Komik Indonesia, Dulu Berjaya Kini Diratapi
Juru Kamera : Joni Suryadi
Reporter : Ninok Hariyani
indosiar.com,
Jakarta - Tokoh Superhero dalam komik seperti Godam Si Manusia Baja, Gundala
Putra Petir, Panji Tengkorak, Wiro hingga Si Buta Dari Gua Hantu, begitu populer
di masa lalu. Tokoh-tokoh itu pada tahun 70-an sangat dikenal anak-anak setingkat
SMP dan SMU.
Taman-taman bacaan yang bisa melayani pembaca komik, bermunculan dimana-mana.
Namun kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Komik yang dulu dicari-cari penggemarnya,
kini menjadi barang langka. Keberadaannya tergantikan komik-komik Saduran asal
Jepang , Eropa hingga Amerika.
Komik di Indonesia, mulai dikenal pada tahun 1930. Pertama kali muncul dalam
bentuk komik strip di surat kabar Melayu-Cina, Sinpo. Barulah pada tahun 1950-an,
komik beredar dalam bentuk buku. Saat itu pula beredar bermacam-macam tema cerita,
mulai dari Superhero, Silat, Kisah Petualangan, Humor, hingga cerita pewayangan
Mahabarata dan Ramayana, yang melejitkan nama pengarangnya, RA Kosasih.
Memasuki tahun 1960-an, meluncur komik asal Medan, dengan setting cerita rakyat.
Taguan Hardjo, salah satu komikus yang berhasil membuat karya-karyanya dikenal
banyak orang. Sebut saja Hikayat Musang berjanggut, Kapten Yani dan Perompak
Lautan Hindia serta Keulana. Diikuti kemudian dengan beredarnya komik politik,
yang membawa pesan-pesan propaganda.
Akhir tahun 1965, posisi komik politik tergantikan komik roman remaja yang
menyorot kehidupan remaja Metropolitan saat itu. Komikusnya antara lain, Jan
Mintaraga,Sim, dan Zaldy.
Kehadiran komik roman remaja ini sempat menimbulkan keresahan masyarakat, pasalnya
sebagian besar berisi adegan percintaan. Popularitasnya kemudian menurun seiring
dengan razia yang dilakukan polisi di sekolah-sekolah.
Tak lama, muncullah komik Superhero gelombang kedua. Beberapa karya yang cukup
fenomenal antara lain, Si Buta Dari Gua Hantu-nya Ganes TH, Panji Tengkoraknya-nya
Hans Jaladara, dan Jaka Sembung-nya Djair. Di mata masyarakat, karya-karya komik
lokal saat itu dinilai sangat bagus.
Pembacanya pun tak mengenal usia, hampir semua kalangan ikut membaca. Menjamurnya
taman-taman bacaan rakyat yang menyewakan komik, menjadi tolak ukur popularitas
komik lokal waktu itu. Komik pun menjadi tambang emas bagi penerbit dan pengarangnya.
Di pasaran beredar 250-an komikus, dan 15 komikus mampu memproduksi 20 judul
dalam jangka waktu bersamaan.
Kondisi ini membuat prihatin kalangan pencinta komik. Ada semacam kerinduan dari beberapa penggemar komik masa lalu, yang ingin kejayaan komik lokal hidup kembali. Komik Indonesia dotcom misalnya, dengan berbagai strategi berusaha membangkitkan kembali pasar komik lokal.
Selain melakukan hunting komik cetakan lama untuk didata judul dan pengarangnya, tahun terbit dan jumlah halaman, komik Indonesia Dotcom, juga menjadi konsultan penerbitan hingga perencanaan jaringan distribusi.
Komik dengan ejaan lama, misalnya, dicetak ulang dengan ejaan yang telah disempurnakan. Kata-kata yang sudah tak relevan atau kasar, diganti atau dibuang. Dari segi gambar, dilakukan sentuhan ulang atau melalui tusir ulang, agar kualitas cetakan lebih bagus.
Beberapa komik yang telah dicetak ulang, begitu dipasarkan dengan cepat habis terjual. Ini suatu bukti pengemar komik lokal masih ada. Diakui, gaungnya memang belum seberapa, namun setidaknya, angin segar tengah bertiup. Komik lokal, perlahan namun pasti, menata ulang langkah meraih kembali kejayaan yang tengah terenggut.
Hans Jaladara dan Panji Tengkorak
Seorang pendekar bertopeng tengkorak, mengembara dengan menyeret peti mati. Itulah sosok Sang Panji yang pernah menjadi bagian dari industri komik lokal yang pernah berjaya di era akhir tahun 60-an hingga awal 70-an. Panji Tengkorak pun di filmkan pada 1971. Tahun 1990-an, Panji Tengkorak kembali diangkat dalam layar kaca.
Hans Jaladara, pria yang kini berusia 57 tahun ini, adalah komikus kawakan yang namanya terus melekat pada tokoh ciptaannya, Panji Tengkorak. Hans, lelaki kelahiran Yogyakarta, 57 tahun lalu, pertama kali membuat komik jenis drama ‘Hanya Kemarin’ pada tahun 1966.
Namun nama Hans baru dikenal penggemar komik setelah Panji Tengkorak beredar di pasaran sekitar tahun 1968 hingga beberapa tahun kemudian. Komik cerita silat ini terbit atas inisiatif sebuah penerbit, yang memesan kepada Hans untuk membuat komik serupa Si Buta Dari Gua Hantu-nya Ganes TH yang waktu itu tengah merajalela di jagat penggemar komik.
Hans tak pernah menduga, jika Panji Tengkorak yang terdiri dari 5 jilid itu, ternyata sukses besar dipasaran dan menjadi masterpiece. Ia pun ikut merasakan masa kejayaan komik lokal. Selain namanya populer, duit mengalir.
Namun tak lama kemudian, sektiar tahun 80-an, dunia perkomikan Indonesia mengalami kemerosotan seiring dengan membanjirnya komik-komik impor yang telah diterjemahkan itu. Tak banyak yang bisa diperbuat Hans, anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Linggodigdo.
Melukis dan mengajar, adalah jalan keluar yang hingga kini masih ia tekuni, agar hobi menggambarnya ini tetap tersalurkan. Semangatnya berkomik mulai bangkit kembali, ketika ada tawaran untuk memproduksi kembali Panji Tengkorak versi 2 pada tahun 84. Menyusul kemudian versi 3, tahun 96, yang mengalami perubahan mencolok pada segi gambar.
Hans Jaladara, yang bernama asli Hans Rianto, memang termasuk salah satu dari sejumlah komikus kawakan angkatan 60 yang masih hidup dan hingga kini masih produktif. Selain minimnya penghargaan bagi komikus untuk saat ini, sulitnya menembus pasar komik terjemahan yang, juga menjadi penyebab adanya keengganan dikalangan komikus lama untuk berkarya.
Hans Jaladara, kini tengah menggambar ulang walet merah, karyanya yang lain. Ia pun tengah mempersiapkan 5 jilid kelanjutannya. Menggambar, membuat komik, rupanya sudah menjadi jalan hidup bagi Hans. Kedua putrinya, bahkan berhasil ia sekolahkan hingga perguruan tinggi dari penghasilan berkomik.
Dunia komik, telah menjadi bagian dari hidupnya. Karena itu ia tak rela, jika komik lokal tergusur dengan kehadiran komik impor. Ia masih menaruh harapan besar, suatu hari kelak, komik lokal kembali berjaya di negerinya sendiri.
Semangat Komikus Muda
Wisnoe Lee. Seorang komikus angkatan 90-an akhir, yang mencoba menggempur pasar komik impor dengan menciptakan tokoh lokal yang kocak. Gibug namanya. Perawakannya gemuk, berkumis lebat. Kemana-mana selalu ditemani kucing kesayangan, bernama Oncom. Kehadiran Bajaj, menjadi ciri bahwa tokoh ciptaannya ini punya latar belakang budaya Betawi.
Karakter Gibug pertama kali dikarang Wisnoe Lee, tahun 99 lalu. Setelah dilakukan pengembangan, Gibug baru didaftarkan hak ciptanya tahun 2001 lalu. Tak lama kemudian, Gibug, Oncom dan Bajaj kesayangannya, beredar di dunia maya. Dari sini, si pembuat karakter mendapat banyak masukan, apakah karakter yang dibuatnya disukai atau tidak.
Terobosan penjualan komik melalui situs, akhirnya membuahkan hasil. Karyanya dilirik penerbit dan dalam waktu 4 bulan sudah diluncurkan 3 jilid dari 10 jilid yang direncanakan. Meskipun jarak terbit antara satu jilid dengan jilid berikutnya cukup jauh, ini dilihat sebagai suatu siasat, agar pasar tak cepat jenuh.Menilik kebelakang, lahirnya karakter Gibug, bukannya tanpa alasan.
Wisnoe Lee pun gerah melihat komik impor menyerbu toko-toko buku. Penggemarnya tak kepalang tanggung, muda hingga tua, dari berbagai kalangan kelas ekonomi.
Baginya, penciptaan karakter itu sangat penting. Belajar dari komikus luar, umumnya mereka sukses karena berhasil menciptakan karakter yang disukai pembaca. Dekat dengan keseharian pembaca. Karakter buatan Wisnoe pun, 100 persen bermuatan lokal. Tujuan lain, agar komik Indonesia tak kehilangan jati diri.
Ia tentu tak hanya puas disitu. Selain komik Bisu Gibug, ia tengah menyelesaikan karakter lain, berbau superhero, seperti Namaku Bram dan Guntur Si Manusia Halilintar.
Apa yang tengah dilakukan Wisnoe Lee, satu dari sekian komikus muda saat ini, adalah sebuah semangat, bangkitnya kembali komik Indonesia, kendati masih terseok-seok menembus pasaran. Ini justru menjadi tantangan di masa mendatang, bagaimana merebut hati penggemar komik agar berpaling pada komik lokal, tak hanya sebatas melirik tapi menyukai dan mengkoleksinya. (Sup)