Background

Napak Tilas Komik Khas Indonesia


Foto: ISTIMEWA
Pernah dengar tentang Jaka Sembung? Jaka Sembung adalah tokoh adaptasi dari buku komik Indonesia era tujuh puluhan. Saking tenarnya nama Jaka Sembung masih terngiang di telinga hingga kini.
Kata Jaka Sembung inilah yang diambil dari tokoh dalam komik. Ironisnya, tidak semua orang tahu tentang tokoh Jaka Sembung. Seolah-olah adaptasinya menguap, dan hanya menciptakan figur saja. Lain Jaka Sembung, lain juga nasib Si Buta dari Goa Hantu. Tokoh ini sempat tenar dan komiknya lumayan digemari, bahkan pernah diangkat ke layar lebar, lalu turun pangkat ke layar kaca.
Karena menjamurnya komik dari negeri seberang, sementara komik Indonesia mulai kolaps, mendadak di internet kebanjiran permintaan akan komik-komik lokal tempo dulu. Para kolektor mulai mencari benda yang sudah langka dan unik tersebut. Bahkan, ada satu kisah seorang kolektor secara sengaja keliling berbagai daerah untuk dapat menemukan koleksi komik Indonesia.
Keberadaan komik langka ini seharusnya dapat ditangkap sebagai sebuah peluang untuk kembali menghidupkan lagi komik Indonesia. Karena potensi dari semua sumber daya manusia yang ada di Indonesia tak dapat diremehkan. Anak asli Indonesia dapat dipastikan memiliki kemampuan yang tinggi untuk membuat komik.
Nah, buat Anda yang rindu dengan cerita komik asli Indonesia, tak perlu berkecil hati dan sedih. Kabarnya, komik-komik tersebut akan dan diproduksi ulang.
Apakah ada yang masih mengingat tokoh superhero dalam komik seperti Godam si Manusia Baja, Gundala Putra Petir, Panji Tengkorak, Wiro hingga Si Buta dari Gua Hantu, begitu populer di masa lalu. Tokoh-tokoh itu pada 70-an sangat dikenal anak-anak setingkat SMP dan SMU.
Komik di Indonesia mulai dikenal pada 1930. Pertama kali muncul dalam bentuk komik strip di surat kabar Melayu-China, Sinpo. Barulah pada 1950-an, komik beredar dalam bentuk buku. Saat itu pula beredar bermacam-macam tema cerita, mulai dari superhero, silat, kisah petualangan, humor, hingga cerita pewayangan Mahabarata dan Ramayana, yang melejitkan nama pengarangnya, RA Kosasih.
Memasuki 1960-an, meluncur komik asal Medan, dengan setting cerita rakyat. Taguan Hardjo, salah satu komikus yang berhasil membuat karya-karyanya dikenal banyak orang. Sebut saja Hikayat Musang Berjanggut, Kapten Yani dan Perompak Lautan Hindia, serta Keulana.
Pembacanya pun tak mengenal usia, hampir semua kalangan ikut membaca. Menjamurnya tamantaman bacaan rakyat yang menyewakan komik, menjadi tolok ukur popularitas komik lokal waktu itu. Di pasaran beredar 250-an komikus, dan 15 komikus mampu memproduksi 20 judul dalam jangka waktu bersamaan. Memasuki 1980, komik lokal mulai menghilang dari peredaran. Sementara terjemahan komik AS, Eropa, dan Jepang, wara wiri di pasaran. Penggemar komik tak lagi didominasi kalangan bawah, namun sudah merambah kaum gedongan. Penyebab lain pudarnya pamor komik lokal, kualitas gambar, dinilai kalah menarik dibanding komik impor.
Kondisi ini membuat prihatin kalangan pencinta komik. Ada semacam kerinduan dari beberapa penggemar komik masa lalu, yang ingin kejayaan komik lokal hidup kembali. Komikindonesia.com, misalnya, dengan berbagai strategi berusaha membangkitkan kembali pasar komik lokal.
Beberapa komik yang telah dicetak ulang, begitu dipasarkan dengan cepat habis terjual. Ini suatu bukti penggemar komik lokal masih ada. Diakui, gaungnya memang belum seberapa, namun setidaknya angin segar tengah bertiup. Komik lokal, perlahan namun pasti, menata ulang langkah meraih kembali kejayaan yang tengah terenggut.
Berikut ini beberapa komik yang kini diterbitkan ulang serta komik masa kini yang mulai menarik pembaca komik.
Gundala Putra Petir
Bagi yang ingin nostalgia sama komik-komik lawas dalam negeri, harapan itu sebentar lagi ada di depan mata. Komik Gundala Putra Petir terbit Februari 2005.
“Sampulnya sudah diperbarui oleh Hasmi (pengarang) dan bagian dalamnya juga sudah di-retouch,” tambah Andi. Di balik penerbitan komik Gundala Putra Petir versi baru ini, Andi punya misi melestarikan serta membangkitkan komik Indonesia.
Diakui Andi, komik Indonesia saat ini memang mati suri, tidak lagi booming seperti ketika tahun 1970-an. Untuk itu, perlu usaha keras untuk membangkitkan ketertarikan generasi sekarang pada komik lokal
Si Buta dari Gua Hantu
Kisah cinta yang terluka dan balas dendam membuat seseorang semangat untuk mengarungi hidup penuh petualangan. Sepintas kisah tersebut mencerminkan seseorang yang patah hati. Tapi, sebenarnya kisah tersebut menjadi bagian dari serial komik silat Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes TH.
Setelah sempat berhenti pada 1989, komik yang populer di era `70-an dan `80-an itu kini diterbitkan kembali. Kali ini, serial komik kepahlawanan ini dengan kualitas cetak dan kertas yang lebih baik. btr/R-2
Komik Volt Karya Marcelino
Marcelino Lefrandt kini tak lagi bergelut dengan dunia sinetron. Ia memilih banting setir menekuni hobi. Membuat komik bertema superhero Indonesia. Menurutnya, legenda para tokoh Indonesia pun tak kalah menarik dengan tokoh luar negeri apabila dikemas dalam komik.
Suami Dewi Rezer ini juga mengatakan bahwa komik tokoh pahlawan Indonesia sebenarnya muncul lebih dulu, dibanding dengan komik Spiderman atau yang lainnya. “Setelah melalui riset, ternyata komik Indonesia itu merupakan komik tertua di dunia, contohnya komik di dinding candi yang bercerita soal candi,” kata Marcel.
Atas dasar hal itulah, ayah dari Marcell Brineth Reyney Lefrandt ini semakin bersemangat untuk mengangkat kembali komik Indonesia. Untuk proyeknya ini, Marcel menciptakan sendiri tokoh yang di beri nama ‘Volt’. “Saya dengan komik Volt bisa membuat anak-anak senang, dan bisa menjadi pemicu mereka menegakkan kebenaran,” jelasnya.
Setelah Volt, Marcel berencana membuat karakter-karakter baru dalam komiknya. Ia mengaku terinspirasi tokoh pahlawan dari 33 provinsi Indonesia. Sejak beberapa bulan lalu, Marcelino Lefrandt memiliki profesi baru sebagai pembuat komik. Nah, jerih payah suami Dewi Rezer ini ternyata membuahkan hasil. Volt rencananya akan diangkat ke layar lebar.
“Iya, beberapa waktu lalu, MoU dengan Skylar Pictures, sepakat untuk memfilmkan komik yang saya buat,” kata Marcelino di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Meski bernama agak kebarat-baratan, komik Volt sejatinya diangkat dari kultur kebudayaan Indonesia. Marcelino sempat melakukan riset sebelum menuangkan kisah Volt ke dalam komik. “Referensi dari kultur kebudayaan Indonesia, dari cerita rakyat yang saya ambil esensinya. Di film ini juga inti cerita dari saya,” tandas dia.  btr/R-2

Sumber : http://www.koran-jakarta.com/?10535-napak-tilas-komik-khas-indonesia

Categories: Share

Leave a Reply