Sastra Itu "Berat"
Sekretaris
Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Cabang Yogyakarta, baru-baru ini
menyatakan bahwa hanya 5 persen dari semua perusahaan penerbitan di
Yogyakarta, yang menerbitkan buku-buku sastra, karena para penerbit
menganggap buku sastra itu "berat" -- baik materi dan bahasanya,
sehingga kurang laku di pasaran (Kompas, 6 Oktober 2010, Halaman 12).
Karena anggapan tersebut, maka para penerbit kurang begitu berminat
menerbitkan buku-buku sastra. Sekretaris IKAPI Yogyakarta juga
mengatakan bahwa buku cerita dan novel populer sangat laku di pasaran.
Pernyataan ini membuat sejumlah orang bertanya-tanya, apa yang
sekretaris itu maksudkan dengan "sastra"? Bukankah sastra itu mengurung
arti cerita, meskipun novel populer biasanya disisihkan dari sastra?
Kalau pengertian "populer" adalah buku-buku yang
banyak dibeli pembaca sehingga sering dicetak ulang, bagaimana dengan
buku-buku klasik seperti Mahabharata, Ramayana, karya-karya Khalil
Gibran, cerita-cerita detektif karya A. Conan Doyle, yang diperebutkan
untuk diterjemahkan dan diterbitkan banyak penerbit saking lakunya?
Buku-buku itu termasuk karya sastra, bukan novel populer tetapi laku
sekali.
Menerbitkan buku-buku sastra asli, memang kurang
diminati para penerbit, meskipun diakui sebagai karya sastra yang
unggul. Para penerbit hanya berpikir mendapat untung dan jangan rugi.
Adanya mitos yang menganggap "sastra itu berat" juga mengakibatkan buku
sastra kurang laku di pasaran. Kalau hanya untuk mencari keuntungan,
penerbitan bukanlah lapangan yang tepat untuk diterjuni. Usaha penerbit
berupa buku, bukanlah sekadar komoditas yang bisa dijual dan
menghasilkan untung, karena buku dapat memengaruhi jiwa pembacanya.
Penerbit seharusnya memunyai paling tidak sedikit
idealisme untuk turut mencapai tujuan bernegara, seperti yang tercantum
dalam Undang-Undang Dasar -- "mencerdaskan bangsa". Kalau semata-mata
hanya mengejar keuntungan, membuka warung bakso akan lebih menjanjikan.
Kecilnya minat pembaca terhadap karya-karya sastra,
erat hubungannya dengan pelajaran sastra di sekolah-sekolah. Secara umum
diakui, pelajaran sastra (juga bahasa) di sekolah-sekolah masih jauh
dari memuaskan. Murid-murid hanya diberi tahu dan disuruh menghafal
nama-nama pengarang dengan judul-judul buku yang mereka tulis, ditambah
dengan pengarang tersebut termasuk ke angkatan mana. Jarang sekali murid
diperkenalkan dengan buku-buku sastra, apalagi mendapat kesempatan
membacanya karena sekolah umumnya tidak memunyai perpustakaan.
Pendeknya, kesempatan anak-anak bertemu dan membaca
karya-karya sastra sangat sedikit. Kesempatan untuk belajar dan
menikmati keindahan sastra sangat terbatas. Padahal, untuk menggemari
sesuatu mutlak diperlukan perkenalan dan "pergaulan" yang akrab dengan
yang harus digemari itu. Untuk menggemari membaca komik atau "novel
populer" juga diperlukan perkenalan dan "pergaulan". Hanya kesempatan
bertemu dan "bergaul" dengan komik dan bacaan populer lebih banyak,
karena komik dan "novel populer" lebih banyak diterbitkan karena adanya
mitos bahwa "sastra itu berat" di kalangan penerbit.
Dalam hal sastra Indonesia memang ada masalah bahasa.
Perkembangan bahasa Indonesia yang sangat cepat dan tidak terkendali,
menyebabkan bahasa karya-karya sastra cepat dianggap "ketinggalan
zaman", sehingga menyusahkan generasi belakangan untuk membacanya.
Siapa generasi muda yang akan tahan membaca bahasa
yang digunakan oleh Marah Roesli dalam Siti Nurbaya atau Abdoel Moeis
dalam Salah Asuhan?
Tidak ada usaha membuat edisi pelajar dari
karya-karya sastra klasik, agar pelajar dapat menikmatinya seperti
orang-orang Inggris membuat edisi pelajar dari karya-karya William
Shakespeare, Charles Dickens, Oscar Wilde, dan lain-lain, bahkan juga
membuat edisi buku bergambar, agar sejak kecil anak-anak diakrabkan
dengan karya-karya sastra nasionalnya? Masalahnya, di Indonesia tidak
ada yang menganggap sastra itu penting, termasuk pejabat di Kementerian
Pendidikan, sehingga tidak ada yang menganggap pentingnya perpustakaan
(anggaran untuk perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum sangat
kecil).
Di negara maju, anak-anak sejak kecil diakrabkan
dengan karya sastra nasionalnya. Sebelum bersekolah, mereka dibiasakan
bermain-main dengan buku-buku bergambar yang memuat dongeng-dongeng
nasional warisan nenek moyangnya, sehingga mereka mengenal tokoh-tokoh
utama mitologinya. Dalam buku-buku demikian, yang dipentingkan
gambarnya, teksnya dibuat sesedikit dan sesederhana mungkin. Dalam
buku-buku bergambar yang ditujukan untuk anak-anak sekolah, teksnya kian
banyak. Akhirnya pada tingkat tertentu, mereka harus membaca teks
lengkap karya sastra yang penting. Anak-anak Indonesia lebih mengenal
tokoh-tokoh komik Jepang atau Amerika, daripada tokoh mitologi warisan
nenek moyangnya.
Para penerbit lebih tertarik menerbitkan komik
terjemahan, karena modalnya lebih rendah daripada memesan komik asli
kepada pelukis Indonesia, yang berdasarkan tokoh mitologi atau cerita
Indonesia. Selama orientasi para penerbit hanya "untung dan rugi", masa
depan bangsa Indonesia hanyalah menjadi pasar karya-karya negara lain
yang maju serta kreatif. Selama pelajaran bahasa dan sastra dibiarkan
seperti sekarang, para penerbit akan tetap berpegang kepada mitos bahwa
"sastra itu berat".
Diambil dan disunting dari:
Nama situs | : | Rubrik Bahasa |
Alamat URL | : | http://rubrikbahasa.wordpress.com/2011/01/22/sastra-itu-berat/ |
Judul artikel | : | Sastra Itu "Berat" |
Penulis | : | Ajip Rosidi |
Tanggal akses | : | 7 Maret 2011 |