Background

‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia

ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002 47

Tito Imanda
(Universitas Indonesia)
Abstract
This paper illustrates the significance of underground comics in Indonesia in the absence
of a national comics industry. Underground comics means that its selling is independent of
common marketing channels, and the comics usually have non-conventional graphics and
narrative style. The author focuses on the life and works of Athonk, an Indonesian independent
comics artist, bypasses conventional modes of marketing and strengthens the global
network of independent comics artists and fans through internet.
Fed up with the absurdity of Indonesian cultural and political life, Athonk is consistently
creating stories of contestation between the powerful and powerless with cynicism through his
amusing characters and language. The author places Athonk in the context of Indonesia art
history, and debate between ‘high art’ and ‘low art’ that dominates discussion of art in Indonesia.
The situation discredits comics as a ‘low art’ form which makes it still very far from
establishing its position. Ironically, public welcome his art and this motivates him to keep
working. This article hopefully will give broader picture about Indonesian comics as a potential
art form and expression in the future.
Ketika suatu hari saya mencari informasi
mengenai komik Indonesia di internet, muncul
beberapa kali nama Athonk. Untuk nama ini
saja, terdapat banyak sekali alamat website dari
dalam dan luar negeri yang berhubungan
dengannya. Athonk adalah pembuat komik
kelas dunia. Dalam konteks Indonesia, hal itu
1 Tulisan ini merupakan revisi dari makalah yang
dipresentasikan dalam panel: ‘Identitas dan Representasi
dalam Karya Seni’ pada Simposium Internasional
Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-2: ‘Globalisasi
dan Kebudayaan Lokal: Suatu Dialektika Menuju
Indonesia Baru’, Universitas Andalas, Padang, 18–21
Juli 2001. Penulis berterima kasih kepada Iwan Meulia
Pirous dan Yunita T. Winarto atas bantuan dalam
proses penulisan ulang artikel ini.
merupakan fenomena menarik saat tidak ada
komik lokal yang dianggap berhasil dan populer
di Indonesia.
Komik memiliki sejarah yang panjang
sebagaimana dinyatakan Mirzoeff (1999):
kebudayaan visual tidak bisa dipisahkan dari
kajian sejarahnya. Tema cerita, gaya bertutur,
grafis, bahkan cara penjualan komik yang
dibuat seorang komikus, seperti artis lainnya,
selalu dibentuk oleh lingkungannya. Edward
Bruner (1986) meyakini bahwa setiap orang aktif
menafsirkan pengalamannya untuk berekspresi.
Karena itu, riwayat hidup, latar belakang keluarga,
serta orang-orang terdekat diyakini aktif
memberi bentuk bagi ekspresi artis yang
48 ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
bersangkutan. Tradisi seni rupa daerah, komikkomik
asing, situasi sosial dan politik pada
masa-masa yang bersangkutan menambah
kekayaan komik Indonesia. Komik sangat dekat
dengan kondisi-kondisi sekitar pembuatnya,
suatu hal yang disadari Ben Anderson (1990)
ketika membuat kajian mengenai komik strip
sebagai representasi kondisi sosial politik di
Indonesia.
Sapto Raharjo alias Athonk membuat
komik, menentukan pangsa pasarnya, dan berusaha
menyebarluaskannya. Karyanya termasuk
komik bawah tanah, yaitu komik yang
digandakan dan disebarluaskan langsung oleh
komikus yang membuatnya. Biasanya, komik
tersebut memuat isi yang memberontak terhadap
kemapanan norma-norma sosial dan
politik dalam masyarakat.
Hegemoni pemerintahan Orde Baru dengan
pertumbuhan ekonominya melahirkan komodifikasi
seni rupa yang terpusat pada galeri. Isi
komik dan pilihan Athonk terhadap media komik
yang digolongkan sebagai kesenian ‘kelas
rendahan’ merupakan perlawanan terhadap
kondisi tersebut. Uniknya, cara Athonk menampilkan
kritik tersebut bisa diterima banyak
kalangan, dan komiknya masih terus dicari
pembaca hingga saat ini. Tulisan ini juga
mengkaji strategi-strategi yang ada dalam
bentuk dan isi komik karangan Athonk,
dihubungkan dengan latar belakang kehidupannya,
konteks sejarah seni rupa Indonesia
maupun dunia, serta kondisi sosial–politik
Indonesia pada saat diproduksinya komik
tersebut.
Komik, sejarah, dan kondisinya di
Indonesia
Komik, menurut Scott McCloud (1993:9),
ialah gambar-gambar dan bentukan-bentukan
lain yang berderetan dalam urutan yang
disengaja, dimaksudkan untuk memberi informasi
dan/atau menghasilkan respon estetis
bagi pembacanya2. Secara umum, pengertian
komik adalah gambar-gambar yang bercerita
dengan narasi tulisan. Karenanya, pengkajian
komik sebagai karya seni bukan semata-mata
memperhatikan aspek seni rupa: gaya gambar,
grafis, atau komposisi; melainkan juga aspek
sastra, seperti genre cerita, gaya penulisan, dan
tema. Perpaduan rupa dan cerita itu menjadi
‘isi’, tempat penyampaian ide-ide pembuatnya.
Seni komik dunia di setiap negara memiliki
gaya yang khas. Keragaman itu muncul dari
tradisi komik dan seni rupa dalam konteks
kebudayaan masing-masing. Sebagai contoh,
komik Amerika dan Eropa sama-sama memberikan
penekanan pada logika pembaca dan gaya
tutur yang stabil. Komik Jepang bertutur
dengan lebih banyak memunculkan efek emosi
dari gambar-gambar suasana. Komik Amerika
lebih banyak membuat cerita-cerita pendek,
sedangkan komik Eropa hampir selalu berisi
petualangan panjang. Pembuatan komik modern
di Amerika lebih banyak merupakan kerja
tim yang melibatkan banyak pihak dengan
spesialisasi mereka masing-masing: penggagas
cerita, penulis, pembuat teks, editor, penata
letak, penggambar sketsa, penebal garis,
pemberi warna, dan lain-lain. Di Eropa dan
Jepang, orang yang terlibat dalam pembuatan
komik jumlahnya lebih sedikit. Produksi hanya
dikerjakan oleh satu seniman yang mengerjakan
semua proses.
Secara historis, komik Indonesia diyakini
telah muncul sejak adanya relief pada candicandi
di Pulau Jawa. Relief-relief itu memang
sesuai dengan definisi komik seperti yang telah
dikemukakan di atas. Namun, komik Indonesia
modern belum benar-benar muncul hingga saat
setelah masa kemerdekaan. Sebelum masa itu,
2 ‘Juxtaposed pictorial and other images in deliberate
sequence, intended to convey information and/or to
produce an aesthetic response in the viewer’ (1993:9).
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002 49
orang Indonesia dibiasakan menyaksikan komik
strip, karikatur koran, dan poster propaganda
di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Harianharian
di masa kemerdekaan memuat macammacam
komik strip impor terjemahan dari Eropa
dan Amerika. Buku komik Barat terjemahan juga
membanjiri pasaran. Pengaruh komik strip itu
begitu kuat dan mempengaruhi karya komik
lokal. Tidak mengherankan jika cara bertutur
dan gaya grafis dalam tradisi komik Indonesia
lebih banyak dipengaruhi komik Barat (Berman
1998:19).
Ben Anderson dalam Imagined Communities
(1990:156–173) menggambarkan
bagaimana komik menjadi sarana mengungkap
alam pikiran dan perasaan rakyat mengenai
penguasa mereka.3 Namun, rezim yang
berkuasa juga memiliki pikiran dan perasaan
sendiri tentang komik. Presiden Soekarno, yang
saat itu sangat anti Barat, menuduh seniman
komik melakukan subversi, dan menyatakan
karya mereka sebagai sampah dan ‘racun Barat’.
Akibatnya, sekolah-sekolah dirazia, kios-kios
komik diserbu, dan komik-komik pun dibakar.
Di awal dekade 1980-an, ketika komik Indonesia
mulai ‘bernafas’ kembali, pemerintah Orde
Baru menyatakan bahwa komik tidak mendidik,
dan membuat anak-anak malas (Berman 1990).
Meskipun demikian, sejarah perkembangan
komik 70–80-an mencatat sederetan tokoh.
Pada periode itu, dikenal beberapa nama seperti
R.A. Kosasih, Jan Mintaraga, dan Ganes Th,
yang masing-masing membawa cerita dengan
tema ‘lokal’ Indonesia mulai dari perwayangan,
persilatan sampai dengan super hero lokal.
Reputasi mereka pun ditunjang oleh jaringan
pemasaran yang baik, termasuk agen-agen
komik di beberapa kota besar.
Situasi industri komik lokal Indonesia
tahun ‘90-an sangat menyedihkan. Pimpinan
grup Gramedia sebagai penerbit terbesar
menyatakan bahwa komik impor Jepang
menempati angka penjualan terbesar, yaitu
90%. Biaya produksi yang tinggi untuk
mengerjakan semua proses pembuatan komik
dari awal hingga akhir membuat penerbit
memilih cara mudah dan ekonomis dengan cara
membeli hak untuk menerbitkan komik impor
(Berman 1990). Kemandekan ini merangsang
munculnya produksi komik independen.
Komik independen memiliki dua sumber utama:
siswa sekolah seni, dan aktivis lembaga
swadaya masyarakat. Komik independen versi
sekolah seni memiliki jaringan distribusi terbatas
sehingga tidak mudah diakses masyarakat
umum. Komik-komik ini ‘aneh’, ceritanya
sedikit, vulgar, punya kecenderungan ke
pornografi (pornografi dilarang di Indonesia).
Di sisi lain, komik macam ini berusaha
mengembangkan imajinasi, ungkapan ekspresi
bebas yang terlihat dari grafis dan gaya
bertuturnya. Para komikus ini berkarya selama
masih menjadi mahasiswa, dan berhenti setelah
mereka lulus dan bekerja. Komik para aktivis
sangat berbeda, walau mungkin mereka juga
merupakan mahasiswa sekolah seni. Komik
semacam ini biasanya dibiayai lembaga tertentu
untuk menyiarkan isu-isu sosial ke masyarakat.4
Komik independen yang memilih jalur distribusi
informal dikenal dengan nama komik ‘bawah
tanah’ (underground comics).
Cerita mengenai industri komik Indonesia
secara umum mirip cerita mengenai industri
kebudayaan populer lainnya. Seperti pada film,
novel, atau industri televisi, pelaku komik selalu
gagal mendapatkan pangsa pasar yang spesifik.
4 Komik semacam ini jumlahnya cukup banyak di era
1990-an. Lihat Berman (2000). Saat ini, ada gejala
tumbuhnya komunitas komik seperti Komikaze, Apotik
Komik, Komunitas Daging Tumbuh, dan sebagainya.
3 Anderson (1990) menggambarkan bahwa komik
adalah cara rakyat mengungkapkan komunikasi politik
mereka dalam simbol-simbol, sebagaimana yang dilakukan
penguasa dengan monumen-monumen.
50 ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
Dalam hal ini, tulisan-tulisan, diskusi atau seminar
sibuk menyalahkan struktur dan jaringan
produksi, serta penjualan yang dikuasai
importir. Masalah itu memang ada. Namun, di
pihak lain banyak pertanyaan tentang kemampuan
para seniman untuk menyediakan materi
yang bisa diterima oleh pangsa pasar terbesar
yang telah terbiasa dengan produk impor. Para
komikus gagal untuk berbicara dengan ‘bahasa
yang sama’ dengan ‘bahasa pembaca’ atau
penonton mereka. Lebih parah lagi, mereka
dianggap tidak mampu menentukan pangsa
pasarnya sama sekali.
Sejarah seni rupa di Indonesia
Kurikulum teori seni dan sejarah seni Barat
mengenal perdebatan seni sebagai ‘seni tinggi’
dan ‘seni rendah’ (high art and low art). Seni
tinggi adalah kesenian eksklusif, dinikmati
kalangan terbatas, biasanya kaum intelektual
dan kelas sosial atas; sedangkan seni rendah
adalah karya seni yang dibuat massal, populer
di masyarakat luas dan murah. Perdebatan ini
berlaku juga dalam dunia seni rupa. ‘Seni tinggi’
dalam seni rupa adalah karya-karya lukisan dan
patung avant-garde dari para seniman intelektual
yang tidak diproduksi massal. ‘Seni rendah’
dalam perspektif ini adalah barang kerajinan
(kriya, craft) yang dianggap tidak diproduksi
dengan pemikiran serta usaha yang keras,
sehingga dapat diproduksi dalam jumlah besar,
serta mudah dicerna dan diperoleh. Karena itu,
karya seni ini dapat dinikmati oleh masyarakat
luas. Pandangan itu dianggap etnosentris
karena memandang rendah karya seni masyarakat
non-Barat dengan konteks berbeda
dengan kesenian Barat (Pirous 1997).5 Perdebatan
ini pun masuk ke bingkai seni rupa
Indonesia. Generasi pertama dan kedua pelukis
modern Indonesia dididik dengan gaya dan
teknis lukis Barat. Karena itu, mereka mengikuti
kriteria Barat mengenai seni ‘tinggi dan
rendah’. Baru dua puluh tahun kemudian
muncul kesadaran dan kebanggaan nasional
tentang unsur kesenian tradisional (Spanjaard
1998a:44).6
Selain persoalan seni tinggi-rendah,
etnosentrisme dan tradisi, seni rupa di Indonesia
selalu diwarnai oleh pertentangan ideologis
antara pemikiran sosialis versus humanis. Seni
humanis berorientasi pada ekspresi individual
seniman (beserta kompensasi finansial yang
selalu menyertainya), sedangkan seni sosialis
berorientasi pada semangat kemasyarakatan.
Seni humanis berkonsentrasi pada pencapaian
estetika dengan keyakinan bahwa kualitas
kesenian dalam bentuk pencapaian mutu
merupakan wujud kebebasan individu tanpa
harus menjadikan problem sosial sebagai
inspirasi berkesenian. Sementara, ideologi
sosialis dalam seni berkembang sesuai zamannya,
mengangkat realitas sosial masyarakat, penyampaian
pesan-pesan kemasyarakatan, atau
menjadikan masyarakat sebagai bagian dari
proses produksi dan distribusi seni rupa yang
bersangkutan. Pertentangan ideologis ini
dimulai dengan polemik antara aliran Mooi
Indië versus Persatuan Ahli Gambar Indonesia
(Persagi) (Purnomo 1998:13).7 Terdapat pula
perbedaan antara institusi-institusi pendidikan
seni rupa di masa awal pendiriannya (ITB ver-
5 Selain itu, Mirzoeff (1999:23) mengatakan bahwa
pandangan ini juga akan sulit mengkaji karya seni
modern yang bersifat multimedia.
6 Mengenai keterkaitan seniman modern Indonesia
dengan tradisinya, lihat juga Esmeralda dan M.
Bollansee (1987). Pirous (1997) menunjukkan bahwa
refleksi modernisme seniman seni rupa Indonesia lebih
menghargai nilai-nilai tradisi.
7 Pelukis-pelukis Mooi Indie yang terpengaruh oleh
pelukis Eropa yang terkagum-kagum pada pemandangan
alam dan budaya Indonesia dianggap oleh pelukis
Persagi tidak melihat realitas penderitaan rakyat di
masa penjajahan (lihat juga Kusnadi 1998a;
Wisetrotomo 1998:58–59, dan Sudjojono 2000:1–8).
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002 51
sus ASRI-sekarang ISI) (Spanjaard 1998b,
1998c:62–65, 64–65). Begitu juga pertentangan
antara seniman-seniman Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra) dengan kelompok Manifes
Kebudayaan pada masa Orde Lama (Dermawan
1998:58–59).8 Di masa Orde Baru, pertentangan
ini muncul dalam pertentangan antara ‘seniman
galeri’ melawan seniman-seniman jalanan yang
anti status quo Orde Baru. Pertentanganpertentangan
ini secara signifikan membentuk
sejarah seni rupa Indonesia yang khas.
Pada masa Orde Baru di bawah Jenderal
Soeharto, stabilitas pertumbuhan ekonomi
menjadi prioritas utama. Pada masa itu, minyak
mentah Indonesia menjadi komoditi ekspor
utama yang menciptakan golongan ‘orang kaya
baru’. Galeri seni dan ruang pameran semakin
banyak di mana-mana, dan taraf ekonomi
seniman ‘konformis’ semakin meningkat.
Institut Kesenian Jakarta dan sebuah pusat
kesenian didirikan pada tahun 1968 di Jakarta
untuk menambah akses ruang seni publik. Di
balik semua itu, kehidupan sosial masyarakat
sehari-hari berada di bawah represi rezim militer.
Kesenian untuk rakyat, atau seni yang
melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah
tidak dibiarkan hidup. Segala gaya seni Barat
‘gaya Bandung’ yang dilarang pada tahun
1960-an memang dibebaskan karena dianggap
steril politik. Pada tahun 1970-an, ‘gaya
Bandung’ bahkan menyebar ke komunitas
seniman Yogya. Tentunya, ini bukan dikarenakan
semangat kebebasan. Gaya abstrak dan
surealisme yang mereka usung relatif ‘bersih’
dari urusan politik.
Seiring globalisasi ekonomi dan informasi
menjelang akhir dekade 1980-an, muncullah aksi
pergerakan mahasiswa dan seniman muda yang
membuka forum mereka sendiri di tempattempat
yang tidak terduga. Para seniman
menolak label formal seni rupa, elitisme, dan
materialisasi seni yang kelewat batas. Mereka
menggunakan media populer sehari-hari untuk
berkarya. Muncullah seni poster, komik,
instalasi, grafiti, pementasan jalanan, gambar
tempel, dan gambar kaos. Kaum seniman yang
betul-betul peduli pada orang miskin menggunakan
ruang publik dalam melakukan protes
mereka (Berman 1999:7).9 Athonk belajar di
bawah bayangan tradisi pertentangan ideologis
yang terjadi dalam seni rupa Indonesia, dan
akhirnya menjadi bagian dari pertentangan itu.
Riwayat hidup Athonk
Athonk adalah anak bungsu dari lima
bersaudara, lahir di tahun 1971. Mereka tinggal
di Semarang, di kawasan Kaliungu. Ayahnya
seorang tentara yang mendidik anak-anaknya
dengan keras. Seringkali Athonk dan saudarasaudaranya
dipukul dengan kopel, ujung ikat
pinggang tentara milik ayahnya. Seperti
hubungan tradisional ayah dan anak di Jawa,
hubungan antara Athonk dengan ayahnya
hingga kini sangat formal. Keluarga Athonk
menganut agama Kristen Advent dengan pola
pendidikan religius yang keras. Kakak sulung
Athonk kuliah di ISI, Institut Seni Indonesia
Yogyakarta, dan memilih patung sebagai media
ekspresinya. Kakak-kakak Athonk yang lain
memilih pilihan hidup yang lebih ‘normal’,
seperti akuntan atau agamawan.
8 Meskipun beberapa seniman senior Yogyakarta seperti
Hendra Gunawan dan Henk Ngantung ikut LEKRA,
tidak semua seniman yang karyanya berorientasi pada
rakyat menjadi anggota LEKRA. Polemik Bandung-
Yogya, di satu sisi memunculkan dialog intensif dan
saling mengisi bagi perkembangan kreativitas mereka
masing-masing, terutama di era 1970-an (lihat
Spanjaard 1998c:65).
9 Jalanan di sini bisa mencakup semua ruang terbuka
milik publik: lingkungan tempat tinggal, kebun,
halaman pabrik, papan pengumuman, atau rumah
ibadah (lihat juga Moelyono 1997). Gerakan ini
memiliki banyak kemiripan dengan karakteristik dan
strategi pemberontakan aliran Pop Art di Eropa dan
Amerika pada tahun 1960-1970-an.
52 ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
Selain mengandalkan gaji sang ayah,
keluarga ini juga berusaha memperoleh
penghasilan tambahan. Athonk kecil, waktu itu
berusia sekitar 6 tahun, sering diberi tugas
mengantarkan dan menjajakan es lilin yang
dibuat dengan freezer dari kulkas milik
keluarga. Selain es lilin, keluarga itu juga
membuka usaha penyewaan buku cerita dan
komik. Tempat penyewaan ini sudah ada sejak
Athonk berusia dini dan mulai dapat mengingat.
Ia tumbuh bersama buku dan komikkomik
itu. Ia pun menggambar komiknya sendiri,
lalu meminjamkan dan mengedarkannya ke
teman-temannya (Berman 1995). Athonk kecil
tumbuh dengan bakat menggambar yang
mengagumkan. Karena itu, ayah dan ibunya
tidak pernah melarangnya menghabiskan waktu
membaca komik.
Di lingkungan sekitar rumahnya terdapat
komunitas pembuat karikatur bernama
‘Kokkang’ (Komunitas karikaturis Kaliungu),
yang didirikan oleh Budi Santoso alias Itos, tetangga
Athonk. Itos membina pemuda-pemuda
sekitar untuk mampu membuat karikaturkarikatur
yang memenuhi syarat untuk dimuat
di majalah dan harian yang terbit di kota-kota
besar. Athonk mengaku tidak pernah belajar
menggambar pada Itos. Walau begitu, ia
tumbuh besar bersama komunitas Kokkang,
dan memperoleh banyak masukan, terutama
mengenai implikasi pilihan media terhadap hak
cipta.
Sejak kuliah di ISI, Yogyakarta tahun 1990,
gaya dan penampilan Athonk mirip punkers,
lengkap dengan atribut rantai dan sepatu bot.
Atribut budaya punk dipakai sebagai protes
terhadap situasi politik dan masyarakat yang
tidak toleran pada perbedaan. Athonk mulai
mengenal teori dan sejarah seni rupa dunia,
meskipun banyak teori dan diskusi yang ia
peroleh di sana mengecewakannya. Saat itu, ia
menyewa kamar sebelum akhirnya menyewa
rumah di kawasan Sosrowijayan, dekat dengan
pusat turis di Yogya. Sehubungan dengan
lokasi tinggalnya, Athonk banyak berhubungan
dengan turis maupun pekerja
pariwisata. Dia juga berkenalan dengan seni
rajah atau tato, dan memperoleh tato pertamanya
yaitu gambar wajah Donal Bebek di
tangan kanan. Pada saat yang sama, ia
berkenalan dengan dunia aktivis mahasiswa.
Sesuai dengan jamannya di era 90-an, pergerakan
mahasiswa melawan Orde Baru muncul lebih
militan, lebih terorganisasi, dan lebih dekat
dengan kepentingan rakyat. Athonk semakin
sering terlibat dengan kesibukan rapat-rapat
kemahasiswaan, aksi demo, aksi advokasi,
lembaga swadaya masyarakat, dan tentu saja,
konflik dengan aparat keamanan. Posternya
pernah disita aparat, walau kemudian
dikembalikan. Beberapa kali ia ditangkap oleh
aparat keamanan, dan pada suatu kali di tahun
1996, ia ditangkap di Jakarta dan disetrum
selama 4 hari di Bakorstanas. Sekitar saat yang
sama, ia dipecat dari ISI, Yogya.
Masterpiece dari karya-karya Athonk
muncul pada saat-saat itu. Ia banyak membuat
poster art, dipenuhi gambar-gambar kecil-kecil
dan tulisan mirip panel-panel dalam komik.
Posternya, yang semua jelas-jelas menyuarakan
keberpihakan pada rakyat, dibuatnya berbulanbulan,
bahkan ada yang hingga setahun. Isi
poster yang keras ini tentu saja banyak
menimbulkan kesulitan baginya. Kesempatan
untuk ikut pameran bersama seniman-seniman
yang lebih senior menjadi percuma karena
posternya selalu disensor aparat keamanan,
panitia, bahkan oleh seniman lain yang
berpameran dengannya. Karya Athonk
dianggap dapat membawa sial jalannya pameran.
Sebagai muslihat, beberapa kali Athonk
memasang karya yang telah disensor di papan
pengumuman pameran. Dalam banyak kesempatan
ia juga memasang poster-poster itu di
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002 53
pinggir jalan, sehingga bisa dilihat semua
orang. Poster-poster itu tidak hanya memberinya
kesulitan, tetapi juga cinta. Laine
Berman, antropolog linguistik yang saat itu
sedang mempelajari bahasa Jawa dan participant
observation sebagai abdi dalem di keraton
Yogya, jatuh cinta padanya karena sebuah
poster di pinggir jalan itu.Mereka menikah.10
Buku komiknya yang pertama, Bad Times
Stories, terbit tahun 1994. Komik ini diedarkan
dari tangan ke tangan, dan digandakan dengan
cara fotokopi sebanyak 50 eksemplar. Hingga
kini Athonk lupa berapa kali ia menggandakan
komik pertamanya. Belum lagi penggandaan
yang dilakukan oleh orang-orang lain untuk
koleksi sendiri atau untuk dijual. Meskipun
Athonk tidak menolak jika ada yang ingin
membeli komiknya, ia lebih banyak memberikan
komiknya secara cuma-cuma.
Dari Yogya, Athonk pindah ke Jakarta
selama 2 tahun dan mencari uang dengan
menjadi seniman tato. Karena ketidakberesan
manajemen, tempatnya itu bubar. Laine mendapat
tawaran mengajar di Melbourne, Australia.
Athonk menyusul istrinya 6 bulan
kemudian. Melbourne ternyata tempat yang
sangat cocok bagi Athonk karena di sana
terdapat komunitas komik independen. Komikkomiknya—
saat itu ‘Bad Times Stories 2’
sudah selesai dibuat dalam 3 bulan—mendapat
sambutan hangat. Athonk pun mulai mendapat
penggemar. Athonk biasa menitipkan komiknya
untuk dijual di toko buku untuk dikirim ke
penyalur-penyalur komik independen di
Amerika Serikat dan Eropa. Athonk menjadi
bagian dari komunitas pembuat komik itu, dan
mereka membuat pertemuan rutin secara berkala.
Dari Melbourne, Laine kemudian mendapat
tawaran untuk mengajar di University of
Hawaii. Seperti biasa, Athonk pun menyusul 6
bulan kemudian. Di tempat itu, tidak ada
komunitas komik independen. Bahkan, komik
bawah tanah atau independen juga tidak
terdapat di kampus-kampus seni yang biasanya
menjadi tempat peredarannya. Jika Athonk
ingin menitipkan buku-buku komiknya di toko
buku setempat, ia harus menjalani prosedur
yang lebih ketat. Akhirnya di tempat ini Athonk
berkonsentrasi untuk membuat serial komik
baru yang berisi pengalaman-pengalamannya
selama ini. Ia membuat tokoh ‘old skull’, pria
penuh tato dengan wajah tengkorak yang
menggambarkan dirinya sendiri.
Karya komik dan isinya
Poster dan komik Athonk dibuat detail
dengan bolpen boxy dan penuh tulisan.
Namun, ada perbedaan presentasi visual yang
jelas antara karya-karya poster dan komik
Athonk. Ukuran poster Athonk besar-besar,
tingginya rata-rata satu meter dan lebarnya 65
cm. Mereka berwarna, dibuat di atas kertas
seluruhnya dengan bolpen gambar warna-warni.
Jika poster Athonk sangat sarat dengan tema
sosial, maka seni tato Athonk sangat peduli
pada ragam hias tradisional. Jika seni poster
Athonk diarahkan sedekat mungkin dengan
rakyat Indonesia jelata, maka seni tatonya
selain ditujukan kepada pecinta tato lokal, juga
dijual kepada para turis.11
Komik Athonk dibuat satu halaman dengan
kertas HVS biasa, dalam waktu 1–2 bulan,
langsung dengan bolpen boxy atau dibuat
sketsa terlebih dulu dengan pensil. Pada saat
penggandaan dengan mesin fotokopi, Athonk
11 Pada saat ia tinggal di Melbourne dan Hawaii, ia
bekerja membuka toko tato. Di Hawaii ia memperoleh
lisensi dari Palang Merah Amerika (PMA), syarat untuk
bekerja di bidang itu.
10 Laine melihat sebuah poster, lalu bertanya siapa
pembuatnya. Athonk sedang tidak berada di sana, dan
Laine lalu ‘menelusurinya’. Mereka bertemu dan jatuh
cinta.
54 ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
mengecilkan ukurannya menjadi separuh
aslinya. Athonk menghindari desain-desain
tradisional dalam komik. Sebaliknya, Ia berusaha
memberikan gambar dan simbol universal,
agar komiknya mudah dinikmati pembaca
di seluruh dunia. Untuk alasan yang sama, ia
menggunakan bahasa Inggris, apalagi baginya
lebih banyak kesulitan memilih konteks bahasa
Indonesia yang cocok bagi cerita dan seluruh
pembaca komik Indonesia.12
Karya ini dibuat dengan bahasa Inggris
‘Sosro (wijayan)’, tentu saja dengan kesalahan
struktur berdasarkan bahasa Inggris baku. Saat
itu Laine, yang sudah tinggal bersamanya,
beberapa kali membetulkan tulisan di komik itu
saat Athonk sudah tidur, tetapi ketika bangun
Athonk akan marah dan mengembalikan apa
yang telah ditulisnya ke bentuk semula. Ia
bersikeras bahwa bahasa Inggris Sosro adalah
konteks komiknya yang tidak dapat diubah
lagi.13 Selain masalah penerjemahan, Athonk
menggunakan frase-frase populer dari lagulagu
rock.14 Buat Athonk, musik rock’n roll
adalah salah satu sumber inspirasinya yang
terbesar.
Penggunaan bahasa Inggris yang naif
seperti ini menjadi daya tarik tersendiri bagi
penggemar komik Athonk di luar negeri.
Ironisnya, bahasa yang sederhana itu justru
membuat komiknya tidak dapat dipahami sama
sekali (bahkan di beberapa bagian Athonk
menggunakan kata dalam Bahasa Indonesia).
Sejak edisi ketiga, Laine membuat pengantar
yang menerangkan konteks bahasa komik
Athonk. Banyaknya penggunaan istilah rock’n
roll mempermudah orang-orang yang tumbuh
dalam budaya populer untuk memahami humor
dan pesan-pesan Athonk. Bahkan, beberapa
parodi dari karya Athonk telah dibuat oleh
seniman-seniman komik Barat dengan fokus
pada penggunaan bahasanya.
Garis-garis Athonk tebal dan kuat. Kecuali
karakter malaikat, hampir tidak ada obyek yang
dibiarkan putih polos. Arsiran mempunyai efek
memperkuat garis-garis yang telah yang ada.
Selain untuk memberikan kesan klasik, warna
hitam putih dipilih untuk menekankan pesan
yang ingin disampaikan.15 Banyak sekali arsiran
kasar atau blok hitam pada karyanya. Blok ini
menurut Athonk adalah strateginya untuk
mengisi kekosongan, karena gambar yang
dibiarkan putih kurang bagus dilihat.
Pemberontakan Athonk dalam komik
tidaklah se-’verbal’ posternya. Poster Athonk
memfokus pada serangkaian kasus yang
spesifik, seperti kasus Kedungombo, atau
rencana pendirian PLTN Muria. Sementara,
Komik Athonk (Bad Times Stories 1 and 2)
tidak mengacu pada kasus-kasus tertentu.
Namun, isi ceritanya jelas memperlihatkan
masalah kebebasan melawan kesewenangwenangan.
Ia mengawali komik keduanya
dengan kutipan Perjanjian Lama, kitab Daud
ayat 69:
Biarlah nama-nama mereka dihapuskan dari
buku orang-orang yang hidup, dan biarlah
mereka tidak termasuk daftar dari orangorangmu.
16
12 Bahasa Indonesia baku akan terlalu kaku, dan bahasa
informal sehari-hari akan mengacu pada etnis tertentu.
13 Athonk tidak keberatan dengan penerjemahan.
Menurutnya, karyanya bisa saja diterjemahkan menjadi
bahasa Indonesia atau Inggris yang baku, tetapi ia
menyadari bahwa perubahan konteks ini akan banyak
mengurangi isi pesan atau humornya.
14 Misalnya ‘Seek and Destroy’ adalah lagu kelompok
‘Metallica’, ‘Appetite for Destruction’ adalah album
Guns’n Roses, dan ‘Fade to Black’ adalah lagu the
Rolling Stones.
15 Pilihan untuk menggunakan warna hitam putih ini
ditekankan dalam sub judul untuk kedua buku
komiknya: Bad Times Stories 1 bersubjudul: ‘The Endless
Warfare of Black and White’, dan bagian 2
bersubjudul: ‘Pure Black Looking Clear’.
16 Terjemahan dari ‘May their names be erased from
the book of the living, may they not be included in the
list of your people.’
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002 55
Karakter tiga setan dibuat mirip satu sama
lain, namun jelas-jelas dibedakan dari karakterkarakter
malaikat yang memburunya. Dalam
cerita itu, ketiga setan berjuang mati-matian
menyelamatkan diri dari kejaran para malaikat.
Misi para malaikat—seperti ditegaskan oleh
kutipan ayat di atas—jelas: menghancurkan
para setan.
Di buku pertama, tiga setan dikejar dari
tengah laut hingga sebuah pulau oleh satu
malaikat. Di akhir buku pertama, si malaikat ini
terjebak lalu dicat hitam oleh si tiga setan. Mau
tidak mau dia menjadi salah satu setan, walau
masih bersayap dan karenanya tetap bisa
terbang. Di bagian kedua, mereka berempat
mempertahankan diri dari pasukan malaikat
yang menyerang mereka dengan membabi buta.
Ketika akhirnya mereka punya kesempatan
berlindung di surga, malaikat penjaga surga
menolak menerima mereka (termasuk si malaikat
nahas) karena mereka ‘hitam’ dan ‘berbeda’.
Hanya terdapat satu adegan yang berlangsung
linear, di buku pertama. Pada buku kedua,
adegan empat setan di pulau dibuat paralel
dengan persiapan para malaikat di surga untuk
menghancurkan mereka. Seperti umumnya cara
bercerita dengan semangat posmodernisme,
terdapat banyak digresi pada cerita besar
dengan ucapan atau lelucon yang tak berhubungan
langsung, walau kadang masih ada
kaitannya dengan tema cerita.
Keberbedaan dan represi terhadap setansetan
adalah pesan utama cerita ini. Setan-setan
yang harus dihancurkan diblok dengan tinta
hitam, sedangkan para malaikat pemburu yang
jumlahnya banyak, dibiarkan berwarna putih.
Selain perintah yang jelas bagi para malaikat
untuk membasmi setan, terdapat adegan ketika
para setan tiba di depan gerbang surga. Malaikat
penjaga surga menolak mereka karena mereka
setan dan berwarna hitam. Ketika pasukan
malaikat ditugaskan membasmi setan-setan
hingga musnah, ‘jenderal’ malaikat memerintahkan
penghancuran total dengan menggunakan
semua peluru kendali yang tersedia. Ini semua
merupakan simbol militerisme khas Orde Baru
(lihat gambar 1).
Simbol represi juga dimunculkan dalam
figur-figur patung kepala dari batu seperti di
Pulau Paskah dan Poso, Sulawesi Tengah.
Patung-patung itu muncul dengan wajah pelukis
Salvador Dali, pengusung aliran surealisme.
Patung-patung itu digambarkan dengan figur
militeristis, lengkap dengan lambang bintang
di dahi mereka (lihat gambar 2). Secara
bercanda, Athonk menyatakan bahwa pilihan
pada figur Dali yang represif merupakan simbol
dari ayahnya yang bernama Dalijo. Namun,
kemudian Athonk menyatakan bahwa pilihan
figur Dali lebih menggambarkan komunitas
seniman Yogya yang banyak menganut aliran
surealisme. Pada masanya, komunitas seniman
Yogya seringkali menolak karya-karya Athonk
untuk disertakan dalam pameran bersama.
Sikap Athonk tentang Dali terlihat ambigu.
Seperti yang dikatakannya melalui wawancara:
Aku suka Dali, juga suka sama patung-patung
itu. …Sebenernya (aku) nggak begitu suka
Dali. Bosen juga. Kalau ditanya lebih dalem,
ya memang bosen, karena udah terlalu banyak.
Masih banyak seniman lain yang lebih bagus
daripada dia. Jadi, (aku) pilih Dali itu karena
pada waktu itu (Dali) terlalu mendominasi
dunia seni rupa di Indonesia. Tahun ‘80-’90
itu ‘kan semuanya surealisme-surealisme…
jadi banyak yang njiplak-njiplak Dali. …
Lukisanku nggak Dali. Hanya di komik. Tapi,
itu salah satu bukti bahwa aku seneng Dali
juga… ha ha ha....
Pada bagian kedua, muncul patung Dali
yang agak berbeda dari yang lain. Rambutnya
berpotongan mohawk seperti Athonk, dan
pada tubuhnya terdapat tiga laci masing-masing
bergambar simbol organisasi peserta pemilu
1997, yaitu bintang, pohon beringin, dan kepala
banteng. Setiap laci digunakan oleh seorang
setan untuk berlindung dari serangan pasukan
malaikat. Tubuh berlaci, lagi-lagi, diambilnya
56 ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
dari lukisan-lukisan Dali antara tahun 1936–1938
(lihat gambar 2 dan 3). Laci-laci menggambarkan
analogi tubuh manusia. Bagi Dali, laci-laci
merupakan tempat manusia menyimpan dan
mengunci kepribadiannya (Néret 2000:42–45).17
Untuk makna simbol-simbol ini, Athonk membiarkan
pembacanya menafsirkan sendiri.
Walau demikian, jelas ada usahanya untuk
mengaitkan tiga peserta pemilu selama masa
Orde Baru itu dengan simbol represivitas.
Rambut mohawk dan gaya Elvis Presley yang
ada di salah satu patung adalah simbol dari
Athonk sendiri (lihat gambar 2). Selain masalah
represivitas, Orde Baru mempunyai ciri absurditas
dan standar ambigu tentang kategori
benar-salah dan baik-buruk. Hal ini secara visual
disimbolkan Athonk lewat tokoh jahat dan
baik yang semuanya memiliki gambar halo,
lingkaran di atas kepala. Halo lazim divisualkan
untuk menandakan kesucian seseorang pada
lukisan-lukisan bertema Yunani kuno dan
Kristiani.
Distribusi yang dipilih dan peluangnya
Athonk mengaku tidak menyukai konsep
hak cipta. Baginya, penerapan hak cipta di Indonesia
tidak berlangsung seperti seharusnya.
Ia memilih bekerja secara independen untuk
menjamin kebebasannya berkarya. Ia juga
memilih menerbitkan komiknya secara ‘bawah
Gambar 1. Jendral malaikat memerintahkan penghancuran total menggunakan rudal.
17 Dali yang banyak mendapat pengaruh dari Sigmund
Freud berpendapat bahwa hanya psikonalisis Freudian
yang memiliki kunci untuk membuka laci-laci itu.
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002 57
Gambar 2. Laci-laci partai politik, simbol mohawk dan militerisme Orde Baru
tanah’ untuk mencapai pangsa pasar yang
diburunya: penggemar komik underground di
luar negeri. Sebetulnya, penggemar komik underground
di Indonesia cukup banyak.
Sayangnya, lingkup peredarannya terbatas di
antara mahasiswa sekolah seni saja. Pemilihan
bahasa Inggris Sosrowijayan, dan banyaknya
ungkapan-ungkapan yang diambil dari musikmusik
rock kegemaran Athonk menunjukkan
bahwa pilihan bahasa ini selain menjawab
tantangan pasar internasional, juga masih
merupakan ekspresi personalnya.
Ketika Athonk berada di Melbourne, ia
menjumpai bahwa jaringan komik bawah tanah
di sana ternyata lebih luas daripada yang
diduganya. Jaringan tersebut memiliki hubungan
dengan jaringan serupa di Eropa dan
Amerika Serikat. Dalam waktu singkat, komikkomik
Athonk dijual di toko-toko komik di
berbagai negara Eropa dan Amerika. Orang58
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
Gambar 3. Tiga setan berlindung dari serangan pasukan malaikat! Si malaikat nahas tertinggal di luar.
Baik tokoh setan maupun malaikat sama-sama memiliki halo, menyimbolkan ambiguitas norma ‘baik
buruk’ dan ‘benar-salah’.
orang menemukan komik Athonk di London,
Berlin, Los Angeles, San Francisco, Seattle,
Brooklyn, dan New York.
Komik Athonk juga masuk ke dalam
jaringan internet. Tulisan para kritikus yang
membahas komik ini di majalah-majalah seni
dimuat—lengkap dengan cuplikan gambarnya—
di Internet. Selain itu, pasangan suami
isteri itu sendiri pun aktif menggunakan internet
untuk mencari bahan atau pun surat menyurat.
Akhirnya, mereka pun membuat situs sendiri
di Internet. Athonk membuat situs besar yang
menerangkan kegiatan keseniannya, termasuk
komik. Athonk juga aktif membantu sebuah situs
komik Indonesia, dan rajin menulis surat
terbuka pada para pencinta komik Indonesia
yang mau bertanya apa saja. Di Internet, Athonk
diposisikan menjadi komikus senior yang
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002 59
mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
penggemar dan pembuat komik yang berusia
lebih muda. Dalam waktu singkat, komik dan
nama Athonk menjadi populer dalam situs-situs
pencari (search engine) di internet. Ia pun
semakin banyak memperoleh permintaan
kiriman komik, terutama dari luar negeri.
Menyinggung persoalan pemasaran komiknya
di Indonesia, Laine berpendapat bahwa
Athonk tetap perlu membuat komiknya dalam
bahasa Indonesia. Athonk tidak membantah
pentingnya hal itu. Namun, Athonk juga
menegaskan bahwa membuat komik dengan
bahasa Indonesia sangatlah sukar. Terlalu
banyak konteks sosial yang muncul akibat
alternatif gaya bahasa yang ada. Jika ia membuat
dengan bahasa Indonesia baku, maka karyanya
akan terasa formal. Jika ia membuat dengan
bahasa sehari-hari, ia bingung harus memilih
bahasa sehari-hari dari daerah mana. Pemilihan
bahasa berdasarkan golongan etnis akan
mengikat karyanya dengan kelompok etnis dan
konteks sosial tertentu. Selain itu, bahasa
sehari-hari berkembang dengan sangat cepat,
sehingga ia khawatir pada satu masa karyanya
akan dianggap ketinggalan zaman.
Ekspresi dan representasi komik
Athonk
Walaupun komik digolongkan dalam bentuk
seni massal, Athonk tidak terganggu atas
penggolongan karyanya ke dalam kerajinan atau
‘seni rendah’. Baginya, kualitas kesenian tetap
terletak pada ide dan sumbangan karya seni itu
untuk masyarakat—sebuah wacana khas salah
satu kubu realiseme sosial dalam seni rupa Indonesia.
Bagaimanapun, karya-karya komik
Athonk tidak bisa begitu saja digolongkan ke
dalam seni rendah yang mementingkan
selera masyarakat, karena karyanya tetap
merupakan ekspresi personal. Bentuk-bentuk
gambar, bahasa Inggris Sosro dan ungkapanungkapan
yang diambil dari lagu-lagu rock
sangat personal menggambarkan pribadinya.
Bagi Athonk, komik adalah media yang
paling ideal. Seperti yang telah dikemukakan di
atas, pilihan medianya yang lain, yaitu poster,
juga dibuat dalam panel kecil-kecil dan memuat
banyak tulisan. Media komik memberinya
kesempatan untuk menyampaikan pesan secara
lebih verbal. Athonk menekankan bahwa
gambar-gambar tanpa tulisan belumlah lengkap.
Kebutuhan memverbalkan pesan dilakukannya
sebagai usaha mendekatkan jarak antara karya
seni dengan pembaca atau penontonnya.
Penyebaran komiknya secara cuma-cuma serta
pemasangan posternya di papan pengumuman
di luar gedung pameran dan di pinggir jalan,
juga merupakan bagian dari usahanya untuk
mendekatkan karyanya ke masyarakat.
Berbeda dengan Athonk, karya-karya
seniman seniornya di ISI menyuarakan
persoalan-persoalan ketimpangan sosial atau
kritik terhadap pembangunan dengan pesanpesan
yang lebih terbungkus simbol
(Moelyono 1997:1–6).18 Lebih jauh, masa-masa
awal kemunculan seniman-seniman pendidikan
tinggi seni rupa ditandai dengan prioritas
pilihan para lulusannya atas bentuk ‘seni rupa
atas’ (high art), seperti seni lukis, seni patung
modern dan seni desain, yaitu seni desain interior,
desain grafis, dan desain produk yang lebih
jelas prospek penghasilannya. Mereka
umumnya berasal dari keluarga kelas menengah
ke atas, keluarga profesional, dan pengusaha
berduit. Golongan kelas menengah ke bawah
tidak termasuk ke dalam penyaringan masuk
sekolah tinggi semacam itu. Hal itulah yang
melatarbelakangi keengganan mereka untuk
menggeluti kategori karya-karya seni yang
membutuhkan tenaga. Mereka juga enggan
18 Dalam bagian ini Moelyono (1997) mengritik Dede
Eri Supria yang menurutnya kurang memahami dengan
baik rakyat kecil yang dibelanya.
60 ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
hidup di bawah standar kelas menengah
(Moelyono 1997:17–18).
Semangat pemberontakan, kebebasan
berbicara, dan berekspresi membuat komik
Athonk menjadi sangat politis. Wacana politis
juga membuat komiknya menjadi artefak yang
memiliki daya tarik tinggi bagi pengamat asing.
Apalagi kemunculannya berkisar di puncak
krisis politik Indonesia. Inspirasi Athonk
muncul karena kegiatannya dalam aksi-aksi
politis. Untuk mematangkan ide cerita, biasanya
ia membutuhkan waktu satu bulan. Ia tidak
membuat struktur cerita terlebih dulu. Ia
langsung menggambar ide bagian cerita yang
paling matang di kepalanya.
Secara estetika, Athonk lebih puas pada
Bad Times Stories 2. Waktu yang lebih panjang
dalam proses kreatif menghasilkan cerita yang
lebih panjang (bagian ke-1 kira-kira 16 halaman,
dan bagian ke-2 mencapai 32 halaman). Grafisnya
pun lebih menarik. Namun, garis kasar yang
bagi banyak kritikus merupakan sesuatu yang
khas Athonk dalam memunculkan kesan liar dan
menegaskan dirinya sebagai bentuk seni
‘pinggiran’, semakin berkurang. Arsir pada
bagian ke-2 lebih halus. Athonk mengaku masamasa
panjang di Melbourne membantunya
berkembang ke arah yang lebih baik.
Independensi dan distribusi bawah tanah
dipilih Athonk karena kebutuhan berkarya, tidak
adanya harapan pada industri komik Indonesia,
dan bagian dari protesnya kepada masyarakat
yang kurang dapat menerima perbedaan.
Kepercayaan diri untuk membuka tempurung
industri komik lokal dan mengenalkan karyanya
ke luar negeri tumbuh karena pengalamannya
tinggal dalam lingkungan internasional. Selain
cukup lama tinggal di salah satu perkampungan
turis Yogyakarta, keberadaan istrinya ikut
mem-bangun semangat itu.
Keberhasilan Athonk terletak pada
orisinalitas dan personalitas yang diterima oleh
‘pasar’ spesifik di seluruh dunia. Ekspresi
komiknya muncul sebagai representasi pengalamannya
sejak kecil yang membentuk
identitas yang khas (Indonesia?): anti
militerisme, kapitalisme, dan komunisme.
Seperti yang tertulis di bagian dalam sampul
belakang komik terbarunya. Menyoal identitas
diri, Athonk menggambarkan dirinya sebagai
anak Jawa tertindas yang tinggal di kampung
global. Persoalan tarik-menarik identitas
nasional-lokal-global muncul sebagai tema
utama cerita komiknya. Hal itu membuat
karyanya berkarakter kuat, dan disukai oleh
pembaca komik dari konteks kebudayaan lain
yang membantah asumsi bahwa tingkat
distribusi sebuah karya seni berbanding terbalik
dengan kualitas wacananya. Sebaliknya, hal itu
menunjukkan bahwa apa pun bentuk sebuah
karya, ia selalu tergantung dengan taktik
distribusi yang jitu, yang mampu menjual karya
ke pangsa pasar yang diinginkan.
Penutup
Sebuah karya yang ekspresif dan personal
tidak berarti harus gagal di pasaran. Walau
industri komik Indonesia tidak berkembang,
komik Indonesia tetap hidup dan mencapai
kemajuan dengan caranya sendiri. Pilihan
Athonk kepada gaya produksi independen
adalah perlawanannya untuk mampu berekspresi
dengan bebas. Strategi memilih
distribusi ‘bawah tanah’ merupakan wujud
semangatnya untuk tetap menyebarluaskan
karyanya tanpa harus tergantung pada
industri komik lokal yang kini praktis mati. Keberhasilan—
dalam konteks komik Indonesia—
adalah kemampuannya untuk tetap produktif
dengan karya yang orisinal dan independen,
dengan tetap merepresentasikan kondisi sosial
politik masyarakat di sekitarnya.
Pilihan komik adalah pilihan ‘seni rendah’
menurut sudut pandang teori seni rupa Barat
tradisional. Namun baginya, bentuk ini tidak
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002 61
berjarak dengan rakyat, dan efektif untuk
menyampaikan pikiran-pikirannya. Pemikiran
komik sebagai bentuk seni rendah atau massal
sama sekali tidak relevan. Saat ini, ukuran keberhasilan
sebuah karya seni terletak pada
kemampuan karya itu untuk berkomunikasi
dengan konsumennya. Kebutuhan untuk
membuat karya seni yang dekat dengan
masyarakat; dan bentuk serta pesan karya
komik Athonk muncul sebagai representasi dari
pengalaman hidupnya, kondisi sosial-politik
Kepustakaan
Anderson, B.
1990 Languge and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Ithaca: Cornell University
Press.
Athonk
1995a Bad Times Stories. Komik independen/bawah tanah.
1995b Bad Times Stories 2. Komik independen/bawah tanah.
Berman, L.
1995 ‘Paint in Black in Daliland: Introduction to the Bad Times Stories’, dalam Bad Times Stories.
Komik independen/bawah tanah.
1998 ‘Ayam Majapahit Meets Kung Fu Boy: The Death of Indonesian Comics’, dalam Comic
Edge (issue June no.21).
1999 ‘The Art of Street Politic in Indonesia’, dalam T. Lindsey dan H. O’Neill (peny.) Awas!
Recent Art from Indonesia. Melbourne: Indonesian Arts Society.
2000 ‘Indonesia is Definitely OK!: Independence and Idealism through Comics’, dalam Inside
Indonesia. July-September. 62.
Bruner, E.M.
1986 ‘Experience and its Expressions’, dalam E.M. Bruner dan V. Turner (peny.) The Anthropology
of Experience. Urbana: University of Illinois Press.
Dermawan, A.T.
1998 ‘The Role of Art Associations: 1950’s to 1960’s’, dalam Indonesian Heritage: Visual Arts.
Singapore: Archipelago Press.
Esmeralda dan M. Bollansee
1987 Masterpieces of Contemporary Indonesian Painters. Times Edition: Singapore.
Kusnadi
1998a ‘Naturalism of Mooi Indië’, dalam Indonesian Heritage: Visual Arts. Singapore: Archipelago
Press.
1998b ‘An Early Modern Art Movement: Persagi’, dalam Indonesian Heritage: Visual Arts’.
Singapore: Archipelago Press.
masyarakat pada saat yang bersangkutan, dan
sejarah seni rupa Indonesia yang panjang.
Walau seni rupa tradisional banyak mempengaruhi
bentuk seninya yang lain (misalnya
tato), komik Athonk cenderung memunculkan
gagasan-gagasannya yang universal. Semua
hal di atas menjadi kombinasi pembentukan
sebuah karya yang unik dan kuat. Terbukti,
dengan konsep distribusi yang kuat, karya ini
mampu diterima dengan baik oleh pangsanya.
62 ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
McCloud, S.
1993 Understanding Comics: The Invisible Arts. New York: Harper Perennial/Kitchen Sink Press.
Mirzoeff, N.
1999 An Introduction to Visual Culture. New York: Routledge.
Moelyono
1997 Seni Rupa Penyadaran. Yogyakarta: Bentang.
Néret, G.
2000 Dali. Koln: Taschen.
Pirous, I.M.
1997 Makna Modernitas bagi Para Seniman Seni Rupa Modern Indonesia: Studi Kasus terhadap
Tiga Orang Seniman di Surabaya, Jogyakarta dan Bandung. Skripsi Sarjana tidak diterbitkan.
Depok: Universitas Indonesia.
Purnomo, S.
1998 ‘Kelahiran Seni Rupa Indonesia Baru’, dalam Dari Mooi Indie hingga Persagi. Jakarta:
Museum Universitas Pelita Harapan.
Spanjaard, H.
1998a ‘Colonialism and Nationalism’, dalam Dari Mooi Indie hingga Persagi’. Jakarta: Museum
Universitas Pelita Harapan.
1998b ‘The Art Academies: ITB, Bandung’, dalam Indonesian Heritage: Visual Arts’. Singapore:
Archipelago Press.
1998c ‘The Art Academies: ASRI, Yogyakarta’, dalam Indonesian Heritage: Visual Arts. Singapore:
Archipelago Press.
Sudjojono, S
2000 Seni Lukis, Kesenian dan Seniman. Yogyakarta: Aksara Indonesia.
Wisetrotomo, S.
1998 ‘Persagi: Perlawanan Terhadap Eksotisme Beku,’ dalam Dari Mooi Indie hingga Persagi.
Jakarta: Museum Universitas Pelita Harapan.

Categories: Share

Leave a Reply