Mengapa Komik Indonesia Tidak Eksis?
Sabtu, 24 November 2012 09:06 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komik Indonesia sudah ada sejak tahun 1930-an, dalam bentuk komik strip dengan tokoh Put On karya Kho Wan Gie, terbit di surat kabar Sin Po di Jakarta. Berlanjut ke era komik stip di majalah Star 1939 - 1942.
Pada era 1940-an, muncul komik "Mencari Putri Hijau" karya Nasroen AS di mingguan Ratu Timur di Solo. Sedangkan di kota tetangga, Yogyakarta, Abdul Salam membuat komik di harian Kedaulatan Rakyat. Era 1940 - 1950-an munculah RA Kosasih dengan komik "Sri Asih".
Selanjutnya, mulai muncul penerbit komik Melodi, dan komik wayang dan tokoh pendekar silat yang digawangi oleh Ganesh TH, Hasmi, Jan Mintaraga, Wid NS, dan lainnya pada dekade 1960 - 1970.
Setelah era di atas, muncul komikus Dwi Koen pada 1980-an, dekade selanjutnya muncul komikus yang saat ini masih eksis, diantaranya Benny, Mice, Beng Rahadian dari Akademi Samali, Ismail dengan Si Kribo. Mereka membuat komik strip di koran, setelah komik terkumpul, baru diluncurkan dalam bentuk kumpulan komik.
Namun, industri komik Indonesia sejak tahun 1990-an terlihat lesu. Hal ini dikarenakan "gempuran" komik manga dari Jepang. Kebanyakan komik manga menyasar anak-anak sebagai target marketnya. Ditambah lagi, penggemar komik era 1950 - 1980 semakin berkurang.
Sebuah survei tentang permasalahan Komik dipetakan oleh Komikoo, sebuah situs komik Indonesia. Komik Indonesia kurang diminati pembaca dikarenakan cerita kurang bagus, komik susah ditemukan di toko buku, kurangnya apresiasi dan rasa cinta pada produk lokal, gambar kurang konsisten, serta kurang mampu memroduksi komik secara massal.
Beng Rahadian, komikus sekaligus pendiri Akademi Samali, menyoroti tentang distribusi komik dan masalah komikus. Indonesia banyak memiliki komikus andal. Tetapi ketika mereka berhadapan dengan industri, mereka mengalami kendala, seperti pembagian hak cipta, kreativitas, distribusi, dan pasar. Jadi mereka banyak membuat komik ke luar negeri.
"Komikus Indonesia jarang yang mau ngomik di sini, padahal sebenarnya mereka mau, tapi ada kendala ketika menghadapi industri," ujar Beng, dalam Bincang Komik, Kamis (22/11/2012), di Pekan Produk Kreatif Indonesia (PPKI), di Jakarta.
Di sisi lain, ada toko buku, bagian dari industri, yang mendukung komik Indonesia. Beng menyebutkan toko buku Gramedia Depok yang memiliki rak buku khusus komik Indonesia. Tetapi hal ini tergantung sang manajer toko, apakah mau menyediakan rak khusus komik atau tidak.
"Masalahnya komik yang dipajangitu-itu aja. Distribusinya kurang. Kalau pembaca akan melihat komik itu-itu saja, mereka tidak mau," lanjut Beng.
Menariknya adalah, jika pelaku industri komik telaten pasti dapat berhasil. Tetapi satu komunitas komik tidak harus mengerjakan semuanya. Komikus, penerbit, distributor, masing-masing bekerja dengan baik dan saling menduku akan dihasilkan kesuksesan sebuah karya.
"Yang namanya industri komik harus banyak aja, jangan bergantung pada satu figur. Saya tidak ingin pembaca terbuai indahnya komik, tapi ceritanya tidak ada."
Menurut Bang, penyajian komik harus menceritakan, cerita haruslah baik, selanjutnya gambar muncul kemudian. Di sisi lain, banyak komik berkualitas bagus. Dari sisi kemasan, gambar, dan penerbit. Tetapi penjualannya tidak bagus.
"Ternyata mereka ada jarak dengan pembaca. Taste komik internasional, tapi soul-nya nggak masuk ke pembaca," lanjut Beng.