Background

Komik Indie Sebuah Alternatif

Komik Indie adalah tawaran alternatif untuk bisa menerjuni dunia komik.

Ahli semiotika Arthur Asa Berger dalam bukunya, "Signs in Contemporary Culture: An Introduction to Semiotics", mengatakan, komik sebenarnya memiliki banyak hal yang dapat kita baca, namun hanya jika kita peduli.

Masalah dasar yang penting, mengapa setiap generasi toh rata-rata tak melahirkan penerus yang sebaiknya menyempurnakan generasi sebelumnya seperti pernah dicetuskan Marcel Boneff dalam bukunya, Komik Indonesia (KPG, 1998)? Di sini mereka menjelaskan adanya problem generation gap yang tak disadari banyak komikus (juga pengamatnya) cukup memengaruhi regenerasi komik kita menjadi mandek. Akibatnya, komik yang baru terbit rata-rata gagal memikat sasaran pembacanya, di samping
komikusnya sendiri relatif belum siap memasuki industri dengan cerita dan gambar yang memikat lantaran selalu menunggu mood. Dalam hal satu ini, buku ini secara bijak menyatakan gagasan untuk tak segan-segan
mengikuti pola kerja kolaborasi studio yang lazim dilakukan komik impor, demi menghasilkan komik yang bermutu.

Secara komprehensif imbauan ini pun tak berhenti pada gagasan, melainkan juga terapan yang dapat disimak sebagai panduan (hal 143, Belajar dari Industri Komik Dunia). Di bagian tentu terdapat pencerahan bahwa hadirnya komik impor jangan melulu dianggap "musuh", satu hal yang sering terjadi dalam diskusi komik, melainkan apa yang bisa dipelajari secara positif.


Peran pers yang lebih banyak mengulas karya komik indie juga tak ketinggalan. Karena persepsi istilah indie dan underground di sini pun masih kabur (antara pengertian indie yang sungguh-sungguh "melawan kemapanan" atau hanya jadi metode penerbitannya) sehingga gerakan komik indie kurang kuat memberi pengaruh budaya seperti di Amerika, pers pun juga terjebak dalam posisi "menanti karya unggul dari komikus indie".

Padahal, jika mau lebih arif, cukup banyak komik lokal yang "tidak harus indie" toh cukup bernyali sebagai karya seni mutakhir. Dampaknya jika dikatakan regenerasi komik lokal mandekâ€"seperti umumnya lontaran pembuka pembahasan komik lokal di media massaâ€"tak sepenuhnya betul lantaran baru sebagian kecil saja yang terbahas.

Untuk hal ini, sejarawan Lewis W Spitz dari Universitas Stanford dalam tulisannya, Sejarawan dan Ia Yang Lanjut Usianya (God and Culture, DA Carson/John D Woodbridge (ed)), sebenarnya sudah mengingatkan bahwa seperti perkembangan semua umat manusia lainnya, sejarah pun memerlukan penglihatan ke depan seperti juga hikmat akan pandangan masa silam. Dengan kata lain, jika mau berkembang, sejarah pun harus
dilihat sebagai cermin untuk memperbaiki keadaan ke masa depan, bukannya terkungkung ke masa lalu dengan bertumpu pada pola pikir "harus lokal-kontekstual".

Penggunaan ilustrasi dalam buku ini juga tak hanya menjadi dekor karena sebagian menyatu dalam teksâ€"mirip yang dilakukan komikolog Scott Mc Cloud dalam buku Understanding Comicsâ€"sebuah buku telaah komik yang sampai kini menjadi referensi paling memadai sebagai upaya menilai komik sebagai karya seni seperti buku Will Eisner, Comic and The Sequential Art. Bedanya, dalam buku ini trio penulis yang menyebut dirinya "Martabak" (Mari Kita Bahas Komik) ini tidak seluruhnya mengolah teks buku menjadi gambar.

Categories: Share

Leave a Reply