Background

Kualitas Komik Indonesia Selalu Nomor Satu


The Pandawa Story diterbitkan oleh Pluz, penerbit komik dan cerita silat.
The Pandawa Story diterbitkan oleh Pluz, penerbit komik dan cerita silat. (sumber: Beritasatu.com/Shesar Andriawan)
Jakarta - Komik Indonesia pernah menjadi tuan rumah di negeri sendiri pada masa R.A. Kosasih, Ardisoma, Teguh Santosa, Jan Mintaraga, dan Ganes TH. Namun selepas itu, sejak periode 1990-an, komik Indonesia kalah bersaing dengan komik impor asal Jepang, Prancis, dan Amerika Serikat.
"Pasar komik Indonesia sekarang ini belum seperti tahun 1954, saat komik R.A. Kosasih bisa ngalahin komik-komik impor. Komik Indonesia saat ini itu nomor satu, soalnya nunggu nomor duanya nggak keluar-keluar," kata Andy Wijaya, Editor Pluz, penerbit komik dan cerita silat, di fX Senayan, Jumat (8/11).
Dituturkan Andy, jika ingin sukses masuk ke pasar yang saat ini didominasi komik terbitan Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat, komikus Indonesia harus, salah satunya, mencontoh Ganes TH dalam membangun karakter.
Dalam membangun karakter Si Buta dari Gua Hantu, Ganes TH butuh waktu lebih dari 10 tahun. Dirinya konsisten menerbitkan komik yang menjadikan Si Buta dan Wanara, monyet setianya, sebagai tokoh utama. Serupa dengan Ganes, Hasmi pun butuh waktu 15 tahun membangun karakter Gundala Putra Petir.
Komikus Indonesia saat ini, menurut Gienardy, putra mendiang Ganes TH, kurang punya identitas dalam gaya gambar mereka. Terlalu banyak dipengaruhi gaya gambar komikus Jepang.
"Jadinya saat pertama kali belajar, mereka menggambar matanya besar-besar," kata Gienardy merujuk gaya komikus Jepang yang sering menggambar mata karakter rekaannya dalam ukuran besar.
Hal lain yang dicermati Andy adalah cerita. Banyak komikus yang gambarnya bagus namun tidak menular ke sisi cerita. Padahal cerita adalah elemen penting.
"Misalnya Ardisoma itu gambarnya bagus banget, tapi soal cerita kurang. Sementara R.A. Kosasih gambarnya biasa saja, tapi kalau baca ceritanya itu wah," kata Andy antusias.
Ia menilai, yang menjadi penyebab mengapa cerita garapan beberapa komikus Indonesia kurang baik adalah tindakan one man show. Menggambar tokoh utama, latar belakang, pemberian tinta, dan pembuata cerita dilakukan sendiri. Berbeda sekali jika dibandingkan dengan di Jepang di mana hal-hal itu dikerjakan oleh beberapa orang.
Akan lebih baik jika komikus bekerjasama dengan penulis cerita dalam membuat komik. Dengan begitu jalan cerita akan lebih bagus.
"Dan orang yang pintar menggambar itu belum tentu bisa bikin komik yang bagus. Banyak yang kalau diminta menggambar ilustrasi jadinya bagus banget, tapi begitu menggambar komik bingung. Dulu ada satu yang seperti itu, namanya Tony Gamelia.
"Soalnya gambar dalam komik itu bercerita. Tak mudah memvisualisasikan sebuah cerita," kata Andy menjelaskan.
Menonton film bisa menjadi bahan belajar untuk membuat komik yang bagus. Dalam film, terdapat tahap pembuatan story board di mana naskah cerita diterjemahkan menjadi gambar sebelum kemudian dilakukan pengambilan gambar.
Dwi Koendoro yang pernah menerbitkan komik Sawungkampret, mengaku pengalamannya bekerja di dunia perfilman membantunya memahami cara membuat komik yang bagus. Putra Teguh Santosa, Dhany, juga menceritakan bahwa dulu ayahnya gemar menonton film jika sedang suntuk.
Penulis: Shesar Andriawan/FER
sumber : http://www.beritasatu.com/budaya/149099-editor-kualitas-komik-indonesia-selalu-nomor-satu.html

Categories: Share

Leave a Reply