MENYADUR SASTRA PROUST KE DALAM KOMIK
Dipublikasikan pertama kali di Koran Tempo, suplemen Ruang Baca, 27 April 2008
"Kini generasi muda Perancis tertarik membaca novel Marcel Proust"
Komik terjemahan asing kembali meramaikan khasanah komik di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung kali ini sastra legendaris karya Marcel Proust (Perancis) disadur dalam format visual, alias komik. Adalah komikus Stephane Heuet, juga dari negeri yang sama, yang bertanggung jawab atas terbitnya serial A la Recherche du Temps Perdu. Diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), yang bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Perancis (CCF), dengan judul Mencari Masa Silam: Kisah Cinta Swann jilid 1.
Disela-sela peluncurannya hari Senin, 7 April 2008, Heuet yang didampingi komikus senior Indonesia, Dwi Koen, menceritakan latar belakang obsesinya mengadaptasi sastra kelas berat karya Proust. Sebagaimana kebanyakan generasi muda, ia juga mengalami kesulitan memahami Proust semasa mudanya. Saat menginjak dewasa, barulah ia menyadari betapa benang merah karya Proust memiliki keterkaitan dengan jati diri kebanyakan orang pada masa mudanya. Tak terkecuali Heuet sendiri. Mahakarya Proust ini mengajak pembaca napak tilas masa lalunya, sebagaimana tulisannya sendiri,"Surga sesungguhnya adalah semua milik kita yang telah hilang". Tak butuh waktu lama hingga
banyak generasi muda Perancis mulai tertarik untuk mengenal karya-karya Proust lebih jauh dari sumber aslinya, setelah membaca komik Heuet.
Mencari Masa Silam: Kisah Cinta Swann jilid 1 bukanlah buku pertama dalam rangkaian adaptasi Proust. Buku ini adalah urutan ke-4, dan yang terbaru, bahkan di negeri asalnya sendiri. Berturut-turut Heuet menghasilkan Combray (1998), A l'ombre des jeunes filles en fleurs (2000) dan lanjutannya di tahun 2002, serta episode terbaru Un amour de Swann (2006), alias Kisah Cinta Swann. Tidak banyak penjelasan latar belakang terpilihnya episode ke-4 itu sebagai buku terjemahan perdana. Bisa jadi karena itu produksi terbaru. Bisa jadi juga karena para pembaca Proust lebih merekomendasikan Kisah Cinta Swann bagi pemula, yang merupakan episode pertengahan dari rangkaian pertama. Rekomendasi ini berangkat dari kemudahan pembaca mengikuti dan menangkap gagasan Proust, dibandingkan dua bab sebelumnya. Selain Indonesia, serial ini sebelumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Belanda. Heuet sendiri merencanakan untuk memproduksi 14 judul.
Banyak pihak yang dahulu meragukan kemampuan Heuet dalam mengadaptasi karya Proust (1871-1922). Tidak hanya karena kisah yang sulit dimengerti dan sering dianggap membosankan, namun lebih kepada kemampuan Heuet menangkap esensi gagasan dalam setiap karya Proust. "Saya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memahami apa yang Proust sampaikan. Dukungan dari banyak orang membuat saya percaya diri bahwa saya mampu melakukannya," ungkap Heuet. Ketekunan itu dijelaskan pula dalam proses pembuatan yang disampaikan melalui laptop yang sengaja ia bawa khusus dari Perancis. Sangat tampak betapa Heuet trampil dalam memanfaatkan kecanggihan teknologi. Ia
menjadikannya alat yang mampu membuat proses pengerjaan menjadi sangat efektif dan efisien.
Cara bertutur Heuet tetap setia merujuk pada gaya bahasa sastra a la Proust. Mengambil setting akhir abad 19, Heuet menampilkan keindahan warna dan kecermatan apik dalam setiap panel. Saksikanlah bagaimana pemandangan pantai begitu indah dengan warna-warna lembut. Nikmati pula suasana pesta dansa yang dilukis dengan sangat, sangat rinci.
Betapa itu semua mampu meleburkan perasaan pembaca, terhanyut mengikuti tutur kata sang sastrawan.
Adaptasi karya sastra ke dalam komik (atau dalam bentuk sejenis seperti novel grafis), juga pernah dilakukan oleh komikus Indonesia. Setangkai Daun Surga (1959) misalnya, diadaptasi Taguan Hardjo dari karya Laboulaie berjudul Het Klaverblad Van Vieren. Jangan lupa dengan usaha RA Kosasih dengan adaptasi kitab Mahabharata dan Ramayana, jika keduanya juga bisa dianggap sebagai karya sastra.
Dalam edisi terjemahan karya Rahayu S. Hidayat (lebih sering dikenal sebagai penerjemah serial komik Asterix) nuansa sastrawi tetap dipertahankan, sementara percakapan langsung tetap bergaya bahasa luwes. Kombinasi keduanya terasa nyambung, menciptakan harmoni tersendiri. Namun demikian banyak pembaca mengeluh, tak terbiasa dengan bahasa sastrawi dalam komik, sebagaimana dijumpai dalam komik
Rampokan Jawa (Peter van Dongen) yang juga berada dalam genre sejenis. Dalam hal ini rupanya pembaca komik Indonesia harus memperluas wawasan, bahwa komik tidaklah identik dengan gambar dan bahasa jenaka.
Berbeda dengan edisi Inggris, sebagai perbandingan, kemasan edisi Indonesia mengesampingkan pilihan jenis font. Pada akhirnya Kisah Cinta Swann kehilangan cita rasa sastrawinya. Penyeragaman font pada narasi dan percakapan langsung membuat adaptasi Heuet tak beda dengan kebanyakan komik. Secara visual, pada edisi Inggris, atmosfir sastra terasa pada narasi karena keduanya setia pada pemilihan font yang
terlihat klasik. Terdengar sepele mungkin, tapi bagi suatu penyampaian gagasan secara visual, dalam hal ini komik, cita rasa editorial dan visual menjadi penting.
Pemilihan judul Mencari Masa Silam juga dikomentari. Banyak pembaca yang merasa penerjemahan itu kurang tepat. Dalam edisi bahasa Inggris sendiri perbedaan itu terjadi. Serial novel Proust diterjemahkan dengan judul The Search Of Lost Time, sementara para pembaca lebih memilih Remembrance of Things Past, sebagaimana penerbit NBM New York lakukan ketika menerjemahkan hasil adaptasi Heuet.
Gaya ilustrasi Heuet sepintas mengingatkan kita pada single clear line yang menjadi ciri khas Herge, komikus Belgia. Heuet mengakui bahwa ia terpengaruh sang legenda, terutama dalam memilih fokus obyek dalam setiap panel. "Menonjolkan obyek utama sangatlah penting, karena perhatian pembaca akan terpusat dan karakternya menjadi hidup. Selain itu saya menjadi mampu untuk mengeksplorasi ilustrasi background," ungkap Heuet. Kecintaan Heuet pada seni lukis klasik juga dipertontonkan. Perhatikanlah ketika Heuet 'menyulap' sebuah lukisan klasik karya Helleu dan menjadikannya bagian dari serial A la Recherche du Temps Perdu. Banyak pecinta lukisan Helleu yang tertipu
dengan rekayasa Heuet.
Saat ini tidak banyak komikus Indonesia yang mengadaptasi karya sastra. Bukankah menyenangkan bisa membaca adaptasi karya Marah Roesli atau Pramudya Ananta Toer dalam format komik? Masih perlukah dibuktikan kepada masyarakat bahwa komik mampu bersaing dengan bentuk literatur lain?
Bagaimana, siap menerima tantangan?
"Kini generasi muda Perancis tertarik membaca novel Marcel Proust"
Komik terjemahan asing kembali meramaikan khasanah komik di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung kali ini sastra legendaris karya Marcel Proust (Perancis) disadur dalam format visual, alias komik. Adalah komikus Stephane Heuet, juga dari negeri yang sama, yang bertanggung jawab atas terbitnya serial A la Recherche du Temps Perdu. Diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), yang bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Perancis (CCF), dengan judul Mencari Masa Silam: Kisah Cinta Swann jilid 1.
Disela-sela peluncurannya hari Senin, 7 April 2008, Heuet yang didampingi komikus senior Indonesia, Dwi Koen, menceritakan latar belakang obsesinya mengadaptasi sastra kelas berat karya Proust. Sebagaimana kebanyakan generasi muda, ia juga mengalami kesulitan memahami Proust semasa mudanya. Saat menginjak dewasa, barulah ia menyadari betapa benang merah karya Proust memiliki keterkaitan dengan jati diri kebanyakan orang pada masa mudanya. Tak terkecuali Heuet sendiri. Mahakarya Proust ini mengajak pembaca napak tilas masa lalunya, sebagaimana tulisannya sendiri,"Surga sesungguhnya adalah semua milik kita yang telah hilang". Tak butuh waktu lama hingga
banyak generasi muda Perancis mulai tertarik untuk mengenal karya-karya Proust lebih jauh dari sumber aslinya, setelah membaca komik Heuet.
Mencari Masa Silam: Kisah Cinta Swann jilid 1 bukanlah buku pertama dalam rangkaian adaptasi Proust. Buku ini adalah urutan ke-4, dan yang terbaru, bahkan di negeri asalnya sendiri. Berturut-turut Heuet menghasilkan Combray (1998), A l'ombre des jeunes filles en fleurs (2000) dan lanjutannya di tahun 2002, serta episode terbaru Un amour de Swann (2006), alias Kisah Cinta Swann. Tidak banyak penjelasan latar belakang terpilihnya episode ke-4 itu sebagai buku terjemahan perdana. Bisa jadi karena itu produksi terbaru. Bisa jadi juga karena para pembaca Proust lebih merekomendasikan Kisah Cinta Swann bagi pemula, yang merupakan episode pertengahan dari rangkaian pertama. Rekomendasi ini berangkat dari kemudahan pembaca mengikuti dan menangkap gagasan Proust, dibandingkan dua bab sebelumnya. Selain Indonesia, serial ini sebelumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Belanda. Heuet sendiri merencanakan untuk memproduksi 14 judul.
Banyak pihak yang dahulu meragukan kemampuan Heuet dalam mengadaptasi karya Proust (1871-1922). Tidak hanya karena kisah yang sulit dimengerti dan sering dianggap membosankan, namun lebih kepada kemampuan Heuet menangkap esensi gagasan dalam setiap karya Proust. "Saya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memahami apa yang Proust sampaikan. Dukungan dari banyak orang membuat saya percaya diri bahwa saya mampu melakukannya," ungkap Heuet. Ketekunan itu dijelaskan pula dalam proses pembuatan yang disampaikan melalui laptop yang sengaja ia bawa khusus dari Perancis. Sangat tampak betapa Heuet trampil dalam memanfaatkan kecanggihan teknologi. Ia
menjadikannya alat yang mampu membuat proses pengerjaan menjadi sangat efektif dan efisien.
Cara bertutur Heuet tetap setia merujuk pada gaya bahasa sastra a la Proust. Mengambil setting akhir abad 19, Heuet menampilkan keindahan warna dan kecermatan apik dalam setiap panel. Saksikanlah bagaimana pemandangan pantai begitu indah dengan warna-warna lembut. Nikmati pula suasana pesta dansa yang dilukis dengan sangat, sangat rinci.
Betapa itu semua mampu meleburkan perasaan pembaca, terhanyut mengikuti tutur kata sang sastrawan.
Adaptasi karya sastra ke dalam komik (atau dalam bentuk sejenis seperti novel grafis), juga pernah dilakukan oleh komikus Indonesia. Setangkai Daun Surga (1959) misalnya, diadaptasi Taguan Hardjo dari karya Laboulaie berjudul Het Klaverblad Van Vieren. Jangan lupa dengan usaha RA Kosasih dengan adaptasi kitab Mahabharata dan Ramayana, jika keduanya juga bisa dianggap sebagai karya sastra.
Dalam edisi terjemahan karya Rahayu S. Hidayat (lebih sering dikenal sebagai penerjemah serial komik Asterix) nuansa sastrawi tetap dipertahankan, sementara percakapan langsung tetap bergaya bahasa luwes. Kombinasi keduanya terasa nyambung, menciptakan harmoni tersendiri. Namun demikian banyak pembaca mengeluh, tak terbiasa dengan bahasa sastrawi dalam komik, sebagaimana dijumpai dalam komik
Rampokan Jawa (Peter van Dongen) yang juga berada dalam genre sejenis. Dalam hal ini rupanya pembaca komik Indonesia harus memperluas wawasan, bahwa komik tidaklah identik dengan gambar dan bahasa jenaka.
Berbeda dengan edisi Inggris, sebagai perbandingan, kemasan edisi Indonesia mengesampingkan pilihan jenis font. Pada akhirnya Kisah Cinta Swann kehilangan cita rasa sastrawinya. Penyeragaman font pada narasi dan percakapan langsung membuat adaptasi Heuet tak beda dengan kebanyakan komik. Secara visual, pada edisi Inggris, atmosfir sastra terasa pada narasi karena keduanya setia pada pemilihan font yang
terlihat klasik. Terdengar sepele mungkin, tapi bagi suatu penyampaian gagasan secara visual, dalam hal ini komik, cita rasa editorial dan visual menjadi penting.
Pemilihan judul Mencari Masa Silam juga dikomentari. Banyak pembaca yang merasa penerjemahan itu kurang tepat. Dalam edisi bahasa Inggris sendiri perbedaan itu terjadi. Serial novel Proust diterjemahkan dengan judul The Search Of Lost Time, sementara para pembaca lebih memilih Remembrance of Things Past, sebagaimana penerbit NBM New York lakukan ketika menerjemahkan hasil adaptasi Heuet.
Gaya ilustrasi Heuet sepintas mengingatkan kita pada single clear line yang menjadi ciri khas Herge, komikus Belgia. Heuet mengakui bahwa ia terpengaruh sang legenda, terutama dalam memilih fokus obyek dalam setiap panel. "Menonjolkan obyek utama sangatlah penting, karena perhatian pembaca akan terpusat dan karakternya menjadi hidup. Selain itu saya menjadi mampu untuk mengeksplorasi ilustrasi background," ungkap Heuet. Kecintaan Heuet pada seni lukis klasik juga dipertontonkan. Perhatikanlah ketika Heuet 'menyulap' sebuah lukisan klasik karya Helleu dan menjadikannya bagian dari serial A la Recherche du Temps Perdu. Banyak pecinta lukisan Helleu yang tertipu
dengan rekayasa Heuet.
Saat ini tidak banyak komikus Indonesia yang mengadaptasi karya sastra. Bukankah menyenangkan bisa membaca adaptasi karya Marah Roesli atau Pramudya Ananta Toer dalam format komik? Masih perlukah dibuktikan kepada masyarakat bahwa komik mampu bersaing dengan bentuk literatur lain?
Bagaimana, siap menerima tantangan?