lima puluh delapan tahun sebelumnya, komik Indonesia telah
berjuang melalui kisah-kisah yang memberi penyadaran bagi masyarakatnya
akan kondisi dan status kebangsaan yang masih terjajah. Sekarang setelah
melewati rentang waktu separuh abad lebih, bangsa Indonesia mengalami
kondisi kebangsaan yang tidak jauh berbeda tapi dalam bentuk dan pola
yang tak lagi sama.
Reformasi yang bergulir di saat mana perekonomian nasional terpuruk,
kemudian terjadinya disintegrasi bangsa dan morat-maritnya perpolitikan
menambah buruknya kondisi sosial kemasyarakatan di tanah air, sudah
menjadi berita umum yang tak kunjung usai di negeri ini. Beberapa
penerbitan komik sempat juga ada yang mengupas kejadian-kejadian sejak
era reformasi sempat bermunculan, seperti Jakarta 2030, komik-komik
tokoh reformasi Amien Rais, Gus Dur dan Megawati, dan Sukab Intel
Melayu. Namun komik-komik ini gaungnya tidak terasa seperti komik strip
jaman dahulu, kondisi dan situasi yang ada sudah berbeda jauh, dimana
sekarang ini perhatian orang-orang pada komik-komik seperti itu tentu
tergusur oleh gegap-gempitanya beragam komik terjemahan yang menawarkan
bermacam variasi untuk lari dari realitas yang sedang terjadi
disekeliling. Kisah-kisah percintaan, superhero, horor, fantasi, sains
fiksi dan imajinasi cukup menggoda kesadaran kebanyakan khalayak pembaca
komik dan para perupa komik. Beberapa komik pun tampak seperti pelarian
frustasi dari perupanya, atau juga menjadi media menuangkan
impian-impian hidup. Untuk itulah tema komik S.O.S Aceh menjadi sasaran
sebagai tema pokok lomba komik di PKAN. Mungkin ada harapan untuk
mengetuk pintu kesadaran para pembaca dan perupa komik yang mungkin
letih dengan segala persoalan dalam negeri, untuk memberikan sedikit
kepeduliannya sebagai bagian dari bangsa yang sedang dalam kondisi
kritis ini melalui media komik.
Rimba perkomikkan Indonesia, masa kini dan harapan di masa mendatang.
Penggunaan anonim ‘rimba’ bagi dunia perkomikkan Indonesia, hanyalah
sebuah keisengan belaka dalam memandang wajah perkomikkan nasional.
Perkomikkan di Indonesia masih terlihat seperti sebuah rimba raya yang
belum terjelajahi sepenuhnya. Setelah ditinggalkan stagnan selama lebih
kurang dua dekade sejak berakhirnya kejayaan komik nasional di tahun
70-an, perkomikkan Indonesia laksana sebuah hutan hilang yang mulai
kembali dipapaki oleh para penjelajahnya. Rimba ini belum dikenali
seutuhnya, ada penjelajah yang menyelesuri pinggirannya, ada yang
mencoba menerobos ke dalam kelebatannya, ada yang mulai membangun koloni
baru di lahan yang baru dibuka, dan masih banyak yang hanya memandang
angker dari jauh saja.
Belum adanya aturan-aturan main yang baku yang dikhususkan bagi
penerbitan komik, dimana ada sebagian penerbitan memperlakukannya sama
seperti penerbitan buku-buku lainnya, ada pula yang mencoba membangun
kerjasamanya. Pola kerja yang beragam yang masing-masingnya sedang dalam
proses pencarian bentuk-bentuk kerjasama yang lebih sesuai dengan
keadaan, memberi warna pada penggarapan komik-komik lokal. Ada yang
bekerja dibawah naungan sebuah penerbitan dengan membawa misi tertentu,
ada yang menjalin hubungan dengan organisasi nirlaba, ada yang
mengerjakan sendiri, ada yang berkelompok, untuk kemudian mengajukannya
pada penerbit. Selain itu ada pula yang berada di luar sistem penerbitan
umum, dengan membangun jaringan dan pada akhirnya mulai melahirkan
komunitasnya tersendiri. Yang perlu menjadi perhatian disini adalah
sebuah komik bisa eksis bila ada perupa atau artis komik yang bertekad
untuk mengerjakannya dan sebuah komik juga butuh penggemar yang
apresiatif agar eksistensinya bergulir. Selain itu penting pula bagi
insan perkomikkan nasional untuk saling membangun dan mempersiapkan
landasan pijak bagi penjelajah baru yang ingin masuk dan meramaikan
rimba belantara perkomikkan Indonesia yang masih lapang dan asri ini.
Sekian banyak adanya tanggapan-tanggapan yang positif, selayaknya
diambil perhatiannya oleh para perupa komik dan juga pembacanya.
Mengkonsumsi komik ibaratnya menikmati cemilan sembari bersantai di
sofa. Bukanlah kebiasaan umum bila ditemui orang membaca komik dengan
serius seperti membaca buku terori tekstual. Serumit apapun sebuah komik
diolah, orang-orang selalu ingin menikmatinya dengan tanpa beban mental
tertentu. Karena itu literer dalam komik diupayakan jauh dari kesan
‘menggurui’, namun tidak berarti komik bisa dipandang sebelah mata dalam
membentuk mentalitas pembacanya. Justru sebagai salah satu bacaan yang
termasuk pertama-tama dilahap oleh anak-anak usia sekolah, komik
mempunyai peran dan pengaruh yang seharusnya diperhatikan, supaya tidak
timbul sikap prejudis yang tidak-tidak melimpahkan kesalahan pada media
baca komik.Komik merupakan cemilan yang harusnya dijaga baik-baik oleh
para perupanya dari berbagai segi. Dari segi kualitas cerita misalnya,
pengarang cerita komik sebaiknya memperhatikan alur cerita dan logika
pengembangan karakter tokoh-tokohnya, karena hal itu dapat mempengaruhi
pola dan logika berpikir para pembaca. Dari segi kualitas gambar
ilustrasinya, bila memungkinkan para perupa komik bisa berkesempatan
melatih apresiasi kesenian dari pembaca. Berpadunya cerita dan gambar,
teks dan ilustrasi, dalam sebuah komik yang baik, tentunya melatih dua
sisi berpikir, baik kreatif maupun rasional pembaca. Dengan mengasah
ketrampilan bertutur cerita dengan gambar seperti ini, para perupa komik
tentunya akan mendapatkan tempatnya tersendiri dan akibatnya karya
komik pun semakin dihargai oleh masyarakat umum.
Hal-hal tersebut diatas, bukanlah merupakan sebuah beban yang harus
dilimpahkan kepada mereka yang baru memasuki rimba perkomikkan
Indonesia, tapi cukuplah diletakkan di depan pintu kesadaran
masing-masing, biarlah mereka memungutnya sendiri kelak ketika terjun
sebagai profesional dalam bidang komik ini dan sudah dapat mengambil
sikap yang bagaimana dalam menekuni bidang profesi yang dipilihnya ini.
Untuk dapat bersaing kelak, komik-komik yang diciptakan di dalam rimba
perkomikkan nasional harus mempunyai nilai-nilai (value) yang
ditambahkan didalam kreasi komik-komiknya. Nilai-nilai tambah ini akan
mendukung nilai jual tanpa harus terikat dengan kondisi pasar yang sudah
ada, karena tujuannya bukan sekedar seberapa besar kuantitas jumlah
komik lokal yang ada di pasaran, tapi seberapa dalam menciptakan
kecintaan pembaca pada karya komik lokal yang dipandang sebagai produk
yang berkualitas. Sebagian pendapat menyebutnya dengan istilah dalam
pemasaran ‘positioning’ dan ‘branding’ komik Indonesia. Hal ini bukan
pula merupakan sebuah kemutlakan karena terjadi pula tarik ulur antara
urgensi kebutuhan pasar dengan nilai yang ingin ditambahkan ke dalam
sebuah komik. Disitulah menariknya bila kita membaca ‘wajah’ komik
Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, yang masih menjadi
perdebatan terbuka.
Lepas dari masalah pengaruh mempengaruhi, bila kita membaca ‘wajah’
komik Indonesia kini, akan mudah kita temui berbagai cerapan langgam
yang dianggap memenuhi standar kualitatif komik yang dinilai bagus. Pada
terbitan Elex Media Komputindo, kita dapatkan sebagian besar komik
Indonesia mengacu pada standar genre manga(jepang), pada m&c kita
temui komik Indonesia berlanggam amerika, dan pada Mizan dengan berbagai
divisi turunannya akan kita dapati eksplorasi beragam langgam dari yang
kartun eropa hingga semi realis. Belakang hari ini tidak sedikit
penerbitan yang mencoba masuk ke kancah rimba perkomikkan Indonesia
dengan mengusung nilai standar komiknya masing-masing. Penerbitan ulang
yang di beri sentuhan di sana-sini dari karya-karya komik klasik
Indonesia pun turut menyemarakkan ‘wajah’ komik ini. Pergerakan
komik-komik alternatif yang membawa pandangan baiknya tersendiri pun
semakin menambahkan warna pada ‘wajah’ komik Indonesia.
Penutup.
Dari beragamnya sumber-sumber inspirasi dan standar kebagusan
komik-komik kreasi perupa komik lokal, kita berharap akan munculnya
keunikan-keunikan bertutur cerita lewat gambar yang khas masing-masing
individu. Kekhasan masing-masing individu menggali, menemukan,
mengekpresikan verbal maupun visual niscaya akan menumbuhkan citra dan
cita rasa komik Indonesia yang khas, yang mampu mandiri di negeri
sendiri. Bila selama ini identitas selalu diidentikkan dengan ciri ‘yang
satu’, maka identitas komik Indonesia melihat latar belakangnya yang
kaya, yang mungkin terjadi hanyalah identitas dengan ciri ‘yang banyak’
atau ‘yang lain-lain’. Identitas dan ciri khas komik Indonesia tak
selamanya harus satu, karena Indonesia sendiri bukanlah satu tapi
banyak.
Baiklah, mari lupakan semua yang sudah diceritakan di atas, buang
jauh-jauh semua yang ada dipikiran masing-masing dan mulailah mengambil
pena dan kertas polos. Mulailah membuat komik pertama Anda, tanpa
berpikir apa-apa tentang cerita, tentang gaya gambar, tentang ciri,
bahkan tentang apa itu komik. Lupakan juga apa yang baru Anda baca ini.
Biarkan yang ada hanya pena, diri Anda, dan kertas polos. Kita adalah
‘komik’ itu sendiri, kita adalah kisah ‘komik’ itu, kita jugalah
gambaran ‘komik’ itu. Dan biarkan diri kita menghilang dalam ‘komik’,
sampai yang tersisa hanyalah ‘komik’, tak ada sesiapa pun, tak juga
Anda. Selamat Ngomik!
DAFTAR PUSTAKA
1. Ajidarma, Seno Gumira, Palestine atawa Jurnalisme Komik, AIKON, 2002.
2. Arthur Asa Berger, Signs in Contemporary Culture: An Introduction
to Semiotics, penj. M. Dwi Marianto, Penerbit Tiara Wacana, Yogya, 1984
3. Atmowiloto, arswendo: Komik dan Kebudayaan Nasional, Jurnal Analisis Kebudayaan, 1982.
4. Boneff, Marcel, Komik Indonesia, penj. Rahayu S. Hidayat, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 1998.
5. Budiman, Agung Arif, Majalah Infotekno, Edisi 10 thn. 2, Jakarta, 2002.
6. Eisner, Will, Comics and Sequential Art, Poorhouse Press, 2000.
7. Eisner, Will, Graphic Stroytelling, Poorhouse Press, 2000.
8. Franz, Kurt, dan Bernhard Meier, Membina minat baca, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 1994.
9. H. McGynn, John, Indonesian Heritage: Visual Art, Archipelago Press, Singapore, 1999.
10. Hart, Christopher, Drawing Cutting Edge Comics, Watson-Guptil Publications, 2001.
11. Horn, Maurice(ed.), The World Encyclopedia of Comics, Chelsea House Publisher, Philadelphia,U.S, 1998.
12. Hugh Honour & Ian Fleming, A World History of Art, Laurence King Publishing, 1999.
13. McCloud, Scott, Understanding Comics: The Invisible Art, HarperPerrenial, 1994.
14. O’Neil, Dennis, The DC Comics Guide to Writing Comics, Watson-Guptil Publications, 2001.
15. Sabin, Roger, Comics, Comix and Graphic Novels: A History of Comic Art, Phaidon Press Limited, 1996.
16. Sidharta, Myra, Jakarta Through The Eyes of ‘Ko Put On’.
17. Smith, Andy, Drawing Dynamic Comics, Watson-Guptil Publications, 2000.
18. Taryadi, alfons(ed.), Buku dalam Indonesia Baru, Yayasan Obor Indonesia dan The Japan Foundation, Jakarta, 1999.
19. The Society for the Study of Manga Techniqiues, How to Draw Manga: Volume 3, 2001.
20. Varnedoe, Kirk. “Comics,” High and Low: Popular Culture and Modern Art, Thames & Hudson, 1996.