Batman dan Tenaga Besar Komik
Agus Dermawan T ; Kritikus Seni, Penulis Buku-Buku Seni-Budaya
KORAN TEMPO, 26 Juli 2012
Pada
20 Juli lalu sebuah kejadian mengerikan meledak di gedung bioskop
Aurora, di Kota Denver, Colorado, Amerika Serikat. James Holmes
tiba-tiba menembakkan senapannya ke ratusan orang yang sedang menonton
film Batman – The Dark Knight Rises karya
sutradara Christopher Nolan. Puluhan orang luka-luka, tiga di antaranya
orang Indonesia, dan belasan orang meninggal dunia. Menurut pengakuan
James, ia terpengaruh oleh karakter Joker dalam film-film Batman.
Joker
adalah tokoh perusak yang lihai, pembunuh yang pintar, penjahat yang
berotak brilian, musuh bebuyutan Batman. Meski dalam seri Batman – The Dark Knight Rises si
keji Joker itu sudah tidak ada, dan digantikan oleh si manusia
bertopeng Bane, karakter Joker tetap melekat dalam diri James. Pemuda
ini memang menghayati kehidupan Joker sampai ke dasar-hatinya. Semua
film Batman ia tonton. Bahkan sebagian besar komik Batman ciptaan Bob
Kane itu sudah ia baca. Dengan demikian, karakter Joker sudah meresap ke
dalam dirinya jauh sebelum film tentang Batman ditontonnya. Film
tentang Batman memang bersumber dari komik Batman, yang diterbitkan DC
Comics sejak 1939.
Dianggap Rendah
Sampai
di sini kita akhirnya terpana oleh sugesti sebuah komik. Betapa komik
bisa begitu kuat berpengaruh terhadap kehidupan manusia, terutama remaja
dan anak muda. Betapa komik itu mampu menyedot perhatian, dan sekaligus
mengaduk-aduk hati dan pikiran para pembacanya. Pengamat komik Arswendo
Atmowiloto pernah mengerucutkan keterpanaan ini dalam sebuah
kesimpulan: “Komik adalah sastra dalam gambar.” Apabila sastra
(kata-kata) adalah kekuatan besar yang mempengaruhi pikiran orang, dan
apabila gambar adalah kekuatan hebat yang memberikan contoh visual ihwal
perilaku, apa yang terjadi apabila dua kekuatan itu bersatu-padu? Itu
sebabnya, komik lantas diakui sebagai karya seni yang paling memiliki
potensi untuk membuat pengaruh secara langsung.
Pesona
komik segera saja menguasai kehidupan. Sejak dekade ketiga abad ke-20,
komik memecahkan rekor paling tinggi dalam penjualan di Amerika. Dengan
satu judul bisa mencapai oplah ratusan ribu, komik mengalahkan
penerbitan jenis buku apa pun! Mungkin karena bikin cemburu, bom komik
ini segera mendapat tentangan keras dari kaum intelektual. Alhasil,
dalam sejarah kebudayaan manusia modern, tidak ada karya seni yang
paling dijunjung dan sekaligus paling dinista selain komik.
Kaum
intelektual menganggap komik sebagai hasil kebudayaan pop, kebudayaan
sepintas lalu, yang di dalamnya sering ditawarkan selera rendah. Mereka
membayangkan betapa sesuatu “yang rendah” dikonsumsi serentak oleh
begitu banyak orang. Bayangan ini lalu menggugah senat Amerika Serikat
untuk menerbitkan undang-undang perkomikan atau comic code pada
awal 1960-an. Tapi para penggemar dan penghayat komik tidak diam begitu
saja. Pada kurun yang sama, di negeri itu muncul gerakan Pop Cult,
pemujaan atas segala yang berbau pop, atau populer. Di antaranya komik.
Gerakan
pendukungan komik ini kemudian merambat ke negara-negara Eropa,
sehingga Prancis punya Asterix dan lain-lain. Pada tahun-tahun
berikutnya dikukuhkan di Jepang lewat gerakan manga. Di Negeri Matahari Terbit ini, menurut pengamat komik Takahashi Mizuki, komik manga rata-rata
setiap tahun dicetak dalam jumlah lebih dari 1 miliar kopi. Dan ini
merupakan 40 persen dari jumlah penerbitan seluruh buku di Jepang.
Bahkan manga menyebar ke seluruh dunia.
Komik Indonesia
Kontroversi
hegemoni komik juga terjadi di Indonesia pada awal 1960-an. Sebagian
orang tua gelisah melihat anak-anaknya tenggelam dalam dunia komik.
Apalagi setelah melihat ternyata tidak sedikit komik yang kurang
menonjolkan sisi-sisi baik, sehingga sikap cengeng dan ugal-ugalan tokoh
komik menjadi panutan. Tapi sisi negatif komik ini segera diantisipasi
oleh pengusaha dan pencipta komik Indonesia. Mereka menerbitkan komik
yang dianggap sebagai perlawanan dari komik yang asal menghibur. Komik
edukatif pun berlahiran.
Penerbit
Casso dan Harris di Medan memunculkan komik cerita legenda Tapanuli,
Deli Kuno, atau Minangkabau. Pasar komik ini bagus, sehingga banyak
komikus dari Jawa yang bergabung dan mencipta komik dengan tema lokal
Sumatera. Lalu lahirlah komik Bunda Karung,
yang mengisahkan peran wanita dalam sistem masyarakat Minang yang khas
itu. Komik berlatar sejarah kesultanan Pasai dan Siam ditampilkan dalam Mirah Tjaga dan Mirah Silu. Komik etika tampil lewatHang Djebat Durhaka,
yang disadur dari hikayat masyhur Hang Tuah. Dari situasi ini, muncul
nama R.A. Kosasih (yang meninggal dunia pada 24 Juli 2012), yang
mencipta Ramayanadan Mahabharata, serta Taguan Hardjo yang menggubah Kapten Yani dengan Perompak Lautan Hindia.
Di
Jakarta dan Surabaya, diilhami oleh heroisme Bung Karno, pada 1960
sampai 1963 bermunculan komik yang menyulut rasa nasionalisme. Misalnya Toha Pahlawan Bandung Selatan serta Pemberontakan Trunodjojo, yang mengisahkan keuletan bangsa Indonesia melawan VOC. Juga komik Srikandi Tanah Minang,
yang bercerita ihwal kepahlawanan penduduk, terutama para wanita,
kepada fasisme Jepang. Pada masa ini juga tumbuh subur komik-komik roman
remaja, namun tetap menyimpan tendensi membangun budaya.
Bagai yang ditunjukkan lewat komik Ilham dan Crossboy atau Ganjang Rok Ketat.
Kejayaan komik edukasional seperti ini surut setelah G30S-1965. Pada
kurun 1967-1970, komik tampil dengan beragam tema. Beberapa komik Ganes
T.H., Yan Mintaraga, Teguh Santosa, Hans Jaladara, dan Djair termasuk
yang bermutu.
Memasuki abad ke-21 sebagian komik Indonesia dihidupkan dalam bentuk i-comic,
yang bisa diakses lewat komputer. Di sini pembaca komik ternyata
berhasil dibangkitkan. Seperti dicatat pihak operator Divisi Gaming
& Content Indosat, i-comic yang memvisualkan cerita Kho Ping Hoo sanggup mendatangkan 50 ribu pengakses. Dan komik silat Senopati Pamungkas, yang diangkat dari novel Arswendo Atmowiloto, menjaring tak kurang dari 30 ribu pengakses.
Kembali
ke Batman, komik terbukti memiliki tenaga besar untuk mempengaruhi
siapa saja dan kapan saja. Sampai akhirnya menjadi ilham utama bagi
dunia film. Dari sini kita boleh berharap di Indonesia banyak lahir
komik yang mengisahkan perang antara kelicikan koruptor dan taktik
pemberantasnya. Bravo komik! ●