Komik Indie dan Semangat Kemerdekaan
Indie adalah sebuah Perlawanan.
Media indie adalah media-media yang dibuat
secara swadaya oleh individu atau kelompok kecil. Jenis media ini kadang
juga disebut "media alternatif". Sebutan indie konon berasal dari
falsafah “do it yourself” di komunitas punk. Varian media ini merambah
hampir di segala bidang. Sebut saja eksistensi buku-buku dan komik indie
yang masih terus tumbuh sampai sekarang, atau bentuk sempalan yang
kurang umum seperti brosur dan koran tempel. [ Wikipedia]
Adakah indie yang bisa lepas dari spirit DIY (do it youself),
tapi kita tetap ada dalam kategori indie. Aku ingin menggagas sesuatu
yang melewati batas ego-ego personal. Aku senang dengan perlawanan kaum
indie terhadap kapitalisme, dalam suatu ulasan tentang media indie,
Louis Althusser dikutip, bahwa ilmu pengetahuan sejak lama telah menjadi
state apparatus ideology. Aku tertarik dengan ulasan ini.
Diawali dengan semangat untuk melawan hegemoni komik-komik dari luar Indonesia, pada pertengahan tahun 1990-an muncullah komik-komik independen (lokal). Mencoba tampil berbeda, membuat gaya gambar lebih variatif dan eksperimental. Banyak komikus-komikus indie (independen) mengandalkan mesin fotokopi untuk penggandaan karya-karya mereka. Sistem distribusi paling banyak dilakukan di pameran komik, baik dengan jalan jual-beli atau barter antarkomikus. Tak jarang ada komikus yang menghalalkan karyanya untuk diperbanyak dan disebarluaskan, dengan motto copyleft (lawan dari copyright atau hak cipta). Tentunya tidak untuk tujuan komersil.
Jika komik indie termasuk kategori jenis penerbitan, maka dari segi tema dikenal juga istilah komik underground (bawah tanah/gerilya). Pada umumnya, komik-komik ini bertemakan isu-isu personal, sara, bahkan yang relatif tabu dalam masyarakat seperti seks, kekerasan berlebihan, politis, dan masih banyak lagi. Kebanyakan komik underground akan mengikuti pola penerbitan indie label atau self publishing, tanpa melibatkan penerbit besar (major label) di jalur mainstream.
Dalam perkembangannya, gerakan ini berkembang menjadi sebuah bentuk perlawanan terhadap hegemoni apa saja seputar perkomikan. Berhasil tampil beda, dan senantiasa berusaha mempertahankan perbedaan tersebut. Eksperimen yang terus menerus menghasilkan gaya tersendiri, demikian pula dengan cara bertuturnya. Bahkan sebagai bentuk perlawanan terhadap „hegemoni‟ kertas dan buku, mereka menggunakan semua media yang ada seperti tembok untuk mural, kain untuk spanduk dan kertas bekas sebagai poster.
Hingga saat ini, walaupun tidak segegap-gempita pada tahun 1990-an, komik-komik fotokopian masih eksis di dunia perkomikan Indonesia. Apa yang telah dilakukan oleh para komikus indie/underground dengan komik-komik fotokopiannya merupakan langkah positif agar komik lokal kembali mendapat perhatian dari para pencinta komik di Indonesia, dan oleh karenanya amat layak untuk kita apresiasi bersama.