Bergerilya Menuju Industri Komik Indonesia
Pergerakan komik Indonesia kini sedang marak diwarnai dengan gerakan underground, atau beberapa menyebutnya dengan istlilah indie. Dua
istilah ini diambil dari pergerakan yang dilakukan dalam bidang musik.
Sejujurnya, saya sendiri kurang begitu ngerti apa sih bedanya. Tapi,
hasil dari tanya kanan-kiri dan ngobrol kemana-manao, kira-kira begini:
Indie : berasal dari kala independent, yang berarti berusaha sendiri, tidak bergantung padapihak lain. Ciri yang ditampilkan oleh gerakan ini biasanya bersifat nyeleneh, tidak mengikuti aturan yang telah baku dalam masyarakat.
Underground : gerakan ini biasa diartikan dengan bawah tanah atau gerilya, karena sifatnyayang sembunyi-sembunyi. Gerakan ini identik dengan hal yang ekstrim, penuh kekerasan daneksploitasi seks. Biasanya bersifat illegal.
Kedua gerakan ini timbul sebagai pemberontakan atas suatu tatanan yang telah baku dalam suatumasyarakat.
Nah, itulah kira-kira artinya indie dan underground (kalo masih kurang maaf ya….). Gerakan ini diadaptasi ke dalam pergerakan komik Indonesia sebagai salah satu jalan untuk membangun industrikomik di negeri kita tercinta ini. Tentunya ini didorong oleh situasi yang terjadi di sini.
Gerakan komik underground pernah terjadi di AS. Diawali pada tahun 1954, ketika industri komik diAS diserang dengan tuduhan memberikan pengaruh buruk pada anak-anak. Gerakan anti komik inidipimpin oleh Frederick Wcrtham, dengan karyanya Seduction of Innocent. la beranggapan bahwakomik meningkatkan kejahatan masyarakat. Sebagai tanggapan dari hal ini, di tetapkanlah Comics Code Authority (CCA) oleh Comics Magazine Association of America (CMAA). Penetapan CCA inimenimbulkan reaksi berupa aliran komik underground yang menampilkan kebebasan isi maupunekspresi, yang ditujukan untuk kalungan dewasa. Istilah undergrounds didapat dari sistem distribusiyang tidak mengikuti jalur rcsmi (yang terikat CCA).
Situasi Komik di Indonesia : Kebangkitan Kernbali
Sejak awal pemunculannya pada tahun 1930, komik Indonesia memang sering mengalami pasang-surut. Komik Indonesia pernah mengalami masa jayanya, yaitu pada periode roman remaja (1965 – 1968) dan tahun 1968 – 1980 yang banyak mengetengahkan komik silat, super hero (general kedua) dan dongeng anak. Tapi setelah membanjirnya komik asing terjemahan pada tahun 80-an, komik Indonesia semakin terpuruk. Komik lokal sulit sekali bersaing dengan komik-komik yang berasal dari Eropa dan Jepang. Apalagi komik-komik asing terscbut didukung dengan konsep pemasaran yang sangat kuat. Mulai dari penjualan merchandise hingga pemutaran film animasinya di televisi.
Indie : berasal dari kala independent, yang berarti berusaha sendiri, tidak bergantung padapihak lain. Ciri yang ditampilkan oleh gerakan ini biasanya bersifat nyeleneh, tidak mengikuti aturan yang telah baku dalam masyarakat.
Underground : gerakan ini biasa diartikan dengan bawah tanah atau gerilya, karena sifatnyayang sembunyi-sembunyi. Gerakan ini identik dengan hal yang ekstrim, penuh kekerasan daneksploitasi seks. Biasanya bersifat illegal.
Kedua gerakan ini timbul sebagai pemberontakan atas suatu tatanan yang telah baku dalam suatumasyarakat.
Nah, itulah kira-kira artinya indie dan underground (kalo masih kurang maaf ya….). Gerakan ini diadaptasi ke dalam pergerakan komik Indonesia sebagai salah satu jalan untuk membangun industrikomik di negeri kita tercinta ini. Tentunya ini didorong oleh situasi yang terjadi di sini.
Gerakan komik underground pernah terjadi di AS. Diawali pada tahun 1954, ketika industri komik diAS diserang dengan tuduhan memberikan pengaruh buruk pada anak-anak. Gerakan anti komik inidipimpin oleh Frederick Wcrtham, dengan karyanya Seduction of Innocent. la beranggapan bahwakomik meningkatkan kejahatan masyarakat. Sebagai tanggapan dari hal ini, di tetapkanlah Comics Code Authority (CCA) oleh Comics Magazine Association of America (CMAA). Penetapan CCA inimenimbulkan reaksi berupa aliran komik underground yang menampilkan kebebasan isi maupunekspresi, yang ditujukan untuk kalungan dewasa. Istilah undergrounds didapat dari sistem distribusiyang tidak mengikuti jalur rcsmi (yang terikat CCA).
Situasi Komik di Indonesia : Kebangkitan Kernbali
Sejak awal pemunculannya pada tahun 1930, komik Indonesia memang sering mengalami pasang-surut. Komik Indonesia pernah mengalami masa jayanya, yaitu pada periode roman remaja (1965 – 1968) dan tahun 1968 – 1980 yang banyak mengetengahkan komik silat, super hero (general kedua) dan dongeng anak. Tapi setelah membanjirnya komik asing terjemahan pada tahun 80-an, komik Indonesia semakin terpuruk. Komik lokal sulit sekali bersaing dengan komik-komik yang berasal dari Eropa dan Jepang. Apalagi komik-komik asing terscbut didukung dengan konsep pemasaran yang sangat kuat. Mulai dari penjualan merchandise hingga pemutaran film animasinya di televisi.
Pada tahuri 1994, usaha untuk membangkitkan komik nasional dimulai.
PT Gramedia (Majalah) danTaman Impian Jaya Ancol meluncurkan komik
wayang futuristik yang dibuat oleh Jan Mintaraga. Komik berjudul Rama
Shinta : Legenda Masa Depan ini menjadi salah satu tonggak kebangkitan
kembali komik Indonesia.
Usaha ini kemudian berlanjut dengan menerbitkan komik lokal dalam format komik Jepang terjemahan.
PT Elex Media Kompulindo menerbitkan komik Imperium Majapahit (Jan Mintaraga) dan Alit Kencana
(Dwianto Setiawan dan M. Hardian). Sayangnya, usaha ini kurang berhasil, terbukti dengan jebloknya
angka penjualan di pasaran. *
Gemas dengan situasi komik Indonesia, pergerakan kini dilakukan oleh golongan mahasiswa. Dalamacara Pasar Seni ITB, November 1995, dua komik adi ksatria Indonesia diluncurkan. Yang pertamaadalah Awatar Comics dengan Kisah Para Awatar : Pewaris Senjata Legendaris Pewayangan.Sementara yang kedua komik Caroq produksi studio Qomik Nasional. Kedua komik ini dikerjakan lebih modern, sebagai hasil kerja tim dan sudah menggunakan teknologi komputer.
Kedua komik di atas memancing munculnya komik-komik yang lain, seperti Kapten Bandung ; KasusTikus Tarka (Qomik Nasional), Jawara dan Patriot (komik daur ulang dari tokoh Godam, Gundala, Maza dan Aquanus) yang diluncurkan oleh Sraten Komik, KOIN (majalah komik yang berisi beberapa cerita komik lokal bersambung), Ancil (Animik), dll. Komikus muda juga mulai banyak bermunculan. Biasanya mereka tergabung dalam satu studio komik, dan rata-rata berasal dari kalangan mahasiswa di kota Jakarta, Bandung dan Jogja.
Mulanya komikus-komikus muda ini mendatangi penerbit besar untuk bisa menerbitkan karya mereka. Tapi, jalan yang harus ditempuh memang tidak mudah. Penerbit besar kita seringkali masih memandang sebelah mata pada komik lokal. Mereka lebih suka menterjemahkan komik impor yang biaya produksinya relatif lebih murah dan beresiko rendah (lebih laku dijual). Ada sih, penerbit yang merilis komik lokal, tapi kebanyakan hanyalah tiruan komik Jepang terjemahan yang sedang laku pada saat itu. Para penerbit juga seringkali merupakan hak-hak komikus, seperti honor yang minim dan hak cipta yang sepenuhnya dikuasai penerbit.
Masalah tidak sepenuhnya berada di tangan penerbit. Di lain sisi, komikusnya sendiri belum siap untukmasuk ke dalam dunia profesional. Mereka belum siap mental untuk mematuhi tenggat waktu, berkarya secara konsisten dan berkelanjutan, dan belum bisa menerima kritikan dari pihak luar. Seringkali mereka juga harus memilih antara mengomik atau “tobat” (kuliah yang bener atau kerja yang lurus…).Bagi mereka yang memilih memulai karir di bidang komik, hambatan yang mereka harus hadapi takkurang banyak. Lingkungan kita masih belum dapat membayangkan bahwa komik bisa menjadi suatuindustri. Gambaran komikus sebagai suatu bidang profesi yang layak masih jauh di awang-awangsehingga kalau kita menyatakan ingin jadi komikus, pastilah kita jadi bahan tertawaan, dan disarankanuntuk mencari bidang yang lebih mempunyai masa depan.
Semua masalah yang tersebutkan di atas menjadi penghalang menuju industri komik Indonesia yangkita impikan. Tapi, daripada putus asa dan akhirnya bunuh diri, para ‘pejuang pergerakan’ komikIndonesia mencari alternatif lain untuk dapat terus berkarya, dengan kapasitas mereka. Salah satunyaadalah melalui gerakan underground.
Go Underground!
Dimulai dari kola Jogja, gerakan komik underground Indonesia pada awalnya berupa media ekspresi seni mereka. Tak heran jika yang muncul kebanyakan komik-komik dengan genre art atau hardcore.Gerakan ini kemudian merebak ke kota-kota lain seperti Jakarta dan Bandung. Tapi kini komikunderground tak hanya digunakan sebagai pelampiasan rasa seni, tetapi lebih sebagai jalan alternatif untuk tetap berkarya. Mengingat minimnya kesempatan bagi para komikus pemula untuk berkiprah.
Usaha ini kemudian berlanjut dengan menerbitkan komik lokal dalam format komik Jepang terjemahan.
PT Elex Media Kompulindo menerbitkan komik Imperium Majapahit (Jan Mintaraga) dan Alit Kencana
(Dwianto Setiawan dan M. Hardian). Sayangnya, usaha ini kurang berhasil, terbukti dengan jebloknya
angka penjualan di pasaran. *
Gemas dengan situasi komik Indonesia, pergerakan kini dilakukan oleh golongan mahasiswa. Dalamacara Pasar Seni ITB, November 1995, dua komik adi ksatria Indonesia diluncurkan. Yang pertamaadalah Awatar Comics dengan Kisah Para Awatar : Pewaris Senjata Legendaris Pewayangan.Sementara yang kedua komik Caroq produksi studio Qomik Nasional. Kedua komik ini dikerjakan lebih modern, sebagai hasil kerja tim dan sudah menggunakan teknologi komputer.
Kedua komik di atas memancing munculnya komik-komik yang lain, seperti Kapten Bandung ; KasusTikus Tarka (Qomik Nasional), Jawara dan Patriot (komik daur ulang dari tokoh Godam, Gundala, Maza dan Aquanus) yang diluncurkan oleh Sraten Komik, KOIN (majalah komik yang berisi beberapa cerita komik lokal bersambung), Ancil (Animik), dll. Komikus muda juga mulai banyak bermunculan. Biasanya mereka tergabung dalam satu studio komik, dan rata-rata berasal dari kalangan mahasiswa di kota Jakarta, Bandung dan Jogja.
Mulanya komikus-komikus muda ini mendatangi penerbit besar untuk bisa menerbitkan karya mereka. Tapi, jalan yang harus ditempuh memang tidak mudah. Penerbit besar kita seringkali masih memandang sebelah mata pada komik lokal. Mereka lebih suka menterjemahkan komik impor yang biaya produksinya relatif lebih murah dan beresiko rendah (lebih laku dijual). Ada sih, penerbit yang merilis komik lokal, tapi kebanyakan hanyalah tiruan komik Jepang terjemahan yang sedang laku pada saat itu. Para penerbit juga seringkali merupakan hak-hak komikus, seperti honor yang minim dan hak cipta yang sepenuhnya dikuasai penerbit.
Masalah tidak sepenuhnya berada di tangan penerbit. Di lain sisi, komikusnya sendiri belum siap untukmasuk ke dalam dunia profesional. Mereka belum siap mental untuk mematuhi tenggat waktu, berkarya secara konsisten dan berkelanjutan, dan belum bisa menerima kritikan dari pihak luar. Seringkali mereka juga harus memilih antara mengomik atau “tobat” (kuliah yang bener atau kerja yang lurus…).Bagi mereka yang memilih memulai karir di bidang komik, hambatan yang mereka harus hadapi takkurang banyak. Lingkungan kita masih belum dapat membayangkan bahwa komik bisa menjadi suatuindustri. Gambaran komikus sebagai suatu bidang profesi yang layak masih jauh di awang-awangsehingga kalau kita menyatakan ingin jadi komikus, pastilah kita jadi bahan tertawaan, dan disarankanuntuk mencari bidang yang lebih mempunyai masa depan.
Semua masalah yang tersebutkan di atas menjadi penghalang menuju industri komik Indonesia yangkita impikan. Tapi, daripada putus asa dan akhirnya bunuh diri, para ‘pejuang pergerakan’ komikIndonesia mencari alternatif lain untuk dapat terus berkarya, dengan kapasitas mereka. Salah satunyaadalah melalui gerakan underground.
Go Underground!
Dimulai dari kola Jogja, gerakan komik underground Indonesia pada awalnya berupa media ekspresi seni mereka. Tak heran jika yang muncul kebanyakan komik-komik dengan genre art atau hardcore.Gerakan ini kemudian merebak ke kota-kota lain seperti Jakarta dan Bandung. Tapi kini komikunderground tak hanya digunakan sebagai pelampiasan rasa seni, tetapi lebih sebagai jalan alternatif untuk tetap berkarya. Mengingat minimnya kesempatan bagi para komikus pemula untuk berkiprah.
Para komikus muda Indonesia yang menggunakan gerakan underground atau indie label mencoba untuk menerbitkan komik mereka sendiri. Mulai dari proses kreatif, desain produk, riset pasar, produksi (baik dengan cetak atau fotokopi), hingga pemasaran dan distribusi mereka tangani sendiri. Tema yang diangkat oleh gerakan komik ini juga berbeda dengan yang terjadi di luar. Kita bisa melihat berbagai macam variasi tema dalam komik-komik underground Indonesia. Komik-komik ini tak hanya ditujukan untuk konsumsi dewasa, topi juga tersedia untuk anak-anak dan yang paling banyak untuk remaja.
Gerakan underground di Indonesia ini bisa dibilang sebagai salah satu proses belajar bagi parakomikus untuk menuju indusfri komik. Dari sini, komikus bisa melatih profesionalisme mereka sedikitdemi sedikit, sesuai dengan kapasitas mereka. Karena, dengan go underground, merekalah yangmenentukan sendiri jadwal terbit komik mereka, yang tentunya sesuai dengan tempo kerja mereka.Karena mereka juga menangani masalah pemasaran dan distribusi, mereka bisa belajar membacasituasi pasar komik di Indonesia, dll. Pokoknya, dengan gerakan underground ini, banyak hal yang bisa diambil sebagai pelajaran dan sebagai bekal menuju industri komik Indonesia! Contohnya adalah:
• Melatih konsistensi dan kontinuitas kerja.
• Mengukur kecepatan dalam berkarya.
• Merasakan secara langsung bagaimana pihak-pihak seperti komikus (penulis cerita,penggambar, dan pewarna), penerbit, pemasar, distributor, praktisi hukum, dll saling terkait dalam dunia komik.
• Melatih ‘menurunkan ego’ (lebih bisa menerima masukan dan kritikan dari luar).
• Meningkatkan bargaining power di hadapan penerbit.
Beban untuk melaksanakan gerakan ini memang jauh lebih berat karena semua dilakukan sendiri. Tapi, daripada hanya diam dan tak berbuat apa-apa, lebih baik berbuat terlebih dulu. Semoga, setelah melihat hasil kongkrit yang telah dilakukan, akan lebih banyak lagi pihak yang turun tangan, bahu-membahu untuk membangun indusiri komik di negeri kita tercinta ini.
Keberadaan gerakan komik underground di Indonesia ini dapat dikatakan sebagai bukti bahwa parakomikus muda Indonesia mau belajar dan memahami dunia komik, dan terus berusaha dengan gigih mencari jalan untuk membangun suatu industri komik di negeri sendiri. Bagaimana dengan pihak-pihak lain? Apakah mereka juga mau melakukan hal yang sama?
Sumber:
Lubis, Imansyah. 1997.perkembangan Komik Indonesia Tahun 1930 – 1997. Skripsi. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran.
Observesi pergerakan komik Indonesia th 1997 – 1999.
http://karpetbiru.multiply.com/journal/item/22