Background

Nasib Buram Komik Lokal

TEMPO Interaktif, : Mau tahu sejarah komik lokal? Datanglah ke Pusat Kebudayaan Prancis di Salemba, Jakarta. Sejak 8 April lalu, lembaga kebudayaan itu menggelar pameran "Sejarah Komik Indonesia". Dalam acara yang berlangsung hingga 19 April mendatang itu dipamerkan juga komik Prancis, seperti Asterix dan Smurf.

Sejarah komik di Indonesia dimulai pada 1930-an. Pada 1931, sebuah komik strip muncul di surat kabar Sin Po dengan judul Kho Wang Gie atau Sopoiku. Cerita ini terus berjalan hingga surat kabar tersebut ditutup pada 1960.

Dari situ, lahirlah penerus komik-komik strip serupa berkisah tentang tokoh wayang yang dipelopori R.A. Kosasih. Pada 1953, Kosasih menggebrak pasar dengan menerbitkan komik berformat buku dengan judul Sri Asih. Selanjutnya muncul komik Mahabharata dan Ramayana.

Menjamurnya komik tak hanya terjadi di Pulau Jawa, tapi juga di Medan, Sumatera Utara. Di sana, banyak komik bercerita tentang legenda tanah Melayu.

Lima tahun berselang, genre komik beralih ke serial silat dan roman. Masih ingat komik Si Buta dari Gua Hantu karya komikus Ganes Th.? Universal budaya yang dirangkai Ganes mampu membuat pembaca lengket dengan si Kapak Sakti 212 itu. "Sejak era ini, komik mengalami masa kejayaannya," ujar Djair Warni, komikus Jaka Sembung, yang ditemui saat pembukaan pameran itu.

Pada 1968 hingga 1970-an, banyak yang menggandrungi komik. Honor membuat satu jilid komik berjumlah 64 halaman saja sudah dapat bayaran sekitar Rp 100-150 ribu. "Jangan salah, kala itu harga emas satu gramnya Rp 250," ujarnya. Wah-wah, sekali bikin buku, bisa boyong sedikitnya setengah kilogram emas.

Itulah yang membuat tokoh rekaan Djair bernama Jaka Sembung ini masih diingat sampai sekarang. "Meski anak muda mungkin tak tahu ceritanya, mereka pernah dengar namanya," ujarnya.

Kehebohan komik kala itu sukses membuat Jaka Sembung sebagai tokoh mitos dan dipercaya masyarakat bahwa pemuda itu bagian dari sejarah. Sejalan dengan Jaka Sembung, muncul Panji Tengkorak karya Hans Jaladara.

Ada saat gemilang, ada pula masa surut. Sejak kehadiran komik Jepang dan Amerika pada 1980-an, komik Indonesia mulai ditinggalkan pembaca. Kemolekan tokoh komik luar sukses menyihir pembaca yang kebanyakan anak-anak. Serbuan jagoan, seperti Batman, Superman, Dragonball, hingga Kapten Tsubasa, memberi warna tersendiri. "Imbasnya, penerbit juga ikut-ikutan pasar," kata Djair.

Kebudayaan ini pun akhirnya tergilas roda industri tanpa kompromi. Tiarapnya komik Indonesia membuat para komikus muda bergerilya dengan cara indie. "Mereka membuat sendiri, difotokopi dan dibagikan atau dijual untuk kalangan sendiri," Djair menjelaskan.

Memang cukup sulit mencari ikon baru yang berciri Indonesia. Sebab, ciri tokoh khas Tanah Air memang susah, seperti tokoh si Kabayan, Doyok, atau Panji Koming. "Sebenarnya tak harus berpatokan kepada tokohnya," ujar Djair.

Melihat komik Indonesia itu lebih kepada isi ceritanya yang berbudaya. "Bukan cuma mengkritik, tapi juga bagaimana mengangkat budaya," dia berharap.

Sayangnya, dalam pameran ini, menurut pengamatan Tempo, tak ada komik-komik yang diceritakan Djair tersebut. Kebanyakan buku yang berserakan di lantai pameran, buku dipamerkan di lantai, didominasi oleh komik luar, seperti Asterix, dan Smurf. Untuk komik lokal sendiri, hanya Lagak Jakarta dan Si Lender Komik P-Project yang kelihatan. l AGUSLIA HIDAYAH

Categories: Share

Leave a Reply