Komik: Di Antara Masa Lalu dan Masa Kini
Anak muda kreatif itu percaya pada kata hati, bukan kata mami atau papi.
*gambar dari jualkomiklama.blogspot.com
Komik dan karikatur. Dua kata yang menarik saya ke masa sekolah
dasar. Mengingatnya saja sudah membuat saya tersenyum geli: razia komik.
Yes! Masa 80an, sebagian besar orang tua dan guru ‘mengharamkan’ komik
untuk dibaca anak dan para murid. Jadilah kami sembunyi-sembunyi membaca
komik Si Buta dari Goa Hantu karya Ganes Th, maupun Panji Tengkorak
buah tangan Hans Jaladara. Kalau ketahuan? Disita
hapekomiknya.
Lalu soal karikatur. Saya pernah disetrap di depan kelas dan
diceramahi Pak Soekarman, wali kelas. Sebabnya? Iseng mendeformasi
(karikatur) profil beliau dalam selembar kertas. Terus terang, saya
tergelitik dengan rambut kriwilnya yang mirip partai beringin itu, dagu
pak guru yang bak tahu bacem, dan kumis tipis laiknya senar layangan di
ujung bibir. Jadilah. Setelah beredar dari meja ke meja, sampailah
karikatur itu ke meja beliau, yang pada akhirnya membuat saya ngadeg di depan kelas ditonton teman-teman dengan wajah memelas.
Walau komik Indonesia begitu berjaya pada masa 1970 – 1980an, stigma
negatif komik juga cukup kuat di mata para orang tua. Bahkan untuk
membaca serial Tintin karangan Herge (nama samaran George Remi, artis
dari Belgia) pun saya kudu hati-hati. Maklum, di masa itu, karya seni,
terutama komik – yang dipandang seni rendahan – juga dianggap
‘membodohi’ anak-anak. Padahal, komikus pada masa itu dibayar cukup
mahal untuk hasil coretan-coretannya. Kabarnya,
satu jilid komik setebal 64 halaman dihargai Rp 150 ribu. Penghasilan
yang sangat besar pada masanya, karena satu gram emas pada saat itu
harganya Rp 250.
*gambar dari wikipedia
Lain masa lain peruntungannya. Begitulah para seniman gambar masa
kini. Zaman sudah menerima kehadiran para komikus dengan lebih hangat.
Baik dalam hal apresiasi maupun pundi-pundi rezeki. Siapa tak kenal duo
Benny & Mice yang kondang dengan potret sosial keseharian masyarakat
kita, terutama kaum urban di Jakarta: yang kampungan dan noraknya
setengah mati itu. Karya Benny & Mice, ngetop karena menyodorkan
cermin ke wajah kita. Cling! Sayang, mereka pecah kongsi di belakang
hari.
Kini, Mice, bersama Lala dan Haryadhi berkolaborasi dalam wadah Komik Jakarta yang rutin diunggah di Facebook maupun situs KomikJakarta.com.
Beruntung, kami, OBIwan, berhasil menyeret Haryadhi untuk ngobrol
bareng di ajang Kompor OBI (KOMBI), Sabtu, 14 Juni, pekan lalu.
Lepas adzan ashar, air serasa tumpah di langit Jakarta. Sebuah sudut,
dengan meja yang tersambung, sepuluh kursi merapat di Black Canyon
Coffee, Cipete Raya, Jakarta Selatan. Sesekali tampias hujan jatuh di
kolam ikan, di sudut ruang. Sembari menikmati Black Avocado Jelly, Cookie & Cream Frappe, Blueberry Delight, French Fries, maupun Rice Garlic Tauco Chicken, kami pun berbincang seru dengan beragam topik: dari kondisi jalanan hingga merembet ke politik.
Juragan Triatmono yang njedul dengan kaos Ducati, jam Rolex
Oyster, dan numpak Camry karena takut hujan, menimpali dengan angle
ekonomi makro dan mikro. Cuk Mitro, lebih banyak diam, foto-foto, dan
memeluk jaket biru Yamaha yang basah diterpa hujan. Lae lutungs Bodats
bergaya scripwriter jadi-jadian dengan McBook Air berbalut warna jambon.
Pak dosen Azdi Dahlan dan kontraktor jalan tol Benny De Shit sibuk
transaksi helm abal-abal bikinan cungkuo :mrgreen: Sementara Eyang Edo, terpuruk di sudut kamar daerah Munjul, terkapar akibat desahan
jandaangin malam :D
Haryadhi merupakan potret anak muda terkini yang tak galau dengan
pilihannya sebagai seorang komikus. Lulusan jurusan jurnalistik di
sebuah universitas di Ciledug ini menggemari kartun sedari kecil. Sempat
bekerja sebagai desainer grafis di sebuah MLM, dia kini fokus menggarap
serial komik di beberapa media online dan cetak. Diantaranya
bekerjasama dengan Aspira – produsen perkakas sepeda motor, untuk
membuat komik tingkah laku pengguna motor di fanpage Aspira, juga di
situs Komik Jakarta. Karya terbarunya buku komik Setan Jalanan,
merupakan kerjabareng Pepeng Naif. “Cerita dari Pepeng, saya yang
membuat gambarnya,” kata lajang yang belum genap 27 tahun ini.
*gambar dari Komik Jakarta
Karya-karya Haryadhi memang tergolong satir, bahkan cenderung
nyinyir. Dia memotret perilaku keseharian pengguna jalan raya di Jakarta
yang kian tak peduli sesama pengguna jalan. Ide dia dapatkan dari
kenyataan sehari-hari yang dilihat di jalanan. “Kadang saya riset untuk
pengayaan komik,” kata pengguna Honda Spacy injeksi ini. Ide yang muncul
kadang langsung dicorat-coret di laptop Acer dan Wacomm (alas gambar),
atau disimpan dalam notes di smartphone Galaxy Note 3. “Biar gak lupa
ide.”
*foto dari Cuk Mitra
Haryadhi merupakan salah satu dari sekian banyak anak muda yang
menjadikan dunia kreatif sebagai ajang ekspresi dan mengais rezeki.
Anak-anak muda yang percaya pada kata hati, bukan kata papi atau mami.
Alangkah baiknya papi mami kini lebih membuka hati kepada anak-anaknya
yang senang bergelut dengan dunia seni kreatif. Lihatlah itu, Stan Lee,
pencipta Spiderman pada 1963, dan banyak tokoh super hero lain, yang
kini di usia 92 tahun, masih saja kreatif dan menggemaskan. Stan Lee:
Superhumans di History Channel cukup banyak menarik pemirsa karena
mereportase manusia-manusia super beneran di muka bumi ini.
Malam semakin beranjak. Hujan mulai tiris di pucuk daun. Penasaran
bagaimana proses membuat komik, saya pun meminta Haryadhi mengartunkan
profil Azdi, si penggagas KOMBI kali ini. Dalam waktu 15 menit, jadilah
Azdi dalam wajah aslinya: legam dan mblendug :mrgreen:
*karikatur karya Haryadhi
Tak lupa, sebagai tanda mata, saya pun mendeformasi profil Haryadhi
dalam bentuk karikatur. Sebuah penghargaan dari OBIwan untuk insan
kreatif Indonesia :)
Sumber : http://alonrider.wordpress.com/2014/06/17/komik-di-antara-masa-lalu-dan-masa-kini/