Suatu Saat dalam Komik Indonesia
Penampilannya nge-punk. Rambutnya mohawk, bak kulit durian. Sisa warna
pink masih tampak di rambut jigraknya itu. Kaosnya hitam bergambar band
punk. Musik yang ia dengarkan? "Ramones man," ucapnya. Ramones adalah
grup punk populer dari New York, AS, pengikut band pelopor punk, The Sex
Pistols.
Rowald Marcellius, nama anak muda itu. Kawannya biasa menyapanya Rowal.
Umurnya 25 tahun. Di ruang tamu rumah kontrakannya di Jalan Mangga
Gandaria Selatan Cilandak Jakarta Selatan itu tiga buah gitar teronggok.
Pantaslah--melihat tampang dan tiga gitar itu--jika ia punya grup band
punk, The Manyoones. "Anggotanya orang-orang manyun," ia terbahak.
Di rumah yang terletak persis di belakang kuburan itu, Rowal tinggal
bersama Al Fitri Muhammad Zachky (Alfi), Prasajadi (Pras), Arief
Priyanto (Aip) dan Djoko Santiko (Sunny). Rowal dan Alfi yang juga
pernah menjadi gitaris sebuah kelompok band ini bersahabat. Keduanya
sering pergi berdua. Lengket kayak lem aibon.
Suatu saat mereka naik Metromini hendak menonton pameran seni rupa. Di
dalam bus itu mereka bertemu seorang gadis cantik. Dasar gokil, mereka
pun seketika memutuskan menguntit sang dara dan lupa pada tujuan semula.
Apakah mereka sama saja dengan anak-anak muda di jalanan yang doyan
iseng dan belagu? Rowal dan Alfi tak cuma menggoda gadis itu, tapi juga
menikmati kisah kuntit menguntit itu untuk dijadikan gagasan segar komik
ciptaan mereka. Komik? Bukankah mereka anak band? Tampang memang "anak
band banget", tapi sesungguhnya mereka lebih menikmati dan serius
menggeluti dunia komik.
Rowal lulusan Desain Grafis Trisakti dan mahir mengkuaskan tinta.
Komik-komiknya yang dimuat dalam Code, komik yang diedarkan di kampus,
bertema roman remaja. Tapi ia juga amat ekspresif ketika menuangkan
gambar dalam komik "superhero" Subali dan Sugriwa yang diterbitkan
Terrant Book pada 2004-2005. Dalam komik ini, ia menjadikan dua tokoh
kera yang mendapat kutukan durja dari Batara Surya itu sebagai hero
dalam perang gangster di lorong-lorong subway kota besar.
Sedangkan Alfi adalah komikus jebolan Desain Komunikasi Visual IKJ. Ia
pembaca tekun karya-karya Stephen King dan pengagum film-film Tim
Burton. Rak besar di lemari salah satu ruang di rumah itu berisi ratusan
DVD, film-film Burton terpajang lengkap di sana. Begitu kagumnya pada
Stephen King, Alfi pun mengambil judul novel King, Graveyard Shift,
sebagai nama rumah kontrakan yang mereka ubah sebagai studio itu
"Kebetulan studio ini berada persis di belakang kuburan, jadi namanya
cocok. Padahal nama itu diambil dari novel King yang bercerita tentang
orang-orang yang bekerja di tengah malam," kata Alfi.
Di studio yang disewa Rp 11 juta per tahun itu berkumpul komikus dari
empat studio komik di Jakarta: Mythosic, Studio 9, Ripcons dan DCS.
Masing-masing komikus mencipta karya baru. Graveyard Shift pun kini
memasang target merilis 13 judul komik setahun dan mencoba menawarkan ke
penerbit-penerbit komik indie di Amerika Serikat.
Dengan semangat tak hendak amatiran, mereka mencoba menerapkan proses
"ban berjalan" dalam produksi komik mereka. Pada komik Moonlight
Highskool, misalnya, Alfi menulis ide cerita dan menggambarnya dengan
pensil (penciller), sedangkan Pras menggarap naskah, Rowal menjadi
inker, Sunny dan Aip mengolah warna. Pembagian tugas ini juga diterapkan
untuk komik lain seperti After Dawn, The Throne, Praying Devil, Monster
Towers, Ayal, Pumpkin Dream, Under The Sun, Moonlovers, 4:15 dan Cable
Ground. "Jadi kalau Rowal jadi inker, ia dibayar secara profesional
untuk tugasnya itu," ungkap Alfi.
Alfi sebelum bergabung dalam Graveyard Shift telah menghasilkan 25 judul
komik. Dua komiknya diterbitkan M&C! Gramedia dan Terrant Book.
Komik Dua Warna (M&C, 2002) yang diterbitkan dalam enam seri
mengolah mitos yang hidup di tanah Papua dalam konteks kontemporer. Pada
komik ini dikisahkan seorang pelajar yang menyentuh sebuah lukisan
dinding kemudian dihinggapi roh kadal yang dikenal sebagai makhluk suci
pada beberapa suku di Papua. Konflik dibangun dari cerita itu.
Sementara komik Mantera Pawitra (Terrant, 2004) lebih berupa graphic
diary yang mengambil latar abad pertengahan. "Saya senang menggarap
mitos ke dalam komik. Bagi saya, mitos punya muatan imajinasi dan
logikanya sendiri," ujar komikus 28 tahun itu.
Ketika berbicara karya, ia begitu serius membeberkan konsep
komik-komiknya. Tapi saat kembali disentil keisengan mereka di jalan dan
di arena pameran, tawa Alfi dan Rowal pun berderai. "Kami ini komikus
asshole," ucap Alfi bercanda.
"Dia fans berat Marshanda," tukas Rowal.
"Rowal menyukai Dian Sastro. Lihatlah wajah perempuan dalam komik-komiknya, selalu mirip Dian Sastro," sahut Alfi.
Rowal, Alfi, Pras, Aip, dan Sunny adalah komikus muda yang menghidupkan
ruang penciptaan Graveyard dengan aneka candaan dan kejailan khas anak
muda. Tapi ketika sudah bekerja mereka menerapkan target yang tak bisa
ditawar.
Ada puluhan studio lain di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya
yang dipenuhi oleh komikus muda. "Ada sekitar 100 anggota Masyarakat
Komik Indonesia. Keanggotaan ini bersifat cair. Sebagian besar di antara
mereka adalah komikus muda," kata Adrian, Ketua Masyarakat Komik
Indonesia, organisasi yang sudah berumur delapan tahun.
Di Bandung, misalnya, seperti diungkapkan Manajer Redaksi DAR! Mizan Ali
Muakhir, ada 20 studio yang menjadi partner. Enam studio di antaranya
terbilang aktif mengirimkan karya mereka ke Mizan. "Kendala yang kami
hadapi adalah kadang-kadang komikus itu bekerja sesuai mood. Padahal,
kami harus konsisten dengan jadwal yang sudah ditetapkan," kata Ali.
Di Yogyakarta, setidaknya ada 20 komunitas komik. Sebut saja komunitas
Mati Rasa, komunitas komik Taring Padi, Pensil Terbang, Depresi,
Swacomsta, Komikaze, Daging Tumbuh, Read Rebel, Semut Merah, dan
Sebikom. Sebagian besar dari mereka main di jalur indie atau pemasaran
dari tangan ke tangan.
Sementara di Jakarta ada sekitar 10 studio komik yang aktif mengirimkan
komik-komik mereka ke Terrant Book, M&C! Gramedia, Elex Media
Komputindo, Mizan, maupun memanfaatkan jalur indie. Terrant yang
didirikan pada 2001 oleh beberapa anak muda--Abdul Aziz, 28 tahun,
Oktavia Erdyan, 24 tahun, dan Yoyoh Guritno--terbilang penerbit baru
yang bersemangat menerbitkan komik anak muda. Syarat mutlaknya satu,
"asal tidak menggambar manga".
Abdul Azis optimistis komik lokal akan diminati. Alasannya sederhana, pasar komik di
Indonesia sudah terbentuk, tapi komik-komik yang tersedia masih komik
asing, terutama manga Jepang. Aziz yang selain menyukai komik juga
pernah mencoba membuatnya, menganggap banyak potensi komikus asli
Indonesia yang selama ini belum tergarap serius. "Para komikus itu masih
bergerak di bawah tanah dan belum banyak penerbit yang serius
menerbitkan karya mereka," ujarnya.
Dari penerbit inilah lahir antara lain komik Mantera Pawitra karya Alfi,
Split! karya Bayu Indie, Selamat Pagi Urbaz karya Beng, 1001 Jagoan
karya Oyaz, Ipot dan Iput, serta Subali dan Sugriwa karya Rowal. Kecuali
1001 Jagoan, empat judul yang lain produksi studio-studio komik di
Jakarta.
Selamat Pagi Urbaz karya Beng Rahardian yang dicetak 3000 eksemplar,
misalnya, lahir dari Ginuk Production di Jalan Samali Jakarta. Proses
pengerjaannya dua kali, yaitu saat komikus 29 tahun itu KKN pada 2002
ketika menempuh studi di ISI Yogyakarta, dan kedua pada 2004 di studio
yang cuma menempati kamar kontrakan berukuran 4 x 7 meter persegi
tersebut.
Berbeda dari proyek Graveyard yang menerapkan metode "bagi tugas", Beng
mengerjakannya sendirian, dari mulai membuat konsep, membuat story
board, menggoreskan pensil di kertas A4, mengisi teks naskah,
mengkuaskan tinta, memindai ke komputer, dan mendesain akhir dalam
format lebih kecil di komputer. Hasilnya, penerbit menggolongkan Selamat
Pagi Urbaz sebagai novel grafis yang dalam komentar Dwi Koendoro,
"puitis, manis, ngajak senyum, tapi juga nangis. Sadis lu Beng!"
Beng mengingat ketika pertama kali menggarap Selamat Pagi Urbaz, ia
masih menggunakan tinta Cina murah Nagaiki seharga Rp 4 ribu. Sebelum
mengkuaskannya pada kertas A4, ia harus menunggu tinta itu kental
terlebih dulu agar gambar yang dihasilkan bagus. "Saya membuka tutup
tinta dan membiarkannya selama dua minggu agar tinta benar-benar
kental," tutur pendiri komunitas Teh Jahe di Yogyakarta.
Jika Beng mengerjakan secara borongan, Bayu Indie yang khusus diminta
Terrant menggarap komik horror "meminjam" Adrian untuk mendesain sampul
komik Split! ciptaannya. Split! cuma ia kebut dalam dua bulan dan
dicetak 3000 eksemplar.
Tak jauh dari Ginuk, masih di Jalan Samali, studio Paragraph bergerak
lebih profesional. Tak hanya menggarap komik, studio yang merekrut enam
komikus dan menggaji secara bulanan ini juga mengerjakan ilustrasi dan
desain grafis. Studio ini antara lain pernah melayani proyek LSM dari
Common Ground, Infid, Huma, ICMC, dan Kehati. Salah satu produk mereka
yang tampak di pasar adalah komik Gebora yang akan memasuki edisi ke-12
tahun ini. Prestasi cetakan yang pernah mereka garap adalah ketika
menggarap proyek ICMC dengan jumlah 90 ribu eksemplar.
"Kelemahan umumnya komikus kita ada pada etos kerja. Lewat Paragraph ini
kami belajar how to manage komikus muda kita dan how to sale karya
mereka. Di sini kita bisa melihat bahwa kontinuitas karya tak bisa
dijamin lewat jalur underground," ucap Adrian yang juga pengelola
Paragraph.
Di Yogyakarta, dengan semangat yang sama, Komunitas Bangjo yang
mengontrak rumah dengan empat kamar di Gang Jatingali Jalan Monjali itu
juga mengumpulkan komikus muda. Anggota resmi mereka sebenarnya hanya
empat orang--Ahmad Ismail, 27 tahun, Ivan (26), Rozikin (26) dan Windu
(25)-tapi yang menumpang belajar membuat komik atau sekadar rutin
berdiskusi mencapai belasan orang.
Komunitas Bangjo secara kontinyu menerbitkan news letter komik BANGJO
setiap dua minggu sekali. Hingga saat ini, news letter ini sudah
memasuki edisi 2003. Isinya, berita di sekitar masyarakat tapi dibuat
dalam format komik.
Selain menerbitkan news letter, komunitas Bangjo juga telah menerbitkan
sejumlah komik yang diedarkan secara indie dan komik kompilasi dalam
sebuah buku yang diberi judul Kenalkan, Namaku; Orang Miskin! karya
sejumlah komunitas komik di Yogyakarta dan Solo.
Dari komunitas ini muncul komikus Ahmad Faisal Ismail, yang lebih
dikenal sebagai Ma'il, yang setiap pekan mengisi komik strip Sukribo di
Kompas. Dari Yogya pula ada Eko Nugroho, 28 tahun, dari komunitas Daging
Tumbuh, yang telah melahirkan puluhan komik indie dan pada pekan ini
meluncurkan komik The Konyol.
Dari Bandung, muncul nama Oyasujiwo. Oyaz, begitu komikus 30 tahun itu
dipanggil, dinilai pengamat komik Hikmat Darmawan paling potensial
memasuki kancah industri komik nasional. "Komik-komiknya lucu, idenya
selalu segar. Persoalannya kemudian adalah dia harus terus konsisten
mencipta dan mempertahankan kelebihannya itu," kata Hikmat.
Lewat 1001 Jagoan, misalnya, ia menciptakan "superhero" bernama
Supelhelo. Jagoan ini tak seperti superhero yang punya kesaktian ilmu
beladiri, jago terbang, dan punya senjata ampuh, Supelhelo menjual
keramahan sebagai kesaktian paripurnanya. Ia menundukkan musuh-musuhnya
dengan senyuman. Dalam 1001 Jagoan ini juga muncul jagoan lain: Kapten
Kilat Khusus. Sang kapten berprofesi seperti pengantar pos pada umumnya
tapi punya kehebatan dalam soal kecepatan pengiriman surat. Mottonya,
"Kirim sekarang, sampai kemarin."
Komik Oyaz ini mengingatkan kepada kekocakan komik Kapten Bandung
produksi QN pada awal 1990-an lalu. Tapi Kapten Bandung bersama Caroq
ciptaan Ahmad Thoriq kemudian sesak napas dan tak terbit lagi. Apakah
1001 Jagoan akan bertahan? Hanya Oyaz yang juga bekerja di Manajemen
Qalbu Aa Gym itu yang bisa menjawab lewat karyanya.
Pada Oyaz, Ma'il, Eko Nugroho, Bayu Indie, Beng, Alfi, Rowal, Pras, Aip,
Sunny, Didoth, Widi, Zarky, Adrian, Wahyu, Athonk, Anzu Hizawa, David
Djohari, Christiawan, Donny Hadiwidjaja, Erfan Fajar, Ramanda Kamarga,
dan Wisnoe Lee inilah komik Indonesia mutakhir menaruh harapan.
Nama-nama mereka ada di masa kini di tengah kencangnya dengung pesimisme
terhadap kebangkitan komik Indonesia. Nama mereka muncul hari ini di
tengah hadirnya semangat merilis komik-komik lama Indonesia. Tapi
persoalannya bukan cuma hari ini, tapi juga besok, lusa, dan nanti.
Komik Indonesia diharapkan hadir tak hanya pada suatu saat, tapi juga
pada setiap saat.
Di Ginuk Production itu Beng dan Zarky terus menghidupkan api kreatif
mereka sembari mengerjakan proyek lain untuk menyalakan dapur rezeki.
Zarky tampak sedang mendesain sampul buku biografi Soetrisno Bachir
terbitan Mizan, sedangkan Beng mengerjakan story board Mercedes Benz.
"Ya beginilah hidup komikus. Kalau tidak sedang ngomik, kami mengerjakan
ilustrasi buku, menggarap story board iklan atau mengerjakan gambar
pesanan LSM," kata Beng.
Apakah dengan cara menyambi ini komik Indonesia bisa hidup? Pertanyaaan
hendak diajukan, tapi mata segera bersirobok dengan sepotong kartu yang
tertempel di pintu kamar Beng dan Zarky: Kartu Pemberantasan Nyamuk
Demam Berdarah, lengkap dengan tanda tangan petugas kelurahan. Apakah
komikus juga terserang demam berdarah? Zarky tersenyum. Ah... komikus
juga manusia. l syaiful amin/rana akbari/qaris tajudin/yos rizal
sumber: http://www.ruangbaca.com/